Manajemen Energi dan Krisis Listrik Nasional
FAISAL BASRI
Neraca minyak kita sudah sangat memprihatinkan. Apabila pada tahun 2002 selisih antara ekspor dan impor minyak mentah Indonesia masih lebih dari 2 miliar dollar AS, pada tahun 2006 surplusnya tinggal 316 juta dollar AS.
Tak tertutup kemungkinan tahun ini kita sudah mengalami defisit karena selama Januari-Agustus 2007 surplus perdagangan minyak mentah tinggal 108 juta dollar AS.
Jauh lebih parah lagi menimpa neraca perdagangan hasil minyak, yang memang selama ini selalu defisit. Namun, dalam empat tahun terakhir, defisit perdagangan hasil minyak menggelembung luar biasa, dari hanya 2 miliar dollar AS pada tahun 2003 menjadi 4,2 miliar dollar AS pada tahun 2004, dan sejak 2005 menembus 8 miliar dollar AS.
Defisit minyak
Secara keseluruhan, defisit minyak (minyak mentah dan hasil minyak) mencapai 7,9 miliar dollar AS pada tahun 2006. Jika kecenderungan selama JanuariAgustus tahun ini terus berlanjut, diperkirakan defisit minyak pada tahun ini akan mencapai 8,5 miliar dollar AS.
Alih-alih menikmati "bonanza" minyak dari kenaikan harga minyak dunia, Indonesia justru lebih banyak mengalami derita. Penyebabnya apa lagi kalau bukan karena produksi minyak mentah yang terus-menerus melorot.
Pada tahun 1997 produksi minyak mentah kita masih di atas 1,5 juta barrel per hari, sekarang tinggal sekitar 950.000 barrel per hari.
Harus dicatat pula bahwa dewasa ini Indonesia—yang notabene adalah anggota Organisasi Negara Pengekspor Minyak (OPEC)—merupakan negara pengimpor hasil minyak terbesar di Asia.
Kapasitas kilang yang kita miliki hanya mampu menghasilkan dua pertiga dari kebutuhan bahan bakar minyak (BBM) domestik. Padahal, negara-negara yang tidak memiliki kekayaan minyak bumi sama sekali pun pada umumnya memproduksi sendiri semua kebutuhan BBM di dalam negeri.
Swasembada BBM sangat penting karena tidak hanya untuk memperkokoh keamanan energi, tetapi juga untuk mendorong kemajuan industri.
Hal ini mengingat selain memproduksi BBM, pengilangan juga menghasilkan nafta sebagai produk ikutan/sampingan. Nafta inilah yang merupakan bahan baku utama bagi industri petrokimia hulu penghasil aromatik dan olefin, yang selanjutnya menjadi input bagi berbagai jenis industri, seperti detergen, ban, foam, tekstil, botol, pipa, plastik, dan serat akrilik.
Pengelolaan kekayaan gas alam tak kalah semrawut, dari hulu hingga hilir, mulai dari kontrak pengusahaan hingga program konversi minyak tanah ke elpiji. Belakangan muncul lagi masalah baru, yakni "kelangkaan" batu bara (Kompas, 24 September 2007, hal 18).
Pemerintah tak bergegas
Sedemikian penting manajemen energi secara langsung memengaruhi kinerja dan daya saing sektor industri, khususnya, dan hampir semua bidang kehidupan lain, tetapi tak membuat pemerintah bergegas memiliki kebijakan energi nasional yang padu.
Pembangunan kilang baru berulang kali mengalami penundaan. Pasokan gas ke industri tersendat, bahkan membuat satu pabrik pupuk terpaksa ditutup.
Banyak industri tak dapat pasokan gas secara memadai dan stabil sehingga beberapa di antaranya hengkang ke negara-negara tetangga.
Derita industri kian bertambah karena buruknya manajemen energi merambat ke penyediaan listrik.
PT PLN juga menderita karena menghadapi ketidakpastian dalam memperoleh pasokan gas dan batu bara sehingga harus meningkatkan penggunaan BBM untuk pembangkit listrik yang sebetulnya sudah didesain menggunakan gas dan batu bara.
Dengan kelancaran pasokan gas dan batu bara sekalipun, PT PLN terus mengalami tekanan dalam memenuhi permintaan yang terus meningkat karena kapasitas yang cekak.
Dengan kapasitas yang cekak, bahkan di beberapa wilayah sudah defisit, pemadaman bergilir tak terhindarkan.
Belakangan ini pemadaman kian kerap karena manajemen PT PLN sendiri tidak sigap dalam mengantisipasi kondisi terburuk. Ditambah lagi dengan posisi monopoli yang dinikmati PT PLN yang membuat mereka tak punya cukup insentif untuk melayani konsumen dengan sebaik-baiknya.
Jika kondisi demikian terus berlanjut, daya saing industri kita akan terus tergerus. Demi bertahan hidup, mungkin satu-satunya cara adalah dengan memindahkan pabrik ke negara-negara tetangga.
Negaralah yang paling bertanggung jawab atas kemerosotan daya saing dan gejala dini dari proses deindustrialisasi.
Menyadari keterbatasan kapasitas pembangkit, pemerintah telah meluncurkan program percepatan pembangunan pembangkit sebesar 10.000 megawatt.
Ternyata program ini tak berjalan mulus. Pemain-pemain baru dengan rekam jejak tak jelas bermunculan, berlomba memburu rente.
Sementara itu, pemain lama yang sudah tak diragukan lagi kemampuannya, yakni dua anak perusahaan PT PLN yang didirikan khusus untuk usaha pembangkitan, tak didayagunakan secara optimal.
Akibatnya, perusahaan-perusahaan pembangkit listrik swasta menekan PT PLN untuk membeli listrik dengan harga yang relatif lebih mahal. Beban tersebut akhirnya dialihkan ke konsumen rumah tangga ataupun industri.
Beban biaya yang meningkat membuat PT PLN menekan konsumen. Industri dipaksa membeli dengan harga lebih mahal walau dengan kualitas yang tetap buruk. Ah, lagu lama tampaknya akan didendangkan kembali.
No comments:
Post a Comment