Tuesday, October 30, 2007

Skenario Minyak 100 Dollar AS Per Barrel


Lonjakan harga minyak hingga menyentuh level 90 dollar AS per barrel di New York Merchantile Exchange (NYME) pada 19 Oktober lalu mengisyaratkan skenario Peak Oil semakin menjadi kenyataan.

Beberapa tahun lalu orang tidak membayangkan harga minyak bisa setinggi ini, tetapi perkembangan beberapa tahun terakhir semakin menunjukkan bukan tidak mungkin prediksi harga mencapai 100 dollar AS per barrel bisa terwujud dalam waktu dekat.

Pada September 2003, harga rata-rata minyak mentah standar di NYME masih di bawah 25 dollar AS per barrel. Juni 2005 sudah di atas 60 dollar AS per barrel, Mei 2007 di atas 80 dollar AS, dan 19 Oktober lalu sempat tembus 90 dollar AS per barrel. Meningkat sekitar 75 persen hanya dalam tahun ini. Pada level sekarang ini, harga minyak mentah terhitung sudah naik di atas 300 persen dibandingkan dengan tahun 1990.

Harga 90 dollar AS per barrel itu mendekati harga tertinggi dalam sejarah yang terjadi tahun 1980 (di puncak krisis Irak-Iran), yang kalau dikurskan dengan kurs sekarang setara 95 dollar AS per barrel. Saat itu lonjakan harga tersebut mengakibatkan resesi ekonomi dunia.

Faktor geopolitis, yakni meningkatnya ketegangan antara Turki dan Irak, memang ikut memicu pergerakan dramatis harga minyak sepanjang pekan lalu, selain faktor lain seperti meningkatnya kebutuhan minyak musim dingin di belahan bumi utara, menipisnya cadangan minyak AS, dan kekhawatiran menyangkut badai yang bisa mengganggu produksi minyak AS.

Tetapi, terlepas dari ikut bermainnya faktor geopolitis yang sifatnya insidental, faktor fundamental, berupa ketidakseimbangan suplai dan permintaan, tetap menjadi penentu penting pergerakan harga minyak mentah di pasar dunia sekarang ini.

Harga 90 dollar AS bisa jadi baru pemanasan karena secara fundamental pasar diperkirakan akan tetap ketat, dengan permintaan minyak beberapa tahun ke depan diperkirakan akan tetap tinggi. Lonjakan permintaan terutama berasal dari negara-negara Asia non-Organisasi Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) seperti China dan India yang mengalami pertumbuhan ekonomi sekitar 10 persen per tahun dan tidak ada tanda-tanda melambat sampai sekarang.

Prediksi harga minyak akan segera menyentuh 100 dollar AS per barrel yang semua dianggap mustahil antara lain dilontarkan para penganut Peak Oil Theory.

Peak Oil Theory yang dimotori ahli geologi minyak AS, King Hubbert, meyakini produksi minyak mentah global sekarang ini sudah atau akan segera mencapai titik jenuhnya, untuk kemudian stagnan, sebelum akhirnya mengalami penurunan dengan cepat secara permanen.

Peningkatan produksi

Sementara kubu penentangnya meyakini produksi masih akan meningkat hingga 2040 atau 2050 dengan ditemukannya sumber-sumber produksi baru atau ditingkatkannya produksi di sumur-sumur lama melalui teknologi yang lebih canggih.

Cambridge Energy Research Associates (CERA), misalnya, mengatakan sisa cadangan minyak global masih 3,74 triliun barrel, tiga kali lipat lebih besar dari yang disebutkan penganut Peak Oil. Dan itu masih bisa meningkat lagi.

Sayangnya, kecenderungan beberapa tahun terakhir ini lebih berpihak pada penganut teori Peak Oil. Beberapa indikasinya, lapangan Cantarell di Teluk Meksiko yang sudah berproduksi sejak 1971 dan merupakan lapangan minyak kedua terbesar dunia sudah tua dan terus menurun produksinya.

Lapangan terbesar, Ghawar di Arab Saudi, dan lapangan Burgan di Kuwait yang juga masuk lima besar, juga menunjukkan gejala sama. Sejak 1990, hanya ada satu lapangan baru besar yang ditemukan, yang bisa diharapkan mampu berproduksi hingga 500.000 barrel per hari (bph) pada kapasitas puncaknya, yakni lapangan Kahagan di Kazakhstan.

Padahal, teknologi perminyakan sudah sedemikian berkembang dan canggih, serta mampu meningkatkan keberhasilan penemuan dari 25 persen tahun 1990-an menjadi 45 persen. Teknologi enhanced recovery juga berhasil meningkatkan jumlah minyak yang berhasil diangkat dari sumur dari 20 persen menjadi 60 persen.

Namun, dengan kemajuan teknologi yang pesat ini pun, produksi tetap tak mampu mengimbangi permintaan. Teknologi mahal ini justru mengakibatkan semakin mahalnya biaya memproduksi minyak mentah dunia. Sebagai gambaran, untuk bisa mengantongi untung 10 persen, perusahaan minyak di Kanada setidaknya harus mematok harga jual 60 dollar AS per barrel.

Skenario referensi yang dibuat Energy Information Administration/EIA (Annual Energy Outlook 2007/IEO2007) memprediksikan konsumsi minyak dan bahan bakar cair lain seperti etanol, batu bara cair, dan LNG cair akan meningkat dari 83 juta bph setara minyak tahun 2004 menjadi 97 juta bph tahun 2015 dan 118 juta bph tahun 2030.

Sedangkan berdasarkan skenario tinggi (high price case), harga minyak diproyeksikan mencapai 157 dollar AS per barrel secara nominal pada 2030. Sebagai catatan prediksi harga EIA selama ini selalu terlampaui.

Selama ini harga minyak lebih banyak dikendalikan oleh kartel Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC) dan oligopoli segelintir perusahaan minyak raksasa negara maju. Selain faktor suplai dan permintaan, spekulan juga ikut bermain. Beberapa analis memperkirakan dari 80 dollar AS per barrel harga minyak sekarang ini, sekitar 10 dollar AS di antaranya adalah karena peran spekulasi hedge funds.

Di luar itu masih banyak faktor lain yang juga bisa memengaruhi harga minyak, termasuk faktor geopolitis, krisis politik, pemogokan buruh, gangguan teroris, dan badai. Banyak yang menduga invasi atau serangan AS ke Iran akan sangat berdampak katastropik terhadap pasar dan harga minyak.

Tingginya harga minyak, ditambah dampak krisis kredit perumahan kelas dua di AS (subprime mortgage) di AS sekarang ini, dikhawatirkan bakal menyeret perekonomian AS dan kemudian perekonomian dunia dalam resesi.

Spekulasi yang berkembang, resesi di AS akan membuat permintaan akan minyak mentah juga turun (mengingat AS adalah konsumen terbesar minyak), sehingga tekanan dari sisi permintaan juga turun dan harga minyak dunia pun akan turun. Artinya, sebelum mencapai level 100 dollar AS per barrel, harga akan turun. Tetapi apakah betul begitu?

Sayangnya, tidak semuanya yakin resesi di AS pun bakal mampu mengerem permintaan dunia. Kalaupun permintaan AS turun, permintaan negara-negara berkembang emerging market diperkirakan akan terus meningkat. Karakteristik pasar minyak mentah dunia sekarang ini, menurut EIA dan OECD, ditandai oleh terus meningkatnya konsumsi (terutama dari China dan India), pertumbuhan pasokan non- OPEC yang hanya moderat, terus menurunnya stok (inventori) minyak di AS, dan meningkatnya permintaan terhadap minyak produksi OPEC.

Dari gambaran ini, tekanan harga minyak sekarang ini diprediksi bakal terus berlanjut pada 2008, terutama jika laju pertumbuhan konsumsi minyak dunia tidak dapat direm. Ditambah lagi dengan adanya skeptisme bakal terealisasinya proyeksi tambahan pasokan 2 juta barrel (1,2 juta bph dari OPEC dan 860.000 bph dari non-OPEC ) di tengah kondisi geopolitis seperti sekarang.

Selain itu, ada kecenderungan negara-negara penghasil minyak sendiri, termasuk produsen besar OPEC di Timur Tengah (Timteng), menahan sebagian produksi minyak di dalam negerinya. Salah satu indikasi yang disebut Goldman Sachs, misalnya, ekspor minyak Timteng sekarang ini lebih rendah dari tahun 2000, padahal produksi mereka meningkat 2 juta barrel per hari.

Peningkatan pendapatan negara-negara eksportir minyak mencapai 850 miliar dollar AS selama kurun 1999-2005. Nilai cadangan minyak yang mereka kuasai juga meningkat lebih dari 40 triliun dollar AS antara tahun 1999 dan tahun 2005.

Permanen

Dana Moneter Internasional (IMF) dalam laporan "Oil Price and Global Imbalances" memprediksikan tekanan harga minyak sekarang ini bakal bertahan atau permanen. Ini bedanya dengan oil shock sebelumnya. Dari perspektif historis, separuh lonjakan harga minyak 1973-1974 terbukti permanen/berlanjut, sementara oil shock 1979-1981 akhirnya berbalik.

Untuk yang sekarang ini, ekspektasi pasar maupun penilaian terhadap fundamental jangka menengah pasar minyak mengisyaratkan sebagian besar tren kenaikan sifatnya permanen atau bertahan. Artinya, kemungkinan koreksi atau turun, kecil.

Prediksi jangka menengah IEA juga memperkirakan kondisi pasar minyak dunia akan tetap ketat lima tahun mendatang, dengan pertumbuhan konsumsi 2,2 persen per tahun, sementara pasokan dari non-OPEC hanya meningkat 1 persen per tahun sebelum akhirnya stagnan. Ini akan semakin mempertinggi tensi dan ketergantungan negara-negara maju pada OPEC.

OPEC akan dipaksa menggenjot produksi dari 31,3 juta bph sekarang ini menjadi 36,2 juta bph tahun 2012 sehingga berakibat kapasitas tersisa hanya 1,6 persen dari permintaan global, dari sekarang 2,9 persen.

Beberapa negara mengantisipasi prospek melonjaknya harga minyak ini dengan menimbun stok dan melakukan lindung nilai (hedging) sejak jauh-jauh hari.

Langkah Venezuela menasionalisasi proyek-proyek minyak perusahaan-perusahaan minyak asing mulai menginspirasi dan diikuti negara lain untuk mengamankan kepentingan jangka panjang mereka. Pada 22 Juni lalu Rusia memaksa BP menjual mayoritas saham di lapangan gas raksasa di Siberia, Kovykta, seharga sekitar 700 juta dollar AS.

Tahun sebelumnya, Royal Dutch Shell PLC juga dipaksa melepas kontrol mayoritas atas proyek gas Sakhalin II di Timur Jauh, dan Rusia kini juga tengah melakukan tekanan serupa terhadap ExxonMobil di lapangan lain tidak jauh dari situ.

Negara-negara lain melakukan tidak hanya dalam harga, tetapi juga hedging sejak di perut bumi. Contohnya China. Mengantisipasi kebutuhan energi untuk mendukung kesinambungan pertumbuhan ekonomi tingginya, negara ini sangat agresif dalam perburuan minyak. Mereka tidak hanya menandatangani berbagai kontrak besar jangka panjang pasokan migas dan sumber energi fosil lain seperti batu bara dengan negara-negara pemilik deposit besar, tetapi BUMN-BUMN minyaknya juga agresif mengakuisisi saham perusahaan-perusahaan minyak dan investasi eksplorasi di berbagai negara.

Selain permintaan yang pasti akan terus meningkat, situasi ke depan masih penuh ketidakpastian dan negara-negara yang tak mampu mengantisipasi dan menyiasati kondisi ini bakal menjadi korban paling menyedihkan dari situasi yang serba sulit diprediksi ini. (sri hartati samhadi)

No comments: