Saturday, October 20, 2007

Pengentasan Harus Memberdayakan


Bantuan Bersifat Derma Langgengkan Kemiskinan

Jakarta, Kompas - Implementasi penanganan masalah kemiskinan di Indonesia seharusnya perlu didasari pemikiran kesetaraan sosial. Dengan demikian, program-program pengentasan masyarakat dari kemiskinan akan lebih bersifat memberdayakan masyarakat dan bukan lagi bersifat berderma.

Demikian diungkapkan sosiolog yang kini menjabat sebagai Rektor Universitas Indonesia Gumilar Rusliwa Somantri, Kamis (18/10). Dia berpandangan, kampanye penanganan kemiskinan yang belakangan ramai lantaran terkait dengan pencapaian target Tujuan Pembangunan Milenium (MDGs) pada dasarnya bertujuan positif. Namun, tentu saja itu harus diikuti dengan implementasi penanganan masalah kemiskinan secara nyata.

Dia melihat, sejauh ini implementasi penanganan kemiskinan belum sepenuhnya mencerminkan semangat kesetaraan sosial. Pemerintah dan lembaga swadaya masyarakat dalam membantu menangani kemiskinan sebagian masih seperti seorang sinterklas yang datang memberikan bantuan.

Padahal, orang miskin mempunyai daya untuk menorehkankan sejarah kesejahteraannya sendiri. Pemberdayaan rakyat miskin kerap diartikan dengan empati yang berujung kepada pemberian sumbangan. Padahal, perubahan nasib yang mendapatkan dorongan dari luar tanpa kesadaran sendiri biasanya tidak bertahan lama.

Menurut dia, keberpihakan kepada orang miskin seharusnya lebih bersifat pemberdayaan. Untuk itu, upaya pemberdayaan tidak perlu muluk-muluk. Kuncinya ialah kesetaraan, pencerahan, dan fasilitasi kepada rakyat miskin. Seperti yang juga pernah disampaikan Gumilar dalam pidato pengukuhannya sebagai guru besar bidang Ilmu Sosiologi Perkotaan UI awal tahun ini, agenda penanganan kemiskinan selayaknya berfokus kepada penguatan perekonomian rakyat secara riil dan berkelanjutan.

Langgengkan kemiskinan

Program pembangunan dan bantuan yang hanya memberi ikan dan tidak memberi instrumen pemberdaya kerap hanya akan melanggengkan struktur kemiskinan masyarakat. Masyarakat tidak didorong menolong dirinya sendiri. Program sinterklas, seperti program terbaru berupa bantuan langsung tunai, misalnya, sekalipun didasari dengan tujuan baik, masih kurang efektif untuk memberdayakan masyarakat miskin agar dapat berdikari.

Langkah nyata mengatasi kemiskinan perlu dirangkai dalam semangat pengembangan masyarakat "industrial". Masyarakat yang dimaksud ditandai dengan suburnya komunitas yang mempunyai sensibilitas, nilai, semangat, dan etos kewirausahaan sehingga dia dapat adaptatif dengan dinamika dan logika ekonomi pasar serta menjadi kreatif.

Erna Witoelar, Duta Besar Perserikatan Bangsa-Bangsa Khusus untuk Tujuan Pembangunan Milenium (MDGs) di Kawasan Asia- Pasifik, mengatakan, persoalan kemiskinan sebenarnya bisa diatasi negara mana pun, termasuk Indonesia. Ini menuntut kerja keras, dukungan dana, dan kemauan politik yang kuat dari pemerintah dan masyarakat. Akan tetapi, Erna menilai kebijakan-kebijakan yang dilakukan pemerintah untuk mengatasi persoalan kemiskinan itu bukan cuma cara-caranya yang salah, tetapi juga sering kali tidak tepat sasaran. Ini diakibatkan kebijakan yang tidak berangkat dari persoalan riil dan kebutuhan masyarakat miskin.

Dalam pencapaian MDGs, Indonesia memang menghadapi tantangan yang semakin berat. Persoalan kemiskinan, kelaparan, lingkungan hidup, serta kematian ibu dan anak yang masih cukup tinggi memerlukan penanganan yang serius. "Namun, Indonesia bukan tanpa harapan. Pemimpin bangsa ini seharusnya segera sadar dengan kenyataan ini. Indonesia harus bergerak dengan keseriusan yang nyata. Negara-negara lain semakin menunjukkan komitmennya terhadap persoalan global yang perlu diatasi dengan dukungan anggaran dan aksi nyata," papar Erna.

Direktur Eksekutif International NGO Forum on Indonesia Development (INFID) Donatus Klaudius Marut dan Kepala Divisi Advokasi INFID Wahyu Susilo menyatakan, Pemerintah Indonesia belum memiliki komitmen yang kuat dalam menempatkan Tujuan Pembangunan Milenium sebagai panduan kebijakan penanggulangan kemiskinan.

Pemerintah Indonesia, menurut INFID, tetap percaya bahwa resep-resep pembangunan yang didesakkan oleh lembaga keuangan internasional dan negara pemberi utang (seperti privatisasi, investasi swasta, liberalisasi pasar, dan pembiayaan pembangunan melalui utang) sebagai pilihan kebijakan penanggulangan kemiskinan. (LOK/INE/ELN)

No comments: