Monday, October 29, 2007

Analisis Reksa Dana


Tol, Solusi Alternatif Transportasi

Chandra Pasaribu

Jalan tol sudah merupakan urat nadi transportasi sebagian penduduk di Jakarta. Akan tetapi, kenaikan tarif tol pada September 2007 yang sesuai aturan tetap mendapatkan tentangan dari penggunanya. Seberapa pantaskah kenaikan tarif tol diberlakukan meskipun mengakibatkan para penggunanya semakin sulit bernapas karena semakin ketatnya ikat pinggang?

Mengapa harus ada jalan yang harus bayar? Mengapa tidak seperti jalan pada umumnya yang gratis? Pertama, jalan tol dibangun investor, bukan oleh pemerintah seperti jalan umum. Seharusnya pemerintah membangun jalan umum dengan menggunakan pendapatan pajak sebagai sumber pendanaan. Ini berarti, dengan semakin terbatasnya anggaran belanja, kian terbatas pula kemampuan pemerintah membangun kebutuhan infrastruktur, terutama jalan umum.

Karena itu, pemerintah mengundang investor swasta untuk berpartisipasi dalam pembangunan jalan. Maka dipungutlah tarif tol agar investasi tersebut dapat kembali.

Perdebatan terbesar dari jalan tol biasanya berkisar pada penetapan tarif karena berdampak langsung pada kantong pengguna jasa jalan tol. Besarnya tarif tol mempunyai dua aspek yang sangat perlu diperhatikan, yaitu tingkat daya beli pengguna jasa jalan tol serta tingkat pengembalian kepada pihak investor.

Beberapa aspek yang perlu diperhitungkan dalam menentukan besarnya tarif tol. Tingkat pengembalian dari investor akan tergantung dua hal, yaitu besarnya tarif yang dikenakan serta lamanya konsesi jalan tol yang diberikan oleh pemerintah. Di Indonesia, pemerintah menganut sistem build operate and transfer. Dalam skema ini investor berkewajiban membangun jalan tol, mengoperasikannya untuk jangka waktu tertentu, kemudian mentransfer atau mengembalikannya kepada pemerintah. Sejauh ini pemerintah rata-rata memberikan konsesi untuk 45 tahun.

Tarif merupakan komponen lain yang sangat menentukan tingkat pengembalian investor yang tak kalah pentingnya. Besaran tarif diatur berdasarkan keputusan menteri pekerjaan umum. Kenaikan tarif dilakukan setiap dua tahun sebesar tingkat inflasi kumulatif dalam dua tahun tersebut. Aturan kenaikan tarif secara berkala setiap dua tahun baru diberlakukan sejak 2005. Sebelumnya aturan kenaikan tarif belum diatur kapan dan berapa besarannya sehingga tidak memberikan kepastian pengembalian kepada investor.

Tarif tol harus mencerminkan tingkat pengembalian yang ekonomis bagi investor. Jika tidak, tak seorang investor pun akan bersedia berinvestasi membangun jalan tol. Aspek ini sangat penting pada saat pemerintah tidak mampu membangun sarana transportasi. Semakin tinggi tarif, kian tinggi pula tingkat pengembalian bagi investor sehingga akan merangsang investasi dalam jalan tol. Jadi tarif tol harus cukup tinggi guna merangsang investasi dalam jalan tol oleh investor swasta.

Soal lahan

Selain tarif, investor jalan tol menghadapi kendala dari pembebasan lahan. Pembebasan lahan bisa menjadi proses yang berbelit karena status tanah yang tidak jelas sehingga banyak menimbulkan beroperasinya spekulan tanah. Harga pembebasan tanah menjadi sangat tidak terkendali membuat biaya investasi pembangunan jalan tol membengkak. Menghadapi risiko membengkaknya biaya investasi, biasanya investor meminta tarif yang mencakup risiko ini.

Semakin tidak jelas biaya pembebasan tanah semakin tinggi pula tarif yang diminta. Oleh karena itu, menjadi tugas pemerintah untuk menekan risiko kenaikan biaya investasi dari pembebasan tanah. Bila risiko ini minimal tarif pun seharusnya bisa ditekan.

Sering tarif tol di Indonesia diperbandingkan dengan tarif tol di luar negeri. Diperoleh kesimpulan bahwa tarif tol di Indonesia masih relatif lebih murah sehingga menjadi dasar argumen untuk meningkatkan tarif tol. Dari sisi merangsang investasi mungkin ada benarnya. Di Malaysia saja panjang jalan tol mencapai 1.200 km, sedangkan Indonesia dengan luas wilayah yang jauh lebih besar hanya mempunyai 600 km jalan tol. Ini menunjukkan seberapa jauh kita tertinggal dari negara tetangga kita ini. Angka fenomenal dicapai China dengan total jalan tol sepanjang 46.000 km.

Menaikkan tarif guna merangsang pertumbuhan investasi jalan tol merupakan solusi parsial. Permasalahan lain yang belum terpecahkan adalah masalah pembebasan lahan yang masih sering terkendala dengan keruwetan administrasi pertanahan maupun harga pembebasan. Belum lagi banyak campur tangan oleh spekulan-spekulan tanah yang semakin memperkeruh suasana. Ini jelas, ini menimbulkan risiko yang sulit diukur sehingga menurunkan minat investor. Penyelesaian permasalahan pertanahan membutuhkan kemampuan administrasi serta kemauan politik yang kuat.

Dalam membandingkan tarif jalan tol, aspek keadilan dan masalah pilihan sering diabaikan. Tarif tol sedianya memang harus mahal karena memberikan kenyamanan lebih bagi para pemakainya dibandingkan menggunakan transportasi masal seperti kereta api. Sebagai contoh di Singapura, jangankan jalan tol, jalan biasa pun dikenakan electronic road pricing (ERP) pada kawasan padat lalu lintas. Ada harga yang harus dibayar untuk memperoleh suatu kenyamanan.

Pilihan

Tetapi perlu diingat, masyarakat Singapura mempunyai pilihan lain yang lebih murah, yaitu dengan menggunakan transportasi massal seperti bis ataupun MRT (kereta listrik bawah tanah) dengan tingkat kenyamanan dan keamanan yang memadai. Oleh karena itu, tarif jalan menjadi mahal karena memberikan kenyamanan ekstra seperti sangat tidak terikat jadwal keberangkatan (sebaliknya, MRT terikat jadwal yang sangat tepat), sangat menjaga privasi di dalam kendaraan (tidak perlu berbagi dengan penumpang lain), mengantarkan ke tempat tujuan sampai di depan pintu (memakai kereta hanya sampai stasiun kemudian masih harus berjalan lagi). Sebenarnya jalan tol memberikan kenyamanan pribadi sehingga menjadi mahal. Belum lagi dengan menggunakan mobil pribadi berarti menambah sesaknya polusi udara.

Lain halnya di Indonesia atau Jakarta lebih spesifik. Masyarakatnya hampir tidak mempunyai pilihan transportasi alternatif dengan tingkat kenyamanan dan keamanan memadai. Ini berarti jika tarif tol dinaikkan, orang akan tetap menggunakan jalan tol karena ketiadaan pilihan. Oleh karena ketiadaan pilihan, tarif tol di Indonesia mempunyai aspek keadilan yang lebih besar. Jika tidak, pemerintah memaksimalkan pendapatan dengan pola ekonomi monopoli, yang jelas-jelas bertentangan dengan semangat kebangsaan Indonesia. Pada akhirnya pemerintah perlu menyediakan alternatif transportasi yang memadai sebelum memberlakukan tarif tol tinggi.

Apakah jalan tol bisa menjadi solusi alternatif transportasi? Jelas ya, bahkan lebih dari itu. Dengan adanya jalan tol, transportasi menjadi lancar sehingga meningkatkan akses akan barang maupun jasa yang pada akhirnya mendorong pertumbuhan ekonomi. Jalan tol akan membuka akses ke daerah-daerah baru. Lihat apa yang terjadi dengan pertumbuhan perumahan di sepanjang jalan Jagorawi. Ini juga pada akhirnya memicu pertumbuhan ekonomi regional. Terakhir, pembangunan jalan tol relatif padat karya sehingga dapat mengurangi pengangguran. Hambatan terbesar jalan tol ada pada pembebasan tanah karena seringnya timbul kesimpangsiuran kepemilikan dan harga akuisisi yang tidak jelas. Diperlukan lebih dari sekadar kemauan politik jika ingin mempercepat pembangunan jalan tol.

Chandra Pasaribu Analis Danareksa

No comments: