Wednesday, October 17, 2007

Harga Minyak Dunia Terus Naik


Defisit APBN Terancam Naik

Jakarta, Kompas - Harga minyak mentah dunia, Selasa (16/10), terus melambung hingga mencapai rekor tertinggi 87,46 dollar AS per barrel di bursa New York, Amerika Serikat. Kenaikan harga minyak juga terjadi di bursa London yang mencetak rekor yaitu 83,97 dollar AS per barrel.

Satu hari sebelumnya, Senin, harga minyak di bursa AS mencapai 85,19 dollar AS per barrel. Sedangkan, harga minyak jenis brent di bursa London mencapai 81,26 dollar AS per barrel.

Kenaikan harga dalam sepekan terakhir telah mencapai delapan dollar di tengah kondisi permintaan minyak yang tinggi, pasokan minyak yang relatif ketat, dan meningkatnya ketegangan antara Turki dan Suku Kurdi di Irak.

Pengamat Perminyakan Kurtubi, di Jakarta, menilai, harga minyak dunia yang sudah melampaui 85 dollar AS per barrel itu merupakan yang tertinggi dalam sejarah perminyakan dunia.

Harga minyak itu dimungkinkan terus melambung hingga triwulan pertama tahun 2008, karena permintaan minyak terus menguat sebagai dampak musim dingin di belahan bumi utara.

Kenaikan harga minyak dunia hingga melampaui 85 dollar AS per barrel akan semakin menekan APBN, dan memicu defisit anggaran yang semakin besar. Hal itu karena Indonesia masih bergantung pada impor minyak.

Ironisnya, di saat harga minyak dunia mencapai level yang tertinggi, produksi minyak Indonesia justru mencapai level yang terendah dalam 30 tahun terakhir, yaitu sekitar 950.000 barrel per hari. Buruknya kondisi minyak nasional itu diperparah dengan beban cost recovery yang tertinggi dalam sejarah perminyakan nasional.

"Kenaikan harga minyak dunia merupakan tekanan berat bagi APBN. Kita tidak bisa menikmati kenaikan harga itu, tetapi menuai dampak negatif karena produksi minyak nasional melemah, sedangkan impor minyak tinggi," kata Kurtubi.

Kenaikan harga minyak dunia hingga melampaui 87 dollar AS itu diluar asumsi pemerintah Indonesia dalam APBN Perubahan (APBN-P). Dalam APBN-P 2007, pemerintah Indonesia menurunkan asumsi harga minyak di pasar internasional dari 63 dollar AS per barrel menjadi 60 dollar AS per barrel.

Menurut Kurtubi, dengan asumsi defisit APBN untuk setiap kenaikan harga minyak 1 dollar AS adalah sebesar Rp 500 miliar sampai Rp 1 triliun, maka defisit APBN akibat kenaikan harga minyak 25 dollar AS ditaksir mencapai Rp 25 triliun.

Kurtubi mengatakan, produksi minyak mentah nasional saat ini berkisar 950.000 barrel per hari, sedangkan kebutuhan minyak mencapai 1,45 juta barrel per hari. Sementara, kapasitas kilang minyak Indonesia mencapai 1,05 juta barrel per hari. Kekurangan produksi nasional itu dipenuhi dengan impor minyak mentah sampai 350.000-400.000 barrel per hari.

Sementara itu, impor BBM untuk kebutuhan dalam negeri mencapai 350.000 barrel per hari. Impor BBM masih tak dapat dihindari karena keterbatasan kapasitas kilang dalam negeri. Nilai impor itu lebih tinggi jika dibandingkan dengan volume ekspor minyak sebesar 150.000 barrel per hari.

"Indonesia saat ini sudah menjadi importir net oil secara permanent. Nilai impor minyak itu tidak diimbangi dengan volume ekspor yang masih kecil," kata Kurtubi.

Kurtubi mengatakan, kenaikan harga minyak dunia akan berdampak pada kenaikan harga beli BBM di pasar internasional, sedangkan volume BBM yang dikonsumsi masyarakat cenderung meningkat setiap tahun.

Selain itu, subsidi listrik berpotensi ikut naik menyusul kenaikan harga BBM dan volume BBM. Berkurangnya suplai batubara dan gas menyebabkan PT PLN kini banyak bergantung pada pemakaian BBM yang dibeli dengan harga pasar.

Bagi dunia industri, kenaikan harga minyak dunia juga akan berdampak pada peningkatan biaya produksi sehingga mendorong kenaikan harga produk. Harga bahan-bahan baku impor diperkirakan ikut naik menyusul kenaikan harga minyak dunia.

Kurtubi mendesak pemerintah segera melakukan upaya yang serius untuk mengantisipasi dampak melambungnya harga minyak dunia. Di antaranya, dengan menggalakkan secara serius program konversi minyak tanah ke elpiji. Selain itu, mempercepat pengembalian uang negara akibat penyelewengan biaya operasi migas yang dibebankan ke pemerintah (cost recovery) sebesar 2,5 miliar dollar AS.

Disamping itu, menggalakkan kegiatan hemat penggunaan BBM kepada masyarakat,

Pemerintah kemungkinan terpaksa meningkatkan subsidi BBM, atau sebaliknya justru menaikkan harga BBM yang dikonsumsi masyarakat.

"Jika tekanan harga minyak dunia terlampau besar, maka mungkin saja muncul godaan bagi pemerintah untuk menaikkan harga BBM. Tetapi, hal itu mengingkari janji pemerintah untuk tidak menaikkan harga listrik dan BBM sampai dua tahun ke depan. Itu akan menghancurkan kepercayaan publik terhadap pemerintah," kata Kurtubi.(RTR/LKT)

No comments: