Saturday, October 27, 2007

Minyak, CPO, dan Sektor Industri


Cetak E-mail

Oleh: Ahmad Erani Yustika PhD

Turbulensi ekonomi domestik bakal terjadi kembali setelah pergerakan harga minyak berjalan nyaris tidak dapat dikendalikan. Pekan lalu, tepatnya sejak 19 Oktober 2007, harga minyak mentah mencapai rekor baru sebesar USD90 per barel di pasar internasional.

Dengan pergerakan tersebut, harga minyak USD100 per barel hanya tinggal menunggu waktu. Situasi ini membuat ekonomi Indonesia berpotensi mengalami guncangan, setidaknya dari sisi fiskal, karena Indonesia sekarang merupakan net importir minyak. Dalam masa mendatang, sekurangnya pada 2008, perekonomian Indonesia hanya bisa selamat dari turbulensi harga minyak tersebut apabila bisa melakukan dua hal sekaligus: meningkatkan produksi dan menurunkan konsumsi.

Sayangnya, dua hal itu bukan perkara gampang untuk dilakukan. Kondisi tersebut semakin rawan karena pada saat yang bersamaan harga CPO (minyak sawit mentah) di pasar internasional juga melonjak menjadi USD850 per ton.

Ancaman Beban Fiskal

Sulit memastikan mengapa harga minyak dan CPO di pasar internasional melonjak begitu tajam, karena dari sisi produksi (supply) tidak terdapat indikasi penurunan. Sementara permintaan (demand) kedua komoditas itu juga cenderung stabil. Kalaupun ada peningkatan, tidaklah drastis. Karena itu, dari kaca mata ekonomi sebetulnya sulit untuk melacak penyebab sebenarnya kenaikan harga minyak dan CPO ini. Kemungkinan yang terjadi sebenarnya adalah perilaku psikologis (sekaligus spekulatif) yang menganggap kedua komoditas itu bakal langka di hari-hari mendatang, khususnya minyak, karena instabilitas politik di beberapa negara penghasil minyak seperti Iran.

Motif lain juga bisa dikembangkan, misalnya Amerika Serikat (AS) berada di balik peristiwa ini dengan tujuan mengguncang perekonomian negara berkembang karena saat ini IMF sedang dalam situasi krisis (kesulitan menyalurkan kredit). Meski skenario ini sangat sumir, tapi tetap dapat dikaji kemungkinannya. Di luar soal penyebab lonjakan harga, yang jelas kenaikan harga minyak dan CPO bakal memengaruhi kekuatan fiskal perekonomian. Kenaikan harga minyak bakal mengganggu fiskal karena pemerintah harus menambah anggaran subsidi BBM.

Hal ini terjadi sebab Indonesia kini bukan lagi eksportir minyak, tetapi merupakan importir. Pada saat yang sama, Indonesia hingga kini masih memberikan subsidi untuk konsumsi minyak domestik, walaupun persentase subsidi itu sudah dipangkas cukup besar pada 2005. Pada tahun anggaran 2007 ini mungkin defisit fiskal masih dapat diatasi dengan jalan memotong belanja modal maupun pengeluaran pembangunan, karena dalam dua jenis anggaran itu banyak dana yang tidak terserap.

Tetapi, cara tersebut tidak mungkin dijadikan jalan keluar permanen di tahun-tahun mendatang sehingga pemerintah (dan DPR) harus menyiapkan skenario solusi yang lebih kredibel untuk menyikapi masalah ini. Implikasi lainnya adalah guncangan harga minyak goreng domestik yang bakal melonjak seiring kenaikan harga CPO di pasar internasional.

Dari sisi fiskal, kenaikan harga CPO tersebut tidak terlalu bermasalah karena Indonesia merupakan eksportir besar, sehingga momentum ini justru menguntungkan Indonesia. Problemnya, kenaikan harga CPO di pasar internasional pasti akan mengerek harga minyak goreng di pasar domestik. Inilah yang menjadi persoalan besar karena minyak goreng merupakan salah satu kebutuhan pokok/ strategis di Indonesia.

Pemerintah memang sudah mengeluarkan beberapa kebijakan untuk mengatasi permasalahan ini, misalnya dengan kebijakan pungutan ekspor (PE) dan domestic obligation market (DOM). Namun, hingga kini kebijakan itu belum menunjukkan efektivitas memadai untuk dapat menahan harga minyak goreng. Di sini, ada beberapa persoalan kelembagaan yang mesti dibenahi oleh pemerintah.

Kompensasi Sektor Industri

Salah satu sektor ekonomi yang bakal terpukul dari kenaikan harga minyak adalah sektor industri, khususnya industri semen, pupuk, dan kimia. Sejak 2005, sebetulnya sektor industri sudah mulai sekarat akibat kenaikan harga BBM sekira 100 persen. Beberapa waktu lalu, pemerintah juga sudah menaikkan kembali harga minyak sektor industri. Pada 2008, jika tren kenaikan harga minyak di pasar internasional tidak dapat dibendung, dipastikan pemerintah akan menaikkan harga minyak domestik, khususnya untuk sektor usaha (industri).

Di sini, sektor industri yang sangat tergantung dengan minyak sebagai pendorong proses produksi (dalam realitasnya semua sektor industri pasti tergantung minyak) akan dibebani biaya produksi yang kian meningkat. Di satu sisi, kenaikan biaya produksi ini akan menurunkan daya saing komoditas Indonesia di pasar internasional sehingga mengurangi ekspor (menurunkan cadangan devisa). Di sisi lain, sulit bagi usahawan untuk menaikkan harga di pasar domestik karena daya beli masyarakat masih lemah yang berpotensi menurunkan laba perusahaan, bahkan bisa merugi. Menyikapi masalah itu, pemerintah dalam jangka pendek sebaiknya fokus untuk mengantisipasi soal-soal berikut.

Pertama, mencegah potensi penyelundupan karena selisih harga domestik dan internasional yang kian tinggi (price margin), baik minyak maupun CPO. Kedua, mengamankan pasokan dan distribusi minyak goreng dengan tingkat harga yang terjangkau sehingga harga minyak goreng tidak terlalu membebani masyarakat. Ketiga, menyiapkan skema kebijakan kompensasi, baik kepada sektor industri, konsumen, maupun produsen CPO sehingga turbulensi kenaikan harga minyak dan CPO tersebut tidak sampai menghancurkan perekonomian nasional.

Skema kompensasi itu, misalnya, bisa dalam bentuk pengurangan pajak sektor industri dan subsidi minyak goreng. Dengan jalan ini, semoga guncangan harga minyak dan CPO di pasar internasional tidak terlalu berpengaruh terhadap perekonomian domestik. (*)

Ahmad Erani Yustika PhD
Ketua Program Studi Magister Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan FE Unibraw

No comments: