Monday, October 29, 2007

ANALISIS EKONOMI



Optimisme di Tengah Ketidakpastian

Mirza Adityaswara

Minggu lalu saya mengantar dua investor portofolio dari dua institusi besar mengunjungi beberapa perusahaan publik. Kunjungan seperti ini dilakukan berkala oleh investor portofolio untuk kajian ulang terhadap kinerja perekonomian Indonesia dan perusahaan publik tempat mereka menanamkan investasinya, seperti di sektor perbankan, otomotif, perkebunan, pertambangan, dan properti.

Yang menarik, ada dua kesimpulan yang dipetik investor tersebut. Pertama, ekonomi Indonesia mengalami perubahan struktural. Karena naiknya harga komoditas, peranan luar Jawa menjadi kian penting. Kesimpulan kedua, agar Indonesia bisa meningkatkan daya saing dan tingkat pendapatan masyarakat, harus ada kebijakan jangka panjang dan implementasinya di bidang pertanian, industri manufaktur, dan industri jasa.

Masih menurut investor tersebut, seharusnya orang Indonesia jangan terlalu terpaku dengan gejolak harga minyak. Katanya, lihatlah ekspor batu bara dan kelapa sawit yang besarnya hampir menyusul ekspor migas. Ekspor migas mencapai 18 persen dari total ekspor, sedangkan nilai ekspor produk perkebunan dan tambang nonmigas mencapai 27 persen dari total ekspor. Ke depan, volume ekspor komoditas akan meningkat sejalan dengan eksplorasi pertambangan dan ekspansi perkebunan yang dipicu pertumbuhan ekonomi China dan India.

Masalahnya, yang menikmati kenaikan harga komoditas seperti batu bara, CPO, nikel, dan lainnya memang bukan orang yang hidup di Jakarta dan Pulau Jawa. Bagi kita yang hidup di Pulau Jawa, mungkin tidak kelihatan adanya peningkatan pertumbuhan ekonomi. Bahkan, bagi masyarakat di Jakarta, kemacetan lalu lintas dan bahaya banjir membuat hidup ini menjadi terasa semakin suram.

Perhatikan data penjualan semen. Terlihat perubahan pola pertumbuhan permintaan di Indonesia. Perkembangan daya beli masyarakat sebagian bisa digambarkan dengan penjualan semen karena dibutuhkan untuk pembangunan dan renovasi rumah. Volume penjualan semen di Indonesia naik 7 persen selama sembilan bulan (Januari-September): penjualan di Jawa hanya tumbuh 2,5 persen, sedangkan di luar Jawa tumbuh di atas 8 persen. Penjualan semen di Jakarta masih minus 2,1 persen. Provinsi Banten hanya tumbuh 2 persen, tetapi di Jawa Barat masih minus 6 persen.

Peningkatan penjualan semen yang signifikan terjadi di Yogyakarta, tumbuh 57 persen. Ini mungkin karena masih masa rehabilitasi pascagempa bumi. Penjualan semen di Jawa Tengah hanya sekitar 2 persen. Yang menarik, Jawa Timur mengalami pertumbuhan penjualan cukup tinggi, yaitu 9 persen. Sayangnya, tidak ada data seberapa besar pengaruh pembangunan tanggul lumpur di Sidoarjo terhadap tingginya konsumsi semen di Jawa Timur.

Penjualan semen di luar Jawa saat ini cukup fantastis, sekitar 42 persen dari total penjualan semen domestik dengan peningkatan bervariasi di setiap pulau. Peningkatan kemakmuran masyarakat tampaknya terjadi di luar Jawa karena lonjakan harga komoditas tambang dan perkebunan.

Data penjualan alat berat Komatsu mungkin bisa juga dijadikan petunjuk adanya perubahan pola pertumbuhan ekonomi daerah. Selama sembilan bulan di tahun 2007, penjualan alat berat Komatsu ke sektor perkebunan melonjak 106 persen dan kenaikan 25 persen ke sektor pertambangan. Yang menarik, penjualan alat berat ke sektor konstruksi meningkat 64 persen. Artinya, memang terjadi kegiatan konstruksi di daerah. Konstruksi nasional tumbuh 7,8 persen di kuartal II-2007, lebih tinggi dari pertumbuhan PDB kuartal kedua (6,3 persen).

Kalangan industri elektronik juga menyatakan terjadi kenaikan penjualan, terutama di dorong permintaan yang cukup tinggi di luar Jawa.

Data kredit perbankan juga menyatakan hal serupa. Sampai Agustus meningkat 22 persen, dengan kredit di pulau Jawa tumbuh 17 persen, sedangkan di luar Jawa lebih tinggi, yaitu di Sumatera dan Kalimantan tumbuh 21 persen dan di Sulawesi tumbuh 27 persen.

Potensi pertumbuhan ekonomi di luar Jawa seharusnya bisa kian tinggi jika pemda lebih efektif menggunakan dana APBD-nya, tidak dianggurkan Rp 40 triliun di Sertifikat BI.

Potensi pertumbuhan daerah akan semakin tinggi jika pemda tidak mengeluarkan kebijakan pajak daerah yang justru berdampak buruk kepada iklim investasi. Di media disebutkan, sejak tahun 2001 sudah sekitar 1.200 peraturan retribusi dan pajak daerah yang dimintakan pembatalannya oleh pemerintah pusat karena berdampak buruk.

Kritis

Sudah saatnya masyarakat di daerah lebih kritis terhadap kebijakan pemda yang tidak pro kepada penciptaan lapangan kerja dan kesejahteraan masyarakat. Parpol mempunyai tanggung jawab untuk menampilkan calon pemimpin di daerah yang berorientasi peningkatan kesejahteraan ekonomi masyarakat. Pembentukan kabupaten baru harus menghasilkan pertumbuhan ekonomi, bukan rente ekonomi. Pemda juga harus sadar akan perlunya pembangunan ekonomi berkelanjutan, dan waspada terhadap dampak perusakan lingkungan.

Mengapa pertumbuhan ekonomi di Pulau Jawa sulit? Penyebabnya, sebagian besar penduduk hidup di Pulau Jawa, tetapi industri penyerap tenaga kerja di sektor manufaktur dan sektor pertanian stagnan.

Industri manufaktur sebagian besar berlokasi di Jawa, seperti tekstil, sepatu, dan alat rumah tangga. Proporsi industri manufaktur adalah 28 persen dari ekonomi nasional, tetapi tumbuh di bawah pertumbuhan ekonomi nasional. Industri manufaktur hanya tumbuh 5,5 persen di kuartal II-2007, sedangkan PDB tumbuh 6,3 persen.

Pemerintah pusat, daerah, parlemen, dan pekerja harus bekerja sama mengangkat kembali kinerja sektor manufaktur.

Di sektor pertanian, kita baca di media bahwa produksi beras, susu sapi, dan gula stagnan. Sektor ini berperan 14 persen terhadap PDB, tetapi hanya tumbuh 2,4 persen di kuartal kedua. Padahal, banyak sekali penduduk yang bergantung pada sektor ini, terutama di Pulau Jawa.

Intinya, perbaikan ekonomi makro (inflasi, APBN, neraca pembayaran) harus dimanfaatkan untuk membenahi ekonomi sektoral demi menciptakan lapangan kerja dan kesejahteraan masyarakat.

Mirza Adityaswara Analis Perbankan dan Pasar Modal

No comments: