Tuesday, October 30, 2007

Peningkatan Produksi Butuh Waktu


Kegagalan Indonesia menggenjot produksi minyak mentah beberapa tahun terakhir dituding sebagai salah satu penyebab Indonesia babak belur menghadapi lonjakan harga minyak mentah di pasar dunia akhir-akhir ini.

Oleh karena itu, menggenjot produksi dianggap sebagai jalan keluar penting dari kemelut harga minyak sekarang ini. Mampukah pemerintah memenuhi target produksi di atas 1 juta barrel per hari (bph) yang ditetapkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) setelah beberapa waktu terakhir produksi terus tertahan di bawah 1 juta bph?

Berikut wawancara dengan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Purnomo Yusgiantoro, Kamis (25/10) malam lalu.

Produksi minyak kita selama 10 tahun terakhir terus turun, apa yang terjadi dalam kurun waktu itu?

Kita harus melihat bahwa ada beberapa hal yang menyebabkan hal ini. Investasi di minyak dan gas bumi pascakejatuhan Orde Baru tidak jalan karena masih ada imbas krisis moneter. Dan pada waktu itu Rancangan Undang-Undang Migas yang diajukan pemerintah kepada Dewan Perwakilan Rakyat ditolak sehingga semakin sulit mencari investor. Di tambah lagi, produksi minyak saat itu terjun bebas.

Terus apa yang dilakukan pemerintah?

Yang pertama, kita perbaiki kembali substansi RUU Migas untuk kemudian diajukan kembali ke DPR. Sebenarnya secara substansi tidak banyak hal yang berubah dari UU sebelumnya dari sisi pengelolaan upstream.

Perubahan paling besar hanya ada di hilir migas, yaitu dengan memangkas peran Pertamina hanya sebagai pemain di hilir migas, dan regulator dipegang penuh oleh pemerintah. RUU Migas memang diterima oleh DPR, tetapi tidak bisa langsung dijalankan karena UU Migas kemudian digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK). Akibatnya muncul ketidakpastian lagi, dan investasi baru tidak ada yang masuk.

Produksi migas pun terus terjun bebas. Setelah MK selesaikan gugatan tahun 2004, baru pemerintah bisa buat perangkat aturan yang jelas. Investasi mulai masuk lagi di tahun-tahun ini. Hanya saja, yang harus diingat, pengembangan lapangan itu butuh waktu 5-7 tahun hingga bisa berproduksi.

Namun, harus diakui bahwa produksi minyak kita yang telah ditambang sejak 100 tahun lalu itu sudah jenuh sehingga sulit ditingkatkan lagi dengan pesat. Di sisi lain memang terjadi perubahan paradigma. Produksi minyak kita turun, tetapi produksi gas dan batu bara meningkat tinggi.

Adanya paradigma batu bara dan gas naik, kenapa tidak langsung dimanfaatkan oleh pemerintah untuk menggantikan produksi minyak?

Melihat kenyataan produksi minyak yang terus turun, seharusnya kita memang tidak lagi terpaku pada produksi minyak dalam penentuan asumsi APBN. Dari zaman Pak Harto, cuma dua asumsi ini saja yang dilihat, yaitu produksi dan harga minyak.

Memang dari sisi penerimaan, meskipun jumlah produksi minyak menurun, dan paling sedikit dibandingkan dengan gas dan batu bara, sumbangan ke penerimaan negara masih paling besar.

Pemerintah sedang memperjuangkan ke DPR agar asumsi anggaran negara memasukkan gas dan batu bara. Era minyak memang sudah turun, dengan tren digantikan oleh dua jenis energi ini. Produksi gas kita setara dengan 1,5 juta barrel setara minyak, sedangkan batu bara 2,5 juta barrel ekuivalen. Produksi batu bara kita saat ini mencapai 170 juta ton per tahun, itu belum termasuk produksi yang tidak dilaporkan pemerintah daerah.

Kami perkirakan masih ada tambahan sekitar 30 juta ton produksi batu bara yang tidak tercatat. Pemerintah sedang melihat apa yang bisa dilakukan untuk menaikkan penerimaan negara dari gas dan batu bara. Ke depan yang akan menjadi paradigma adalah gas dan batu bara.

Cadangan minyak, termasuk Blok Cepu, tinggal 9,1 miliar barrel. Dengan produksi sekarang, minyak hanya akan bertahan 23 tahun, sedangkan gas masih bisa untuk 62 tahun dan batu bara bertahan hingga 120 tahun.

Sebenarnya, apa masih ada daya tarik di sektor migas?

Investasi itu membutuhkan kepastian dan economic return. Terus terang saja, untuk pertambangan umum sampai saat ini sama sekali belum ada investor yang berani masuk karena undang-undangnya belum selesai. Dari sisi peluang ekonomi, cadangan geologi kita untuk migas masih ada potensi yang menjanjikan. Masih ada 22 cekungan hidrokarbon yang belum dieksplorasi, dan kemungkinan ada potensi minyak. Untuk Asia, kita masih yang paling baik potensinya. Tapi, yang harus disadari, membuka lapangan minyak butuh waktu lama.

Sebenarnya kalau dikatakan kita berpangku tangan, tidak berbuat apa-apa untuk meningkatkan produksi, sebenarnya tidak juga. Investasi kita di migas tidak terlalu buruk, sebab kalau dilihat tahun 2006, total investasi yang masuk di sektor migas mencapai Rp 18 triliun. Itu mayoritas di hulu.

Tahun ini, komitmen investasi di sektor migas juga akan meloncat. Sekarang saja komitmen sudah 44. Memang ada yang mempertanyakan, komitmen, kan, belum tentu jadi, ya memang. Tapi paling tidak itu menunjukkan bahwa sektor migas masih menarik.

Tanggal 30 Oktober nanti kita akan tawarkan 26 blok migas baru. Dari sisi peningkatan produksi, tahun 2006 itu kalau tidak ada upaya, produksi minyak hanya 560.000 barrel.

Bagaimana dengan potensi energi lain seperti panas bumi?

Potensinya memang besar sampai 27.000 megawatt (MW), tetapi yang dimanfaatkan sangat kecil, hanya sekitar 800 MW. Memang panas bumi dulu tidak menarik karena mahal. Rata rata energi fosil memang pemanfaatannya masih kecil meskipun dari segi potensi sangat besar. Energi nonfosil tidak bisa berkembang karena bahan bakar fosil masih disubsidi sehingga orang lebih memilih memakai BBM.

Tapi, ke depan, kita ingin pengembangan panas bumi lebih cepat, apalagi dengan telah keluarnya Peraturan Pemerintah Nomor 125 tentang Panas Bumi. Apalagi dengan adanya tren Mekanisme Pembangunan Bersih.

Kenapa pemerintah menggunakan asumsi harga minyak yang rendah di APBN?

Asumsi harga yang konservatif juga digunakan di semua negara OPEC dan negara produsen minyak. Kuwait, misalnya, memakai asumsi harga 36 dollar AS per barrel, Irak pakai asumsi 50 dollar AS per barrel, Arab Saudi pakai 40 dollar AS per barrel.

Penggunaan asumsi harga minyak yang rendah itu sebagai safety net dalam perimbangan anggaran. Lha, kalau kita telanjur pakai asumsi harga minyak tinggi, lalu harga minyak tiba-tiba jatuh, duit yang sudah dialokasikan ke anggaran, kan, tidak mungkin ditarik lagi. (DOT/THY/AIK/TAT)

No comments: