Saturday, October 27, 2007

Pelajaran dari Minyak


Oleh Sri Hartati Samhadi

Meski hanya bertahan beberapa saat, lonjakan harga minyak mentah hingga di atas 90 dollar Amerika Serikat per barrel pekan lalu tak urung membuat dunia kebat-kebit. Spekulasi resesi ekonomi di AS, dengan imbas global seperti terjadi pada kejadian-kejadian oil shock sebelumnya, segera meruak. Di dalam negeri, ingatan akan trauma krisis ekonomi mini yang dipicu oleh kenaikan tajam harga BBM menyusul pencabutan subsidi pada Februari dan Oktober 2005 juga sempat muncul. Kekhawatiran berlebihan?

Pemerintah sendiri terkesan adem ayem karena dari realisasi harga minyak mentah selama 10 bulan pertama ini, tim ekonomi kabinet (diperkuat sejumlah ekonom) masih melihat dampak harga minyak ke Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) masih cenderung netral. Artinya, pembengkakan subsidi masih bisa ditutup dengan peningkatan pendapatan dari migas.

Dampak ke perekonomian dianggap terbatas mengingat harga BBM (kecuali minyak tanah) sejak beberapa tahun terakhir ini sudah dilepas ke mekanisme pasar.

Kalaupun subsidi membengkak dan APBN bolong, itu bisa ditutup dengan menerbitkan obligasi, Surat Utang Negara (SUN), atau menambah utang. Dengan begitu, APBN aman dan dampak ke rakyat kecil dan kemiskinan bisa ditekan. No big deal.

Sepintas terkesan sudah menyelesaikan problem jangka pendek APBN. Tetapi, langkah ini sifatnya hanya ad hoc dan belum menyelesaikan masalah fundamental struktural terkait persoalan jaminan keamanan energi nasional. Sebaliknya, justru bisa menimbulkan masalah baru, salah satunya meningkatnya beban utang negara.

Dampak netral kenaikan harga minyak mentah pada APBN itu juga hanya bisa dicapai jika syarat target produksi minyak mentah dalam APBN sebesar 1,034 juta barrel per hari (bph) terpenuhi.

Persoalannya, dari sisi suplai, beberapa tahun terakhir hampir tak ada kenaikan signifikan produksi sehingga target produksi APBN selalu meleset. Sementara program diversifikasi dan konservasi energi juga lebih banyak jalan di tempat. Akibatnya, kondisi perekonomian dalam negeri juga sangat rentan terhadap setiap gejolak harga dan pasokan minyak di pasar dunia.

Sementara dari sisi permintaan, konsumsi terus meningkat, mencapai rata-rata hampir 9 persen per tahun selama kurun 1970-2007, baik karena pertumbuhan ekonomi maupun karena pertambahan penduduk.

Bagaimana dengan dampak pada industri? Krisis ekonomi (mini crisis) seperti 2005 kemungkinan memang tak terjadi, tetapi tampaknya pemerintah cenderung mengecilkan dampak lonjakan harga minyak mentah ke industri dalam negeri dengan argumen harga BBM untuk industri sejak lama sudah dilepas ke pasar tadi.

Yang mungkin dilupakan, beberapa tahun ini dunia usaha terus mengalami tekanan secara bertubi-tubi. Tidak sedikit yang hanya mampu sekadar bertahan hidup, tanpa ekspansi. Kenaikan harga BBM (jika terus bertahan di atas 80 dollar AS) akan menjadi pukulan baru bagi dunia usaha, termasuk manufaktur.

Belum lagi dengan adanya ketentuan upah minimum regional (UMR) baru tahun depan yang tentunya menjadi beban tersendiri bagi industri, terutama yang komponen upah buruhnya cukup signifikan dalam struktur biaya industri. Hal itu setidaknya sudah disuarakan oleh sejumlah asosiasi usaha.

Industri yang paling terpukul sudah pasti adalah industri transportasi, manufaktur, dan pariwisata. Sekitar 99,9 persen transportasi di Indonesia ini masih mengandalkan BBM. Untuk manufaktur sekitar 43,8 persen. Sektor komersial lain (ditambah rumah tangga) sekitar 53,1 persen persen. Untuk pembangkitan listrik, sebanyak 23,7 persen juga masih mengandalkan BBM.

Yang dikhawatirkan para ekonom adalah dampak berantai (pass-through effects) ke perekonomian domestik dalam bentuk kenaikan biaya produksi, kenaikan inflasi, penurunan pertumbuhan ekonomi, dan seterusnya. Dunia usaha biasanya cenderung mengalihkan beban kenaikan biaya akibat kenaikan harga minyak ini ke konsumen, dalam bentuk kenaikan harga barang-barang dan jasa, sehingga berdampak terhadap penurunan daya beli masyarakat.

Kalau ini terjadi, yang paling terpukul sudah pasti adalah masyarakat kecil yang pada awal tahun ini juga sudah harus memikul kenaikan harga berbagai bahan kebutuhan pokok akibat buruknya jaringan distribusi dan produksi, di tengah pendapatan yang cenderung tidak meningkat.

Sekitar 49 persen penduduk Indonesia atau hampir 120 juta jiwa lebih sekarang ini, menurut Bank Dunia, berada di bawah garis kemiskinan, berdasarkan ukuran pendapatan 2 dollar AS per hari. Jumlah ini bisa bertambah dengan kenaikan harga minyak secara drastis, meski pada masa lalu sebagian dampaknya bisa diredam melalui program subsidi dan dana kompensasi.

Kemungkinan dampak signifikan dari lonjakan harga minyak mentah di pasar dunia ke perekonomian dalam negeri ini dibantah oleh ekonom M Chatib Basri. Ia menunjuk pada pengalaman tahun 2005, di mana perekonomian masih mampu tumbuh relatif tinggi hingga September 2005, kendati harga minyak mentah di pasar internasional waktu itu sudah naik tajam.

Sektor industri baru terpukul setelah pemerintah menaikkan harga BBM pada oktober 2005. Kenaikan bulan Oktober itu berlaku untuk BBM yang dikonsumsi masyarakat, bukan BBM untuk industri. Artinya, dampak kenaikan harga minyak mentah di pasar dunia pada industri sendiri tak sebesar yang diperkirakan, karena harga untuk industri ini sudah sejak jauh hari dilepaskan ke mekanisme pasar.

Demikian juga dampak terhadap daya beli dan angka kemiskinan. Menurut Chatib, sumber inflasi terbesar di dalam negeri selama ini lebih karena ekspektasi inflasi, depresiasi nilai tukar mata uang, dan posisi uang primer. "Selama kebijakan moneter tetap hati-hati, dampak inflasi dapat ditekan," ujarnya.

Target pertumbuhan ekonomi sebesar 6,8 persen pun, menurut Direktur Perencanaan Makro Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Bambang Priambodo, masih bisa dicapai, melalui percepatan investasi dan peningkatan efektivitas belanja APBN. Tetapi, sekali lagi, itu bukan hal yang mudah dilakukan.

Pengalaman beberapa tahun terakhir, kemampuan penyerapan anggaran pemerintah sangat rendah. Lebih banyak anggaran belanja pemerintah—terutama pemerintah daerah—habis untuk belanja rutin atau ngendon di surat berharga seperti Sertifikat Bank Indonesia (SBI).

Dari sisi pemerintah, pembengkakan subsidi—belum memperhitungkan kemungkinan penurunan penerimaan lain akibat dampak kenaikan harga minyak mentah—akan semakin mempersempit manuver pemerintah untuk belanja investasi. Terutama untuk infrastruktur, dalam rangka menggerakkan perekonomian domestik di tengah prediksi penurunan pertumbuhan ekonomi dunia.

Padahal pembangunan infrastruktur, terutama infrastruktur fisik dasar, sangat tergantung pada investasi pemerintah, mengingat karena berbagai persoalan, investor swasta beberapa tahun ini masih enggan masuk. Tanpa semua langkah tersebut, dampak lonjakan harga minyak mentah (terutama kalau terus bertahan di atas 80 dollar AS per barrel) terhadap perekonomian domestik juga akan sulit dibendung.

Antisipasi 2008

Apa rencana pemerintah untuk mengantisipasi jika harga minyak terus bertahan di atas 80 dollar AS atau bahkan 90 dollar AS (banyak prediksi menduga kuat ini akan terjadi), sejauh ini juga belum terlihat.

Jurus sama, yaitu menombok defisit APBN akibat pembengkakan subsidi dengan menerbitkan surat utang atau menambah utang (karena pemerintah sudah berkomitmen tak akan menaikkan harga BBM bersubsidi hingga tahun 2009) seperti di masa lalu, tampaknya masih akan jadi andalan.

Respons yang signifikan sejauh ini baru mempercepat program konversi BBM ke elpiji dari tahun 2012 menjadi 2010. Itu pun sepertinya tidak akan berjalan mulus karena, menurut pengakuan Direktur Utama Pertamina Ari Soemarno, itu sulit dilakukan mengingat kendala infrastruktur.

Pemerintah tampaknya harus dipaksa oleh keadaan dulu baru bisa bereaksi cepat, sebab selama ini pemerintah sama sekali tidak menunjukkan keseriusan mewujudkan program diversifikasi dan konversi energi.

Sikap tenang pemerintah menghadapi kemungkinan harga minyak masih tinggi hingga 2008 sekarang ini tampaknya lebih banyak dilandasi keyakinan bahwa produksi minyak mentah tahun depan akan bisa digenjot, dengan mulai berproduksinya sejumlah lapangan minyak yang kontraknya ditandatangani dua tahun terakhir.

Tetapi, kalaupun ini terealisasi, kondisi pasokan ini hanya aman untuk sementara karena kenaikan produksi akan segera terkejar oleh pertumbuhan permintaan yang jauh lebih cepat. Apalagi, penambahan produksi dalam jumlah besar belum bisa diharapkan dalam waktu dekat, mengingat rendahnya investasi dan tak adanya temuan cadangan baru yang signifikan dalam beberapa tahun terakhir.

Dalam jangka panjang, kemelut ekonomi terkait krisis harga minyak mentah ini hanya bisa diselesaikan jika masalah fundamental dari sisi suplai maupun permintaan bisa diatasi. Dalam hal ini, diversifikasi dan konservasi energi tidak bisa ditawar-tawar lagi. Dari semua aspek ini, Indonesia tampak kedodoran.

Ketergantungan besar pada minyak sekarang ini cerminan dari kebijakan energi yang amburadul, di mana prioritas pengembangan energi terbarukan belum cukup mendapat tempat dan kebijakan energi selama berdekade-dekade justru mendorong penggunaan energi fosil yang kotor, mahal, dan tak terbarukan.

Industri dan masyarakat pun tak pernah dipersiapkan karena pemerintah sendiri tampaknya belum bisa sepenuhnya lepas dari paradigma berpikir dan romantisisme bonanza minyak di masa lalu ketika Indonesia masih berlimpah minyak mentah.

Mereka masih menganggap minyak sebagai sumber daya yang tak akan habis sehingga penggunaan cenderung tak efisien, padahal Indonesia sekarang sudah bukan lagi eksportir neto minyak.

Respons yang lambat dan ad hoc selama gonjang-ganjing harga minyak beberapa tahun terakhir membuktikan pemerintah belum sepenuhnya memiliki sense of crisis. Krisis harga minyak sekarang ini harus menjadi pelajaran berharga dan semacam lonceng peringatan untuk berbenah sebelum terlambat.

No comments: