Monday, October 22, 2007

Pengelolaan Energi


Pemerintah Terlambat Mengantisipasi Gejolak Minyak

Pengulangan sejarah ternyata juga berlaku di industri perminyakan. Dalam dua tahun terakhir harga minyak naik dua kali lipat seperti yang terjadi tahun 1980. Berikut petikan wawancara Kompas dengan Subroto, Menteri Pertambangan dan Energi pada era 1973-1988.

Seperti apa perbedaan mencolok lonjakan harga minyak pada tahun 1980 dengan sekarang?

Pada waktu itu pasaran minyak mengalami kekacauan karena persoalan Iran-Irak. Dunia khawatir akan kehilangan pasokan 2,6 juta barrel minyak dari Irak karena jalur pengiriman di Selat Hormuz dikuasai Iran. Harga pun naik dari 12 dollar AS ke 32 dollar AS per barrel. Kenaikan harga ini lalu mendorong oil boom karena harga yang tinggi memungkinkan dilakukannya eksplorasi di daerah-daerah sulit, seperti Alaska, Laut Utara, dan Meksiko Utara. Akibatnya, terjadi kelebihan suplai. Ketika krisis Irak selesai tahun 1986, permintaan kembali normal sehingga harga pun anjlok dari 38 dollar AS menjadi 10 dollar AS. Jadi kenaikan harga minyak tahun 1980 lebih disebabkan kekhawatiran anjloknya suplai. Begitu suplai dapat dipulihkan otomatis harga turun.

Adapun kondisi sekarang, kenaikan harga minyak dipicu oleh kenaikan permintaan dari negara-negara yang pertumbuhan ekonominya tinggi, terutama China dan India, selain Amerika Serikat. Sulit untuk menahan permintaan. Akibatnya, kalau dulu kenaikan hanya temporer, sekarang ini sudah struktural karena menyangkut keseimbangan permintaan dan pasokan. Kenaikan harga bakal berlangsung untuk jangka panjang.

Bagaimana pengaruh harga minyak terhadap Indonesia dulu dan sekarang?

Dengan produksi sekitar 1,7 juta barrel per hari, sementara permintaan dalam negeri kurang dari 1 juta barrel, kita betul-betul menikmati windfall profit dari kenaikan harga. Hasil itu yang kemudian dipakai untuk membangun infrastruktur dan membiayai program binmas pertanian yang kemudian membuat kita swasembada beras. Sekarang, ya sebaliknya, karena produksi turun terus, kurang dari 1 juta barrel per hari, sementara permintaan terus naik. Akhirnya kita menjadi importir bersih.

Pemerintah sudah cukup mengantisipasi ketergantungan kita terhadap minyak?

Saya kira pemerintah terlambat karena harusnya sudah dari dulu diterapkan empat hal, yaitu intensifikasi eksplorasi migas, diversifikasi, konservasi, dan indeksasi energi. Intensifikasi migas membutuhkan investasi. Pemerintah harus berani mengambil langkah terobosan untuk mendorong iklim investasi yang lebih kondusif di sektor migas, misalnya, dengan memberikan keringanan pajak. Memang ada kerugian jangka pendek yang harus ditanggung pemerintah dengan berkurangnya penerimaan pajak, tetapi hasil yang akan dinikmati dari peningkatan produksi jauh lebih besar.

Untuk diversifikasi energi, kuncinya jangan setengah-setengah. Contohnya, kalau kita mau memperbanyak pemakaian batu bara untuk pembangkit, otomatis infrastruktur pendukungnya harus siap.

Pemboroson energi bisa diatasi kalau ada konservasi dengan pembatasan pemakaian energi. Efisiensi juga bisa dilakukan dengan indeksasi energi, artinya mengkhususkan pemakaian jenis energi untuk aktivitas tertentu. Misalnya, semua kendaraan pemerintah dan angkutan umum menggunakan bahan bakar gas, pembangkit listrik memakai batu bara.

Dengan cara ini, lebih banyak minyak yang bisa diekspor untuk mendapatkan devisa. Saya yakin orang-orang di pemerintahan itu sudah mengerti semua tentang permasalahan ini, pemecahannya juga sudah tahu. Tinggal satu yang belum: dikerjakan dengan benar.

Ada pendapat yang mengatakan penurunan produksi migas juga disebabkan diberlakukannya UU Migas yang lebih liberal?

Saya kurang sependapat dengan itu. Kalau dilihat, dengan undang-undang lama, produksi dan distribusi dimonopoli oleh Pertamina. Keluar undang-undang baru, distribusi bahan bakar minyak bukan lagi monopoli Pertamina karena sudah terbuka untuk semua badan usaha. Justru dengan dibebaskan dari kewajiban distribusi, Pertamina bisa lebih berkonsentrasi di hulu migas. Namun, memang di sisi regulasi, kinerja Badan Pelaksana Kegiatan Hulu Migas, yang diharapkan bisa mempercepat kegiatan produksi migas, kurang memuaskan. BP Migas justru dinilai menjadi salah satu faktor yang menghambat eksplorasi.

Bentuk kontrak bagi hasil migas itu apakah masih ideal untuk kita pakai?

Untuk negara yang enggak punya duit kayak kita, ya lebih baik pakai bentuk bagi hasil, risiko kegagalan eksplorasi ditanggung kontraktor, tapi kalau bisa, pemerintah mendapat bagian lebih besar. (DOTY Damayanti)

No comments: