Menumpang Superjumbo Impian Da Vinci
Ninok Leksono
"Sang Burung Besar akan terbang... mengisi dunia dengan kekaguman" (Leonardo da Vinci, genius dan penemu dari Italia).
"Tuan dan Nyonya... tidak lama lagi kita akan mendarat ke Bandara Changi di Singapura dan kita akan mendarat secara otomatis. Artinya, komputerlah yang akan mengatur pendaratan. Namun, tidak usah cemas, kami juga akan mengawasi." Itulah suara Pilot in command pesawat Superjumbo Airbus A380 Robert Ting sekitar setengah jam sebelum pesawat mendarat pukul 23.50 waktu Singapura, Jumat 26 Oktober lalu.
Selama setengah jam terakhir dari total penerbangan 7,5 jam dari Sydney, kesan terhadap jet Superjumbo yang berkapasitas 471 penumpang ini tak habis-habisnya, seolah membenarkan ucapan Leonardo da Vinci di atas.
Ketika flap sudah mulai dikeluarkan—proses yang tampak dalam keremangan cahaya bulan tanggal 14—muncul perasaan berat karena penerbangan akan segera berakhir. Namun, hal itu tak terlalu menyusahkan karena penerbangan Sydney-Singapura ini bukan akhir, tetapi justru awal dari momen sejarah yang baru saja ditorehkan Singapore Airlines (SIA) dan Airbus. Justru pada hari itu, berlakulah apa yang disampaikan CEO SIA Chew Choon Seng ketika menerima penyerahan A380 pertama di pabrik Airbus di Toulouse, 15 Oktober silam, bahwa "Mulai hari ini, ada ratu udara baru dalam perjalanan udara. Dan, sebagai operator pertama A380, maskapai Singapura ini pantas berbangga karena ialah perusahaan penerbangan pertama di dunia yang menguasai operasi pesawat penumpang paling besar di dunia ini.
Selain itu, ia juga maskapai yang sempat ikut dag-dig-dug dengan berbagai keruwetan proses kompleks yang menyertai pembuatan A380. Jet mutakhir ini dibuat dengan rangkaian proses lintas batas negara—Perancis, Jerman, Spanyol, dan Inggris. Satu hal yang bahkan oleh Airbus yang sudah berpengalaman dalam membuat pesawat adalah urusan pemasangan dan penataan kabel, yang total untuk A380 mencapai sekitar 450 km.
Di luar itu, ide A380 memang dari awalnya kompleks sehingga membuat pelaksanaannya harus diwujudkan oleh 18.000 pemasok yang tersebar di 30 negara. Dalam kenyataannya, tutur SilverKris (Okt 2007), memang tidak ada fasilitas manufaktur yang cukup besar dan sanggup membangun keseluruhan pesawat di satu tempat.
Keruwetan itu membuat A380 muncul terlambat, membuat Airbus kena semprot dari berbagai penjuru, memunculkan ketegangan di antara manajemen puncak, yang memaksa terjadinya pergantian CEO. Hal ini mudah dimengerti karena, selain menampar citra, keterlambatan juga membuat biaya pengembangan pesawat membengkak 50 persen dari anggaran awal sebesar 12 miliar dollar AS dan rugi akibat kehilangan peluang keuntungan sebesar 7 miliar dollar AS antara tahun 2006-2010.
Memetik buah
Kini jet yang lebih menyerupai hotel mewah daripada pesawat penumpang itu sudah mulai diserahkan ke maskapai pemesan. Tahun 2008, Airbus bertekad akan bisa menyerahkan 13 A380, tahun depannya 25, dan akhir 2010 sebanyak 45 pesawat.
Dengan pesawat yang interiornya ditata dengan apik oleh SIA itu, harapan pun membubung, juga dari para penggunanya. Penumpang kaya mungkin akan mencoba "suite", sebutan SIA bagi kabin kelas 1 plus yang hanya dibuat 12 di dek utama ini. Seperti apa terbang di kabin yang dirancang oleh Jean-Jacques Coste, perancang perahu pesiar (yacht) Perancis, yang konon juga bisa untuk berbulan madu itu? Harga yang dipatok untuk kelas ini adalah 5.127 dollar AS atau sekitar Rp 50 juta untuk pergi-pulang Singapura-Sydney. Ruang privat dengan kursi-kursi kulit dan dipan terpisah dengan kasur ini dibungkus kain berwarna krem rancangan Givenchy.
Kalau ingin bekerja, ada colokan untuk laptop dan USB yang memungkinkan penumpang menyiapkan bahan presentasi dengan program Office yang tersedia. Kalau bekerja merupakan hal terlalu serius, kanal hiburan pun menyediakan 100 film yang bisa dipilih untuk ditonton dengan layar LCD berukuran 23 inci.
Selain 12 kelas suite, A380 punya 60 kursi kelas bisnis di dek atas dan 399 kursi kelas ekonomi yang dibagi di bagian belakang dek atas dan dek bawah. Meskipun toilet kelas satu dan kelas bisnis lega, SIA tidak memasang pancuran mandi, sementara maskapai lain berencana memasang fasilitas ini. Alasannya adalah hal itu akan membuat SIA harus menyediakan banyak air, membuat bobot jadi terlalu berat untuk jadi ekonomis, ujar Stephen Forshaw, Humas SIA, seperti dikutip New York Times.
Dengan anggur berbagai pilihan serta berbagai layanan lain, SIA berharap A380 bisa menjadi daya tarik untuk memikat penumpang yang bertambah banyak di musim perjalanan yang dimulai Oktober-November ini, khususnya untuk apa yang disebut sebagai Rute Kanguru, yang mencakup Sydney-Singapura-London. Jalur Singapura-London dengan A380 sendiri baru akan dibuka Maret mendatang setelah SIA menerima A380 kedua. Selanjutnya, A380 yang datang kemudian akan digunakan untuk melayani jalur ke Tokyo dan berikutnya lagi ke Hongkong dan San Francisco.
Dimulai dengan amal
Dengan layanan A380 yang setinggi gedung berlantai delapan ini, SIA menorehkan berbagai hal penting. Pesawatnya sendiri banyak mengandung teknologi canggih. Sebut saja mesinnya yang irit bahan bakar dan bersih lingkungan. Pembuatnya—Rolls Royce yang berpusat di Derby, Inggris—menggunakan teknologi canggih yang membuat mesin mengeluarkan kebisingan rendah, hanya setengah dari kebisingan 747. Melihatnya terbang di Pameran Kedirgantaraan Asia di Singapura, Februari 2006, dan juga merasakannya sendiri dari kabin, penulis yakin akan klaim Rolls Royce yang telah menyetel mesin dengan ilmu akustik maju. Karena karakteristiknya ini, A380 juga dijuluki "Whispering Giant" (Raksasa yang Berbisik).
Yang lebih menarik juga, mesin Trent 900 yang dipakai pada 10 A380 SIA pertama juga ramah lingkungan, dengan emisi karbon dioksida 2,5 kali lebih rendah per penumpang kilometer dibandingkan dengan mobil keluarga.
Dengan semua kelebihannya, A380 memang menerbitkan penasaran dan rasa ingin tahu besar, seperti halnya ketika jet supersonik Concorde muncul. A380 bahkan sudah mendapatkan lagu tema yang dibawakan oleh penyanyi Italia, Diva Agata, berjudul Near to the Sky.
A380 kini sudah hilir mudik Singapura-Sydney dan sebentar lagi ke daerah tujuan lainnya. Pesawat yang satunya disebut berharga 285 juta dollar AS atau sekitar Rp 2, 8 triliun ini akan menjadi saksi bagi pertumbuhan industri angkutan udara yang pesat, seiring dengan pertumbuhan ekonomi banyak negara.
Proyek Airbus A3XX 19 tahun silam kini telah mewujud dan operasi komersialnya ditandai dengan penjualan tiket secara lelang melalui situs eBay. Hasil lelang sebesar 1,9 juta dollar Singapura atau sekitar Rp 12 miliar telah disalurkan ke empat lembaga, satu di Singapura, dua di Sydney, dan satunya lagi adalah Dokter Tanpa Perbatasan (Medicins Sans Frontier) yang telah memenangi Hadiah Nobel Perdamaian.
Dapat mengikuti penerbangan komersial perdana A380 menimbulkan banyak kekaguman. Seperti halnya warga Sydney, khususnya para petugas Air Traffic Controller di Bandara Kingsford Smith, Sydney, datangnya A380 di petang hari Kamis 25 Oktober lalu menimbulkan rasa persahabatan. Tak heran kalau lalu mereka memanggilnya dengan sebutan akrab "Big Fella".
No comments:
Post a Comment