Saturday, October 27, 2007

Realistislah!


Memang agak sulit mengaitkan langsung dampak kenaikan harga minyak dunia dengan kondisi dalam negeri, apalagi setelah pemerintah berjanji tidak akan mengubah harga minyak. Namun, justru di situlah letak persoalannya.

Dikhawatirkan janji dan niat baik pemerintah untuk tetap mematok harga minyak pada 60 dollar AS justru membuat Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) menjadi tidak realistis. Dalam arti, kondisi seperti ini diperkirakan akan memicu tekanan cukup tinggi pada APBN. Karena itu, tidak ada harapan lain kecuali pemerintah bertindak realistis.

Pengamat masalah minyak Kurtubi mengakui, dampak kenaikan harga minyak global pada kondisi domestik akan sangat tergantung pada konsistensi pemerintah untuk tidak menaikkan harga BBM sampai tahun 2009.

"Sepanjang harga BBM tidak naik, tidak akan ada dampak ke masyarakat. Memang ada tekanan yang sangat berat terhadap APBN jika pemerintah tidak menaikkan harga BBM dalam negeri. Mungkin akan ada pos-pos APBN yang dikurangi untuk nomboki subsidi BBM," ujarnya.

Penjelasan itu sangat bisa dipahami. Dalam pengamatannya, tiap terjadi kenaikan harga minyak 1 dollar AS saja akan menyebabkan defisit APBN antara Rp 5 miliar hingga Rp 1 triliun.

Hal senada diungkapkan pengamat ekonomi Bustanul Arifin. Dampak domestik yang akan terjadi dari melonjaknya harga minyak dunia hanya bisa melalui penetapan APBN. Dengan kata lain, dampak kenaikan harga minyak dunia dengan kondisi dalam negeri, khususnya bagi masyarakat banyak, adalah melalui kebijakan fiskal. "Jadi, nyambungnya lewat kebijakan fiskal," ujarnya.

"Dengan keputusan harga minyak yang sudah dipatok untuk APBN 60 dollar AS (sementara harga minyak dunia mencapai 80 dollar AS), pemerintah harus kuat menanggung biaya pembengkakan yang akan terjadi," ujarnya. "Apa pemerintah masih sanggup menanggungnya?" lanjut Bustanul. Walau begitu, ia menganggap tidak terlalu fair jika mengaitkan secara langsung masalah melonjaknya harga minyak dunia dengan kondisi sosial di Indonesia.

"Tetapi kalau memang terjadi defisit dan komposisi APBN berubah, kondisi sosial sangat mungkin terpengaruh karena adanya perbedaan sedemikian besar antara APBN dan harga minyak dunia," ujarnya. Ia menengarai, kondisi itu membuka peluang pada masalah penyelundupan serta meningkatnya ongkos angkut dan aktivitas produksi.

Dampak berantai

Tak bisa dihindari, hal itu akan memicu terjadinya dampak berantai. Meningkatnya ongkos dan aktivitas produksi dikhawatirkan menurunkan daya beli masyarakat. Yang lebih mengkhawatirkan adalah jika pemerintah terpaksa mengambil tindakan memutuskan subsidi solar untuk industri.

"Nah, ini akan membuat kalangan industri terpaksa melakukan PHK (pemutusan hubungan kerja) saja," katanya. "Ini yang harus dibaca baik-baik oleh pemerintah," kata Bustanul.

Baik Bustanul maupun Kurtubi menegaskan, untuk menghindari hal itu, pemerintah sedapat mungkin harus menaikkan produksi minyak dalam negeri sekarang juga. Langkah ini penting untuk menghindari dampak negatif kenaikan harga minyak dunia terhadap ekonomi dalam negeri.

Bustanul mengatakan, selama ini pemerintah tidak pernah mencoba menyadari bahwa produksi minyak dalam negeri tidak pernah mencapai target, yaitu 1,035 juta barrel per hari. Untuk ke depan, arah ke upaya itu sudah harus terlihat.

Kurtubi menegaskan pentingnya pemerintah segera menarik atau mengembalikan uang yang menurut Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) berpotensi merugikan negara di BP Migas sebesar 2,5 miliar dollar AS.

"Uang ini bisa untuk nombokin defisit APBN. Dikembalikan dulu. Soal kuitansi tidak lengkap, harus konsultasi dulu kantor pusat, itu nanti karena berbelit-belit. Padahal temuan BPK ini temuan awal dan ada kemungkinan asas kriminal, kalau menunggu setelah ditindaklanjuti sehingga masih lama," katanya.

Hal lain adalah pemerintah harus mempercepat konversi minyak tanah ke gas karena subsidi minyak tanah per liter sangatlah besar. "Ya, pemerintah seharusnya lebih realistislah," tegas Bustanul Arifin. (CM Rien Kuntari)

No comments: