FRANCISCUS WELIRANG
Siapa pun yang mengamati gerakan produk serealia dunia saat ini tentu akan miris. Harga beras, gandum, jagung, kacang, kedelai, dan lain-lain naik tak tertahankan.
Harga gandum, misalnya, melonjak dari 180 dollar AS per metrik ton pada awal 2007 menjadi sekitar 350 dollar AS saat ini. Fenomena itu harus dicermati jika Indonesia ingin terhindar dari ancaman kekurangan pangan.
Sedangkan stok pangan dunia diperkirakan juga merosot. Tahun 1999 persediaan pangan mampu mencukupi 116 hari kebutuhan dunia. Tahun 2006 hanya mampu mencukupi kebutuhan 57 hari. Kini, persediaan itu dimungkinkan kian kecil.
Sayang, hingga kini, elite politik umumnya belum menyadari ancaman pangan ini. Mereka lebih tertarik untuk mengelus-elus calon presiden dan melakukan manuver politik daripada mengamati pergerakan komoditas pangan dunia, khususnya serealia.
Dampak politik
Setidaknya ada tiga faktor yang menyebabkan terjadinya kelangkaan produk serealia dunia.
Pertama, perubahan iklim dunia. Pemanasan global membuat perubahan musim sulit diprediksi. Akibatnya, musim tanam menjadi tidak menentu dan gagal panen menghantui.
Kedua, kebijakan konversi energi dari konvensional menjadi bioetanol. Kebijakan ini membuat stok serealia merosot tajam. AS, misalnya, tahun 2000 memproduksi 1,6 miliar galon per tahun, tahun 2005 memproduksi 5,0 miliar galon per tahun, tahun 2008/2009 menargetkan 9,0 miliar galon per tahun. Langkah serupa dilakukan China, Jepang, Eropa, dan Australia. Negara-negara itu menggunakan jagung, starch-pati sorgum, beras dan gandum sebagai bahan dasar.
Ketiga, kepanikan negara-negara berpenduduk besar. Kekhawatiran stok pangan dalam negeri tidak mencukupi, membuat mereka besar-besaran membeli serealia untuk pengamanan stok nasional. Langkah ini memicu kepanikan pasar sehingga harga komoditas itu melonjak tak terkendali akibat persaingan antara pangan dan energi.
Fenomena itu tentu akan berdampak langsung pada Indonesia. Sebagai negara berpenduduk 220 juta jiwa, republik ini amat rentan terhadap gejolak harga serealia dunia. Ancaman persaingan antara pangan dan energi itu bisa dipastikan akan mendongkrak harga beras, jagung, terigu, dan kedelai, pendeknya harga sembako. Akibatnya, selain daya beli rakyat akan merosot, usaha makanan terutama yang berskala kecil dan menengah juga akan menghadapi kesulitan.
Jika kecenderungan itu tidak segera diatasi, siapa pun presiden yang terpilih nanti, kewibawaan pemerintahannya akan terancam. Asumsi ini tampaknya masih berlaku. Sulit bagi sebuah pemerintahan menjaga stabilitas politiknya jika soal pangan, khususnya beras dan sembako, tidak cukup tersedia atau melonjak harganya seperti minyak goreng. Bahkan sebuah peradaban bisa hancur jika tidak ada pangan.
Kesadaran bersama
Karena itu, kini saatnya bagi semua komponen bangsa untuk duduk bersama membicarakan kemungkinan terjadinya ancaman ketersediaan pangan nasional. Untuk sementara ini, stok pangan masih mencukupi. Namun, jika perburuan komoditas serealia dunia yang dilakukan negara-negara besar meningkat tak terbendung, maka dalam waktu dekat kita akan mengalami kesulitan.
Hal itu disebabkan produksi padi kita masih labil untuk mencukupi kebutuhan. Sementara itu, kemandirian produksi semua sumber pangan juga belum digalakkan. Kondisi ini diperburuk oleh keterbatasan dana yang ada. Tanpa dana cukup, kita tidak akan mampu melakukan pembelian serealia karena kalah bersaing dengan negara-negara besar pemburu komoditas itu.
Karena itu, pemerintah harus segera mengambil inisiatif untuk memimpin gerakan nasional kemandirian pangan dengan segala upaya dan sesegera mungkin. Agar efektif, gerakan ini harus mendapatkan dukungan penuh dari politisi, perguruan tinggi, pengusaha, pers, dan kelompok-kelompok strategis lain. Gerakan kesadaran bersama ini juga akan mengurangi tensi politik yang cenderung meningkat lebih cepat dari perkiraan semula.
Selain itu, pemerintah perlu menempuh kebijakan darurat untuk meningkatkan daya beli rakyat. Menggalakkan program padat karya, misalnya, merupakan alternatif yang wajib ditempuh segera. Tanpa langkah itu, bukan saja industri kecil dan menengah akan sulit bertahan, tetapi stabilitas politik pun berpotensi porak-poranda.
Pendeknya, berapa pun mahalnya harga bahan pangan, persediaan harus ada. Tanpa langkah berani demikian, sulit dibayangkan apa yang akan terjadi di republik. Karena itu, mari duduk bersama membahas realitas ancaman pangan itu. Selanjutnya, segera memulai gerakan nasional kemandirian pangan. Jangan sampai saat sadar, semua sudah terlambat.
No comments:
Post a Comment