POLITIK tidak saja sebuah pertarungan untuk meraih kekuasaan, melainkan juga penantian yang menuntut kesabaran. Pemerintahan demi pemerintahan silih berganti, dan rakyat yang menjadi penyangga kekuasaan tak pernah berhenti berharap agar kehidupan akan berubah dan membaik.
Kalaupun perubahan itu tidak bisa disulap atau terjadi dalam waktu singkat, rakyat masih bisa bersabar, asalkan diberi harapan yang cukup rasional. Politik penuh dengan janji, meski janji politik tidak pernah memberi kepastian. Bahkan para pemimpin yang begitu pandai dan bersemangat meyakinkan massa diajang kampanye bahwa mereka bisa mengubah dunia, ketika telah menduduki kursi kekuasaan baru menyadari bahwa peta politik sangat berbeda dengan medan dan teritorial politik. Sebagian masyarakat bisa dirayu dengan peta yang indah, namun ketika kenyataan lapangan menyajikan fakta yang berbeda, rakyat harus kecewa dan bersabar.
Para pemimpin baru menyadari bahwa masalah riil yang dihadapi ternyata lebih berat daripada yang bisa diucapkan di mimbar ketika menggalang dukungan. Ujung-ujungnya, semua pemimpin menyeru rakyatnya bersabar, menunggu keadaan menjadi lebih baik. Tetapi kita juga tidak tahu-termasuk para pemimpin sendiri-kapan keadaan yang lebih baik itu akan tiba?
Meski perbuatan menunggu itu sangat membosankan dan melelahkan, namun masyarakat kita sejak dulu sudah terbiasa menunggu. Mereka menunggu datangnya masa di mana sandang, pangan, dan papan mudah didapat; mereka menunggu hidup yang lebih bermakna daripada sekadar menanggung beban dan kesulitan; mereka juga menunggu lahirnya para pemimpin yang tahu isi hati mereka. Tapi, kapan pemimpin seperti itu akan datang? Pendeknya, dari dulu kita sudah dikondisikan untuk menunggu datangnya ratu adil guna meringankan beban derita yang ada.
Lagi-lagi, ketika bayang-bayang surgawi belum juga muncul, kita diseru untuk bersabar. Orang sabar itu dicintai Tuhan, katanya. Bayangkan, kita pernah bersabar dijajah bangsa lain selama tiga setengah abad. Pernah bersabar dikekang penguasa bangsa sendiri selama lebih setengah abad. Kesabaran masyarakat kita tampaknya memang sudah teruji.
Sekian banyak terjadi kecelakaan laut, darat, udara, sampai semburan lumpur Sidoarjo dan megakorupsi, rakyat kita masih tetap bisa berkompromi dengan penderitaan. Memang ada yang mulai gampang naik pitam dengan membakar kantor bupati atau merusak kantor Komisi Pemilihan Umum (KPU) karena kecewa atau tidak puas dengan hasil pemilu.
Namun secara umum masyarakat kita tetaplah golongan orang-orang yang sabar dan hidup dengan harapan serta doa, meski sering dibohongi para politikus. Sejauh ini, politik tampaknya masih menjadi komoditas dan sumber pencaharian bagi kalangan elite, dan mereka juga enggan berbagi dengan masyarakat. Masyarakat hanya menjadi pemberi stempel. Rumusan klasik bahwa politik adalah soal "siapa mendapatkan apa, kapan, dan bagaimana" tampaknya sedang dipraktikkan di negeri ini.
Rumusan itu lebih banyak berbicara tentang aktor politik, sementara konstituen politiknya sendiri diabaikan. Tidak mengherankan kalau dunia politik dipenuhi transaksi jual beli suara, dukungan, atau kandidat, layaknya pasar lelang. Mestinya politik itu untuk menyejahterakan rakyat, bukannya rakyat dieksploitasi untuk menyejahterakan politisi. Jangan-jangan agenda pemekaran wilayah besar-besaran hanya untuk melayani pejabatnya akibat kalah bersaing, bukannya untuk memakmurkan rakyat.
Jadi, seharusnya rumusan itu ditambah: Siapa mendapatkan apa, kapan, bagaimana, untuk apa dan siapa? Yang terakhir ini penting sebagai alat kontrol. Sebab, tanpa mengetahui akan diapakan sebuah mandat kekuasaan oleh penguasa, kita seperti orang yang berjalan tanpa arah yang jelas. Masyarakat tak ubahnya gerombolan domba yang dungu. Sungguh sangat berbahaya bagi masa depan bangsa jika kepentingan banyak orang hanya dipegang dan dipercayakan kepada segelintir elite penguasa yang hanya berpikir untuk dirinya, keluarganya, dan partainya.
Dari rumusan "siapa mendapatkan apa, kapan, bagaimana, untuk apa dan siapa" diharapkan tumbuh kesadaran tentang nilai, tentang mimpi sebuah bangsa, tidak semata berebut kekuasaan secara telanjang tanpa etika dan tanpa harga diri. Setelah lama kekuasaan berjalan tanpa panduan nilai luhur dan berakhir dengan tragedi, inilah saatnya untuk mengusung kembali nilai-nilai luhur dan mulia dalam perpolitikan kita. Bukankah kekuasaan itu pada awalnya mulia, dan harus terus dimuliakan jika kita tidak ingin dihinakan dan menjadi budak kekuasaan?
Tuhan sendiri menyifati dirinya sebagai penguasa (al-malik). Namun, kekuasaan Tuhan selalu dikaitkan dengan sifat rahimnya sehingga selalu memberi rahmat dan perlindungan kepada makhluknya. Dan manusia diberi kekuasaan oleh Tuhan sebagai khalifah di muka bumi, menunjukkan bahwa kekuasaan itu mulia adanya.
Karena itu, pertanyaan "untuk apa dan siapa" kekuasaan digunakan, menjadi penting karena para pemilik kuasa (penguasa) cenderung sewenang-wenang dengan kekuasaan di tangannya, sebagaimana pernah diingatkan oleh Lord Acton," power tends to corrupt...." Mempertanyakan arah kekuasaan bukanlah monopoli kaum moralis. Demokrasi dalam dirinya mengandung keniscayaan untuk saling mengontrol atau mengawasi. Ini pun tugas politik, bukan semata-mata tugas para pengkhotbah agama.
Politik tanpa kontrol dan etika akan menyebabkan terjerembap pada akumulasi kekuasaan yang berbahaya yang-dalam pengalaman bangsa kita- berujung pada malapetaka dan merugikan semua orang. Kontrol atau pengawasan diperlukan agar kekuasaan berjalan pada rel yang benar. Menurut agama,pengawasan tidak hanya dikaitkan dengan kebenaran (tawashaw bil haq), tapi juga dengan kesabaran (tawashau bi shabr).
Artinya, kontrol atau pengawasan terhadap kekuasaan bukan saja harus dilakukan untuk tegaknya kebenaran dan dengan cara yang benar (yaitu sesuai mekanisme demokrasi yang berlaku), namun juga tidak boleh dipaksakan karena ada proses yang membutuhkan waktu. Prinsip demokrasi mengajarkan kesabaran menunggu waktu lima tahunan untuk mengganti para pemimpin dan wakil rakyat yang tidak kredibel.
Penantian lima tahun memang bukan waktu yang sebentar. Namun, itulah dalil yang harus dijaga agar tidak mencederai dan menghancurkan demokrasi yang akhirnya menimbulkan preseden buruk bagi demokrasi di masa depan. Pemilu merupakan buah kesabaran karena semua orang dituntut menunggu dengan tertib, tidak boleh menyalip dan menelikung di tikungan. Kesabaran berarti orang harus siap kalah dalam kompetisi.
Kesabaran juga berarti kebesaran hati untuk memberi kesempatan kepada yang lain. Ibarat pepohonan, daun-daun tua meranggas, daun-daun muda tumbuh bersemi. Begitulah dunia politik. Ada masanya orang berjaya, ada masanya harus surut. Hanya orang-orang yang sabar yang bisa menerima semua kenyataan itu dengan lapang dada. Namun perlu dicatat, kita mesti membedakan antara sikap sabar dan jiwa yang lembek.
Kesabaran akan tumbuh jika seseorang memiliki visi dan cita-cita yang jelas, keyakinan yang teguh, dan tahu bagaimana mencapainya. Kalau itu semua tidak ada, maka seseorang atau bangsa bukannya sabar, melainkan lembek, tidak punya harga diri dan cita-cita besar. (*)
Komaruddin Hidayat
Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (//mbs)
Monday, April 14, 2008
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment