Wednesday, April 2, 2008

Krisis Ekonomi

Kenaikan Harga Pangan dan Minyak Ancam Asia Kehilangan Pendapatan
Rabu, 2 April 2008 | 00:43 WIB

Singapura, Selasa - Melonjaknya harga makanan dan minyak merupakan tantangan terbesar negara-negara di Asia Timur. Tantangan ini lebih besar daripada krisis keuangan Amerika Serikat yang menggoyang pasar global. Demikian laporan Bank Dunia yang diumumkan di Singapura, Selasa (1/4).

Bank Dunia menilai Asia dapat menghadapi kehilangan pendapatan sebesar satu persen. Karena itu, Bank Dunia merevisi ramalan pertumbuhan ekonomi Asia, tidak termasuk Jepang.

Ekonom Bank Dunia, Vikram Nehru, memperingatkan, tingginya harga komoditas tidak mudah dikendalikan. Para pengambil keputusan harus dapat mengambil langkah yang tepat untuk meringankan beban kaum papa.

”Saya rasa harga komoditas ini bukan masalah jangka pendek. Saya rasa kita akan menghadapi juga kenaikan harga logam, selain pangan dan minyak,” katanya.

Beras merupakan makanan pokok di wilayah ini. ”Kenaikan harga pangan menyebabkan naiknya inflasi, yang akan mengurangi pendapatan kaum miskin,” kata Nehru.

Belanja pangan menempati porsi 31-50 persen dari konsumsi di Asia dibandingkan dengan 15 persen di AS. ”Lonjakan harga pangan di pasar internasional akan berdampak signifikan pada standar kehidupan kaum miskin di negara berkembang,” demikian laporan itu.

Tindakan pemerintah, seperti kontrol harga, dapat menstabilkan situasi, tetapi sifatnya hanya sementara dan dapat menjadi bumerang dalam jangka panjang.

Harus jeli

Bank Dunia mengatakan, otoritas moneter harus jeli dan yakin bahwa kenaikan harga minyak, makanan, dan komoditas lainnya tidak berakibat buruk yang merembet ke masalah lain.

Bank Dunia juga mengatakan, perekonomian di Asia Timur akan melambat dari perkiraan sebelumnya karena terkena dampak guncangan finansial di AS dan melonjaknya harga minyak tersebut.

Bank Dunia memperkirakan pertumbuhan produksi domestik bruto di kawasan itu, tidak termasuk Jepang, Australia, dan Selandia Baru, akan mencapai 7,3 persen tahun ini dan 7,4 persen pada tahun 2009.

Perkiraan ini lebih rendah dibandingkan proyeksi pertumbuhan yang dibuat Bank Dunia November lalu, sebesar 8,7 persen tahun 2008 dan 8,2 persen tahun 2009.

Bank Dunia memperingatkan bahwa tantangan ke depan tidak boleh dipandang ringan. Ditambahkan, kejutan-kejutan selanjutnya tidak dapat diabaikan.

Lembaga itu juga menekankan bahwa krisis di sektor perumahan AS adalah masalah kini dan baru dapat diselesaikan pada waktu yang lama. Krisis sektor perumahan di AS juga telah membuat risiko yang dihadapi dunia harus dikaji ulang. Penjualan investasi portofolio menyebabkan penurunan aktivitas di pasar saham dan obligasi di kawasan Asia.

Bank Dunia juga mengatakan, otoritas di masing-masing negara harus melihat dengan kacamata yang tajam tentang neraca keuangan korporasi dan perbankan. Hal ini perlu untuk melihat apakah laporan keuangan itu sudah mencerminkan keadaan yang sebenarnya.

Jika gonjang-ganjing di pasar finansial AS memberikan hasil tidak seperti yang diharapkan, Bank Dunia mengatakan, mereka dapat saja menurunkan kembali perkiraan pertumbuhannya.

Walaupun demikian, Bank Dunia mengatakan, proyeksinya untuk negara berkembang di Asia Timur masih lebih tinggi dibandingkan dengan negara berkembang di belahan dunia lain.

Ada faktor positif

Hal ini disebabkan ada beberapa indikator ekonomi makro yang masih positif di kawasan Asia Timur, seperti cadangan devisa yang mencapai rekor, penurunan kredit bermasalah, tingkat utang luar negeri yang dapat dikendalikan, serta reformasi ekonomi yang diimplementasikan dalam beberapa tahun belakangan. Semua ini merupakan tameng untuk menghadapi gejolak.

Asia Timur dan China dapat terus tumbuh serta berkembang menjadi poros pertumbuhan bagi perekonomian dunia. Ini berguna untuk meredam melambatnya pertumbuhan ekonomi di negara-negara industri maju.

Negara-negara industri dan negara berkembang di belahan dunia lain tampaknya akan mengalami kemerosotan ekonomi dalam skala yang berbeda.

”Konteks kebijakan ekonomi makro serta reformasi struktural yang dilakukan dalam dekade terakhir secara umum telah membantu perekonomian Asia bisa bertahan dan lebih fleksibel dalam menghadapi tantangan global dalam satu dua tahun terakhir ini,” demikian laporan itu.

Uni Eropa termasuk yang menghadapi beban karena selama ini enggan melakukan restrukturisasi ekonomi.(AP/AFP/joe)

No comments: