Friday, April 4, 2008

Independensi dan Arogansi Pimpinan BI


Jumat, 4 April 2008 | 00:20 WIB

Oleh John Pieris

Kasus penggunaan dana Rp 100 miliar milik Yayasan Pengembangan Perbankan Indonesia untuk pemberian bantuan hukum sebesar Rp 68,5 miliar dan ”menyuap” DPR bagi amandemen UU BI Rp 31,5 miliar sungguh sangat mengagetkan banyak pihak. Betapa tidak, jumlah dana itu sangatlah besar kalau hanya digunakan untuk dua kegiatan seperti itu.

Apalagi, dana tersebut hanya dinikmati oleh oknum-oknum pejabat publik dan struktural yang ada di DPR dan BI, juga digunakan oleh beberapa advokat (pengacara) untuk bantuan hukum para pejabat BI. Jika demikian, dapat dimunculkan dua pertanyaan kritis.

Pertama, apakah dapat dibenarkan kalau pejabat BI yang tersangkut kasus hukum bisa menggunakan dana Yayasan Pengembangan Perbankan Indonesia (YPPI)? Bukankah, jika pejabat BI tersangkut masalah hukum, yang bersangkutan harus menanggung sendiri biayanya untuk membayar jasa advokat (pengacara) sebagai penasihat hukumnya? Kedua, apakah cukup rasional jika biaya amandemen UU BI yang diambil dari YPPI harus sebesar itu jumlahnya?

Jika benar, semua anggota Dewan Gubernur BI harus bertanggung jawab atas kasus tersebut. Tanggung jawab tersebut merupakan tanggung jawab kolektif.

Terungkap tuntas

Apa yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk mengusut tuntas kasus aliran dana BI dengan memeriksa beberapa pejabat dan mantan pejabat BI, baik sebagai tersangka maupun sebagai saksi, patut didukung sepenuhnya. Advokat beberapa mantan pejabat BI juga harus dimintai keterangan. Juga terhadap beberapa anggota dan mantan anggota DPR yang diduga menerima dana tersebut.

Kita mengharapkan, dari keterangan dan kesaksian yang diberikan, baik dari kalangan BI maupun dari advokat serta mantan anggota dan anggota DPR, akan dapat diketahui bagaimana dana tersebut dialirkan, berapa jumlahnya, dan kepada siapa saja, termasuk aparat hukum. Dengan begitu, pengusutan terhadap aliran dana YPPI itu dapat terungkap secara terang dan tuntas.

Dalam mengusut kasus tersebut, KPK mempunyai kewenangan penuh untuk menentukan status tersangka siapa pun yang menerima dana. Badan Kehormatan (BK) DPR dapat menggunakan hasil penyidikan KPK atas para anggotanya yang menjadi tersangka dan dapat dijadikan acuan BK dalam mengusut pelanggaran kode etik anggota DPR.

Kredibilitas BI

Terkait dengan pendapat bahwa penetapan beberapa pejabat BI sebagai tersangka dapat merugikan BI dan negara karena citra BI sebagai bank sentral negara menjadi tercoreng di dunia internasional dalam bidang moneter, tidaklah benar. Pendapat seperti itu tidak pada tempatnya dijadikan opini publik. KPK harus tetap konsisten dengan keputusannya untuk menetapkan tersangka dan diharapkan akan menetapkan tersangka-tersangka baru. Dengan demikian, kredibilitas Indonesia di dunia internasional semakin dapat dipercaya serta citra BI dan dunia perbankan pada umumnya akan menjadi lebih baik.

Untuk mengusut tuntas kasus-kasus tersebut, KPK dan BK DPR harus bekerja sama secara kritis dan juga harus transparan dalam mengungkapkan kasus tersebut kepada publik. Kerja sama seperti itu penting dan merupakan wujud tanggung jawab moral kepada rakyat. Publik menunggu keberanian dan konsistensi KPK sebagai penyidik (lembaga hukum) dan BK sebagai lembaga normatif untuk menegakkan wibawa lembaga DPR.

Kita tidak saja mengharapkan good and clean government, tetapi juga good and clean parliament. Untuk mengusut tuntas kasus itu, KPK tidak boleh bersikap diskriminatif. ”Asas Isonomia” atau equality before the law harus ditegakkan dalam kerangka negara hukum yang demokratis berdasarkan Pasal 1 Ayat 3, Pasal 27 Ayat 1, dan Pasal 28I Ayat 5 UUD 1945.

Ke depan, perlu dipikirkan untuk membentuk sebuah Dewan Pengawasan Perbankan Indonesia untuk mengawasi kinerja dan kewenangan Dewan Gubernur BI maupun bank-bank pemerintah. Tentunya beberapa Pasal UU No 3 Tahun 2004 tentang BI harus direvisi, khususnya yang mengatur kewenangan Dewan Gubernur dan Tim Supervisi yang bertugas mengawasi kewenangan dan kebijakan Dewan Gubernur BI.

Dunia perbankan nasional yang berada di bawah kendali BI harus menegakkan Algemene Beginselen Van Behoorlijk Bestuur (Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik), terutama asas bertindak cermat agar aparatur pemerintah senantiasa bertindak secara hati-hati dalam mengambil kebijakan-kebijakannya.

Ke depan, diharapkan independensi BI tak lagi menimbulkan arogansi Dewan Gubernur BI yang berpotensi menguntungkan pihak-pihak tertentu. Dengan demikian, dunia perbankan pada umumnya akan lebih sehat.

John Pieris Ketua Program dan Dosen Pascasarjana FH-UKI

No comments: