Thursday, April 17, 2008

Inflasi Pangan Sudah Menggerus Ekonomi

Langkah-langkah Mendorong Pertanian Digencarkan

KOMPAS/HELENA F NABABAN / Kompas Images
Petani penggarap di Desa Karang Anom, Kecamatan Tanjung Bintang, Lampung Selatan, Rabu (16/4), memanen padi. Dalam sepekan terakhir, harga gabah kering panen di Lampung terpantau tinggi, sekitar Rp 2.200 per kilogram. Tingginya harga gabah membuat petani tidak langsung menjual gabah, melainkan menyimpannya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Kamis, 17 April 2008 | 01:04 WIB

London, Rabu - Pangan langka dan mahal tidak saja menerpa secara langsung warga termiskin di dunia. Inflasi, yang didongkrak harga pangan dan minyak, juga mulai menggerus ekonomi dan dikeluhkan di banyak negara. Topik pembicaraan terus berkembang dan makin mengarah pada probabilitas terjadinya stagflasi global.

Demikian gambaran umum yang menjadi topik pemberitaan tentang ekonomi dunia, hingga Rabu (16/4).

Direktur Pelaksana IMF Domonique Stauss-Kahn mengatakan, inflasi menjadi ancaman tambahan bagi dunia, di samping resesi ekonomi. Inflasi menggerogoti daya beli warga, resesi menurunkan order barang, yang selanjutnya berpotensi menurunkan bonus, bahkan gaji. Keduanya melemahkan daya beli.

Pangan, lewat Inflasi, tak hanya mengacaukan kehidupan di negara miskin tetapi juga negara kaya. ”Kenaikan harga pangan dan bahan bakar minyak (BBM) menjadi faktor utama di balik melejitnya inflasi tahunan,” kata Sunil Kapadia, ekonomi UBS (Swiss), Rabu.

Ekonom AS Paul Krugman sudah menyinggung probabilitas terjadinya stagflasi, kombinasi antara resesi dengan inflasi.

Dengan keadaan seperti itu, Bank Sentral memiliki pilihan lebih sulit. Penurunan suku bunga untuk merangsang ekonomi, adalah satu pilihan untuk pemulihan ekonomi yang resesi. Namun, pilihan ini relatif sulit karena inflasi harus dijaga. Sementara inflasi justru bisa makin terangsang dengan penurunan suku bunga.

Inflasi dan stagflasi tak saja menurunkan daya beli. Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional (IMF) memperingatkan kenaikan harga pangan di seantero dunia dapat mengganggu stabilitas politik dan pembangunan, termasuk mengancam kelanggengan rezim di negara-negara demokratis.

Banyak negara terkejut

Dalam perkembangan hingga kemarin, laju inflasi di Eropa, India dan China melebihi angka yang diperkirakan sebelumnya. Di wilayah Zona Euro, yang menggunakan euro, inflasi mencapai rekor baru, yakni 3,6 persen pada Maret 2008.

Badan statistik Uni Eropa mengatakan tingginya harga transportasi, minyak pemanas, makanan sehari-hari dan roti menjadi penyebab utama inflasi tinggi. Inflasi di atas 3 persen di negara maju, termasuk Uni Eropa, merupakan hal yang langka dan sudah dianggap sebagai peringatan besar.

Bank Sentral Eropa dan menteri-menteri keuangan di Eona Eero menyerukan para pemberi kerja agar mengendalikan kenaikan gaji karena dapat menyebabkan kenaikan harga lagi.

Dari China dilaporkan, telah terjadi kenaikan harga pangan 21 persen pada kuartal pertama 2008 ini, dibandingkan dengan kuartal pertama 2007.

Gubernur Bank Sentral India YV Reddy juga mengatakan, tingkat inflasi di India saat ini sudah tidak dapat diterima lagi. Langkah nyata harus diambil sesegera mungkin. ”Ini adalah situasi yang memerlukan pengawasan ketat dan tindakan penyelamatan harus diambil segera,” ujarnya.

Tingkat inflasi di India mencapai 7,41 persen pada Maret lalu. Sementara itu tingkat inflasi yang dianggap aman oleh China sekitar 5 persen untuk tahun fiskal yang berakhir 31 Maret.

Inflasi, juga mengancam pencapaian target-target pembangunan sosial dan ekonomi.

Mengacaukan pembangunan

Pejabat Bank Dunia untuk urusan Afrika Obiageli Ezekwesili mengatakan, inflasi akan memukul keras Benua Afrika, kawasan di mana warga miskin akan terbantu lewat pertumbuhan ekonomi dan pasokan pangan dengan harga terjangkau.

”Kejutan eksternal apa pun, termasuk inflasi akibat kenaikan harga pangan dan energi berpotensi membuat ekonomi anjlok,” kata Ezekwesili di Washington, Selasa. ”Padahal pertumbuhan merupakan jalan untuk mengurangi kemiskinan,” kata mantan Menteri Pendidikan Nigeria ini.

Salah satu tugas utama banyak negara saat ini adalah mencengah inflasi spiral, yakni inflasi yang terus menggelinding dan berpotensi merembet ke mana-mana. ”Sangat penting untuk menjaga agar kenaikan harga tak merembet ke sektor lain sehingga tidak menciptakan inflasi spiral,” kata jubir Komisi Uni Eropa, Amelia Torres di Brussels.

Berbagai negara kini bergegas untuk melakukan langkah antisipasi, setidaknya menjamin pengadaan pangan. China telah memperbaharui program insentif di sektor pertanian dengan dukungan Rp 80 triliun dana.

India dan Filipina memilih pembangunan prasarana pedesaan, pengadaan bibit unggul dan sarana pendukung pertanian.

Di tingkat global, Presiden Bank Dunia Robert Zoellick meminta, negara maju memberi dana 500 juta dollar AS, untuk bantuan pangan darurat bagi 120 juta warga dunia yang rentan kelaparan.

Sejak Januari 2008, George Soros sudah berkali-kali menekankan agar pasar uang dan bursa komoditi diatur secepat mungkin. Masalahnya, spekulan masih terus ”menggoyang” komoditi untuk terkerek naik agar bisa meraih untung.

Persoalannya, dana yang dimainkan termasuk pinjaman bank. Hal ini dimungkinkan karena regulasi kredit tak diatur secara ketat.

Akar dari krisis sekarang ini dimulai dari kehancuran pasar uang AS, kerugian spekulan sedunia yang memuncak pada Juli 2007, ketika bursa dunia anjlok. Setelah itu, spekulan mencari celah lain untuk meraih untung.(REUTERS/AP/AFP/MON/JOE)

No comments: