Oleh Sri Adiningsih
Profesor Steve Hanke, guru besar ekonomi Universitas Johns Hopkins, AS, menyatakan, Indonesia belum siap menghadapi krisis ekonomi. Pernyataan itu tentu membuat otoritas ekonomi Indonesia tidak senang.
Apalagi dikatakan, ekspektasi inflasi dalam APBN tidak realistis mengingat berbagai kenaikan harga komoditas masih terus berlangsung sehingga BI disarankan agar tidak hanya mengikuti the Fed dengan menurunkan suku bunga. Juga dikatakan, rendahnya anggaran untuk infrastruktur yang hanya 3 persen dari PDB (di bawah Indonesia zaman Orba atau negara Asia Tenggara lainnya) dan rendahnya anggaran untuk SDM membuat Indonesia tidak siap menghadapi krisis global.
Permasalahan ekonomi global kini, selain disebabkan krisis subprime market di AS, juga dipicu meningkatnya harga komoditas primer. Indonesia, sebagai negara yang kaya akan sumber daya alam (SDA) seharusnya mendapat rezeki nomplok, justru ”tombok” karena salah kelola SDA selama ini. Kini kita ibarat tikus yang kelaparan di lumbung padi. Tragis!
Sebagai bangsa yang kaya SDA, yang terletak di khatulistiwa, rasanya sedih dan prihatin melihat perkembangan negeri ini. Kenaikan harga komoditas primer yang seharusnya membuat bangsa ini mendapat rezeki nomplok malahan menyengsarakan. Padahal, negara pengimpor produk-produk primer ada yang tambah makmur. Jelas ada masalah dalam pengelolaan ekonomi di negeri ini.
Apalagi mengingat, Indonesia sudah melewati satu dekade krisis ekonomi, hingga kini jangankan kebangkitan ekonomi, menghadapi ancaman krisis ekonomi global saja tampaknya tidak siap.
Meski data-data makro membaik, kehidupan masyarakat kian berat. Tahu tempe yang merupakan makanan rakyat pun kini mahal harganya, menjadi barang ”mewah”, tidak lagi terjangkau rakyat miskin negeri ini. Semakin beratnya hidup masyarakat terefleksi dari hasil berbagai jejak pendapat yang menunjukkan ketidakpuasan masyarakat pada kinerja ekonomi Indonesia dari tahun ke tahun.
Politik fiskal
Kemandekan pembangunan ekonomi dan ketidaksiapan Indonesia menghadapi krisis membuat ekonomi Indonesia ada pada posisi berbahaya jika pengelola ekonomi masih terus menjalankan kebijakannya selama ini. Apalagi jika kebijakan fiskal lebih banyak dimensi politiknya daripada mengatasi masalah ekonomi yang sedang dihadapi bangsa dan mengabaikan pertimbangan rasional dari sisi ekonomi.
Apalagi dalam kondisi keuangan negara yang masih berat, kondisi fiskal belum sustainable, pengelolaan fiskal yang tidak rasional akan memperburuk kondisi ekonomi. Kita terjebak kepentingan jangka pendek dari pihak-pihak yang memegang kekuasaan sehingga kepentingan rakyat ”dikorbankan”. Sementara itu, pembangunan berjalan di tempat, infrastruktur penting banyak yang rusak berat. Namun, otoritas tampaknya tidak melihat itu semua, atau tidak mau melihat itu semua.
Apakah untuk melihat persoalan itu kita harus mendengarkan profesor asing yang menguliahi kita seperti Steve Hanke. Dia saja dari jauh dapat melihat ada masalah dalam kebijakan ekonomi kita. Di mana alokasi anggaran yang berat pada subsidi (padahal banyak yang tidak tepat sasaran) sehingga anggaran untuk infrastruktur dan SDM yang penting untuk membangun ekonomi Indonesia ke depan justru dikorbankan.
Juga karena subsidi yang membengkak membuat defisit APBN melesat, yang akhirnya harus dibiayai dengan tambahan utang. Artinya, generasi mendatang harus membiayai konsumsi generasi sekarang. Sungguh kasihan anak cucu kita.
Jika pola itu masih akan berlangsung pada tahun-tahun mendatang, jelas akan membuat ekonomi kita tidak maju, bahkan mengalami kemerosotan. Padahal, jika anggaran yang disalurkan untuk subsidi tahun ini digunakan membangun jalan bebas hambatan (kualitas jalan tol) bisa mencapai 4.000 km, dalam dua tahun akan bisa dibangun 8.000 km. Ini akan membuat infrastruktur kita setara dengan China sehingga mampu menjadi modal bagi kebangkitan ekonomi, bisa memperbaiki kehidupan kita pada masa datang.
Kebijakan fiskal memegang peran penting dalam pengelolaan ekonomi suatu negara. Alokasi anggaran dan cara membiayainya akan memengaruhi perekonomian suatu negara. Apalagi bagi negara yang memiliki beban utang besar seperti Indonesia, yang ekonominya masih ”terpuruk” (jumlah pengangguran dan kemiskinan masih besar). Belum lagi dana terbatas dari APBN yang seharusnya digunakan untuk membangun agar ekonomi dapat bangkit malah dihamburkan untuk konsumsi, dalam bentuk subsidi yang banyak salah sasaran. Padahal, nilainya bisa mencapai 20 persen dari anggaran tahunan dan sebagian dibiayai dari utang. Akankah ini dibiarkan terjadi?
Setahu saya, bangsa Indonesia adalah bangsa yang memiliki jiwa perjuangan yang hebat. Lihat sejarah Indonesia selama ini. Indonesia sudah biasa jatuh bangun untuk membawa bangsa ini merdeka hingga pada posisinya sekarang. Namun, tampaknya semangat kita kini kian melempem. Ke mana semangat perjuangan bangsa ini? Apakah kita sudah tidak lagi peduli dengan masa depan bangsa dan negara? Masih pedulikah kita pada generasi mendatang dan cita-cita kemerdekaan Indonesia? Maukah kita sedikit ”berkorban” pada masa kini untuk mendapatkan kehidupan lebih baik di masa datang dan mengorbankan kepentingan elite untuk kepentingan sekitar 220 juta orang? Apakah untuk dapat melihat itu semua dan membuat kita mengambil jalan yang benar harus mendengarkan saran dari luar?
Semoga bangsa Indonesia dapat melihat permasalahan ekonomi dengan jernih sehingga dapat mengambil solusi dengan bijaksana. Apalagi ancaman krisis dan resesi global tampaknya kian serius. Jangan sampai kita harus mengalami krisis ekonomi hebat lagi karena ketidakmampuan kita mengantisipasinya dengan baik.
SRI ADININGSIH Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
No comments:
Post a Comment