Rabu, 2 April 2008 | 00:53 WIB
Oleh Nur Hidayati
Tingginya inflasi dicemaskan berbagai kalangan. Pejabat pemerintah, otoritas moneter, pengusaha, dan ekonom dipusingkan oleh perhitungan strategi menekan inflasi. Kepentingan anggaran dan rencana bisnis dipertaruhkan. Namun, rakyat berpendapatan rendahlah yang paling merasakan tekanan hebat di balik angka-angka itu.
Angka inflasi yang diumumkan Badan Pusat Statistik (BPS), Selasa (1/4), jauh lebih tinggi dari dugaan para ekonom. Inflasi Maret 2008 dibandingkan dengan Maret 2007 (year on year) mencapai 8,17 persen. Inflasi pada Maret 2008 sebesar 0,95 persen. Dengan begitu, laju inflasi tiga bulan pertama tahun ini sudah mencapai 3,41 persen.
Dari total inflasi Maret 2008 sebesar 0,95 persen, andil kenaikan harga pada kelompok bahan makanan dan makanan jadi sudah mencapai 0,57 persen atau lebih dari separuh.
Sebagai perbandingan, angka inflasi year on year sepanjang tahun 2007 tidak pernah menembus 8 persen. Tahun lalu, inflasi year on year tertinggi terjadi pada September bertepatan dengan bulan puasa sebesar 6,95 persen.
Selama tujuh tahun terakhir, pola inflasi Maret cenderung lebih rendah dari bulan-bulan sebelumnya karena pengaruh turunnya harga beras pada musim panen raya. Dalam kurun waktu itu, inflasi bulan Maret yang naik tajam hanya terjadi pada Maret 2005, pascakenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) yang pertama, 1 Maret 2005.
Maret 2008, harga beras juga turun dan menyumbang deflasi sebesar 0,17 persen. Namun, penurunan harga beras kali ini tidak bisa menarik inflasi lebih rendah karena harga 42 jenis komoditas pangan lainnya meningkat.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengakui, dibutuhkan usaha luar biasa dari berbagai pihak untuk mewujudkan target inflasi akhir tahun sebesar 6,5 persen dalam APBN Perubahan 2008.
Target itu ditetapkan pemerintah di tengah kecenderungan kenaikan harga komoditas pangan yang masih cukup tinggi. Untuk mencapai target inflasi 6,5 persen, rata-rata inflasi selama sembilan bulan mendatang harus berada pada kisaran 0,34 persen per bulan.
Padahal, tren peningkatan inflasi yang biasa terjadi pada bulan puasa, Lebaran, dan Natal, misalnya, masih menghadang.
Pengamat ekonomi, Dradjad H Wibowo, memperhitungkan, laju inflasi pada akhir tahun ini akan berada pada kisaran 7-8 persen. Beratnya tekanan inflasi terhadap perekonomian pada tahun ini akan sangat berat antara lain karena kenaikan harga komoditas.
Pernyataan Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia MS Hidayat pada pembukaan Rapat Pimpinan Nasional Kadin 2008, Senin lalu, merepresentasikan kekhawatiran dunia usaha terhadap tren inflasi saat ini.
Kadin memperhitungkan, dengan inflasi akhir tahun sebesar 7 persen saja, tingkat pertumbuhan ekonomi bruto sebesar 13-14 persen pun tidak akan banyak berarti. Inflasi yang tinggi diyakini akan mengakibatkan inefisiensi dalam pengelolaan ekonomi.
”Stabilitas pengelolaan kebijakan makro-ekonomi amat diperlukan karena pentingnya daya saing keseluruhan bangsa ini. Pengusaha dan dunia usaha tak bisa mengambil keputusan yang tepat dan benar pada saat angka inflasi tinggi akibat disiplin fiskal yang tak terkendali,” ujar Hidayat.
Para pelaku usaha juga khawatir sektor keuangan tidak akan mampu menjalankan intermediasi secara optimal jika pemerintah menerapkan defisit anggaran yang terlalu besar.
Kebijakan subsidi BBM dan listrik yang membengkak hingga Rp 200 triliun pun dicemaskan akan berujung pada ketidakmampuan pemerintah membiayai perbaikan infrastruktur.
Kadin berharap pemerintah segera mengupayakan efisiensi dan efektivitas pengelolaan dan pengendalian kebijakan ekonomi. Untuk itu, Kadin merekomendasikan pentingnya implementasi atas strategi besar mengatasi krisis energi, pangan dan keuangan global, serta peningkatan produksi minyak.
Melalui implementasi kebijakan penanganan krisis yang efektif, inflasi tahunan diharapkan dapat ditekan hingga di bawah 5 persen atau mendekati rata-rata inflasi negara-negara yang sedang bertumbuh tinggi, seperti China, India, dan Rusia.
Menanggapi analisis Kadin itu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengatakan, ”Kalau membaca analisis Kadin memang agak seram, sepertinya pemerintah salah semua dari A-Z. Seperti juga di zaman kegelapan, jelek semuanya. Namun rekomendasi Kadin, saya kira baik.”
Suku bunga
Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Miranda Goeltom mengatakan, BI tidak akan merespons tekanan inflasi dengan menaikkan suku bunga. Hal itu dikarenakan tekanan inflasi cenderung didorong oleh kenaikan harga komoditas dunia yang sulit dikendalikan.
Tekanan inflasi yang paling berat secara nyata sebenarnya dialami oleh kalangan masyarakat berpendapatan rendah. Sekitar 60 persen dari pengeluaran kalangan masyarakat ini tersedot untuk belanja makanan. Kenaikan harga makanan yang berada pada kisaran 15-30 persen tentu berdampak pada penurunan kualitas hidup.
Di sisi lain, kenaikan harga pangan yang dicerminkan oleh tingkat inflasi sulit dihindari karena Indonesia tak mungkin lagi mengisolasi pasar domestik dari tekanan global. Instrumen stabilisator harga pangan pun hanya dipunyai pemerintah untuk komoditas beras melalui Perum Bulog.
Direktur Inter Cafe Institut Pertanian Bogor, Iman Sugema, menilai, perangkat fiskal yang digunakan pemerintah, berupa penurunan bea masuk tepung terigu dan kedelai, serta pajak pertambahan nilai minyak goreng yang ditanggung pemerintah, tidak akan efektif. Hal itu dikarenakan lonjakan harga jauh lebih tinggi dan masih terus berlanjut.
Subsidi pangan yang diberikan melalui pasar murah minyak goreng dan ”diskon” harga bahan baku bagi perajin tahu dan tempe pun tak berdampak signifikan. Penurunan harga pangan melalui penggunaan perangkat fiskal dan tambahan subsidi dirasakan seperti harapan muluk.
Jika kebijakan fiskal dan tambahan subsidi itu dimaksudkan untuk menolong masyarakat miskin, kondisi riil masyarakat ternyata belum cukup tertolong.
”Dengan dana terbatas, pemerintah membuat terlalu banyak program untuk mengurangi dampak kenaikan harga pangan ini. Akibatnya, malah enggak fokus,” ujar Iman.
Kompleksitas masalah yang menghadang terkait dengan tingginya inflasi sepertinya belum akan segera terurai. Pola kebijakan reaktif, kurang terfokus, dan kelemahan dalam implementasi semakin tak bisa ditoleransi. (OIN/HAR/OSA/FAJ)
Oleh Nur Hidayati
Tingginya inflasi dicemaskan berbagai kalangan. Pejabat pemerintah, otoritas moneter, pengusaha, dan ekonom dipusingkan oleh perhitungan strategi menekan inflasi. Kepentingan anggaran dan rencana bisnis dipertaruhkan. Namun, rakyat berpendapatan rendahlah yang paling merasakan tekanan hebat di balik angka-angka itu.
Angka inflasi yang diumumkan Badan Pusat Statistik (BPS), Selasa (1/4), jauh lebih tinggi dari dugaan para ekonom. Inflasi Maret 2008 dibandingkan dengan Maret 2007 (year on year) mencapai 8,17 persen. Inflasi pada Maret 2008 sebesar 0,95 persen. Dengan begitu, laju inflasi tiga bulan pertama tahun ini sudah mencapai 3,41 persen.
Dari total inflasi Maret 2008 sebesar 0,95 persen, andil kenaikan harga pada kelompok bahan makanan dan makanan jadi sudah mencapai 0,57 persen atau lebih dari separuh.
Sebagai perbandingan, angka inflasi year on year sepanjang tahun 2007 tidak pernah menembus 8 persen. Tahun lalu, inflasi year on year tertinggi terjadi pada September bertepatan dengan bulan puasa sebesar 6,95 persen.
Selama tujuh tahun terakhir, pola inflasi Maret cenderung lebih rendah dari bulan-bulan sebelumnya karena pengaruh turunnya harga beras pada musim panen raya. Dalam kurun waktu itu, inflasi bulan Maret yang naik tajam hanya terjadi pada Maret 2005, pascakenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) yang pertama, 1 Maret 2005.
Maret 2008, harga beras juga turun dan menyumbang deflasi sebesar 0,17 persen. Namun, penurunan harga beras kali ini tidak bisa menarik inflasi lebih rendah karena harga 42 jenis komoditas pangan lainnya meningkat.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengakui, dibutuhkan usaha luar biasa dari berbagai pihak untuk mewujudkan target inflasi akhir tahun sebesar 6,5 persen dalam APBN Perubahan 2008.
Target itu ditetapkan pemerintah di tengah kecenderungan kenaikan harga komoditas pangan yang masih cukup tinggi. Untuk mencapai target inflasi 6,5 persen, rata-rata inflasi selama sembilan bulan mendatang harus berada pada kisaran 0,34 persen per bulan.
Padahal, tren peningkatan inflasi yang biasa terjadi pada bulan puasa, Lebaran, dan Natal, misalnya, masih menghadang.
Pengamat ekonomi, Dradjad H Wibowo, memperhitungkan, laju inflasi pada akhir tahun ini akan berada pada kisaran 7-8 persen. Beratnya tekanan inflasi terhadap perekonomian pada tahun ini akan sangat berat antara lain karena kenaikan harga komoditas.
Pernyataan Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia MS Hidayat pada pembukaan Rapat Pimpinan Nasional Kadin 2008, Senin lalu, merepresentasikan kekhawatiran dunia usaha terhadap tren inflasi saat ini.
Kadin memperhitungkan, dengan inflasi akhir tahun sebesar 7 persen saja, tingkat pertumbuhan ekonomi bruto sebesar 13-14 persen pun tidak akan banyak berarti. Inflasi yang tinggi diyakini akan mengakibatkan inefisiensi dalam pengelolaan ekonomi.
”Stabilitas pengelolaan kebijakan makro-ekonomi amat diperlukan karena pentingnya daya saing keseluruhan bangsa ini. Pengusaha dan dunia usaha tak bisa mengambil keputusan yang tepat dan benar pada saat angka inflasi tinggi akibat disiplin fiskal yang tak terkendali,” ujar Hidayat.
Para pelaku usaha juga khawatir sektor keuangan tidak akan mampu menjalankan intermediasi secara optimal jika pemerintah menerapkan defisit anggaran yang terlalu besar.
Kebijakan subsidi BBM dan listrik yang membengkak hingga Rp 200 triliun pun dicemaskan akan berujung pada ketidakmampuan pemerintah membiayai perbaikan infrastruktur.
Kadin berharap pemerintah segera mengupayakan efisiensi dan efektivitas pengelolaan dan pengendalian kebijakan ekonomi. Untuk itu, Kadin merekomendasikan pentingnya implementasi atas strategi besar mengatasi krisis energi, pangan dan keuangan global, serta peningkatan produksi minyak.
Melalui implementasi kebijakan penanganan krisis yang efektif, inflasi tahunan diharapkan dapat ditekan hingga di bawah 5 persen atau mendekati rata-rata inflasi negara-negara yang sedang bertumbuh tinggi, seperti China, India, dan Rusia.
Menanggapi analisis Kadin itu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengatakan, ”Kalau membaca analisis Kadin memang agak seram, sepertinya pemerintah salah semua dari A-Z. Seperti juga di zaman kegelapan, jelek semuanya. Namun rekomendasi Kadin, saya kira baik.”
Suku bunga
Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Miranda Goeltom mengatakan, BI tidak akan merespons tekanan inflasi dengan menaikkan suku bunga. Hal itu dikarenakan tekanan inflasi cenderung didorong oleh kenaikan harga komoditas dunia yang sulit dikendalikan.
Tekanan inflasi yang paling berat secara nyata sebenarnya dialami oleh kalangan masyarakat berpendapatan rendah. Sekitar 60 persen dari pengeluaran kalangan masyarakat ini tersedot untuk belanja makanan. Kenaikan harga makanan yang berada pada kisaran 15-30 persen tentu berdampak pada penurunan kualitas hidup.
Di sisi lain, kenaikan harga pangan yang dicerminkan oleh tingkat inflasi sulit dihindari karena Indonesia tak mungkin lagi mengisolasi pasar domestik dari tekanan global. Instrumen stabilisator harga pangan pun hanya dipunyai pemerintah untuk komoditas beras melalui Perum Bulog.
Direktur Inter Cafe Institut Pertanian Bogor, Iman Sugema, menilai, perangkat fiskal yang digunakan pemerintah, berupa penurunan bea masuk tepung terigu dan kedelai, serta pajak pertambahan nilai minyak goreng yang ditanggung pemerintah, tidak akan efektif. Hal itu dikarenakan lonjakan harga jauh lebih tinggi dan masih terus berlanjut.
Subsidi pangan yang diberikan melalui pasar murah minyak goreng dan ”diskon” harga bahan baku bagi perajin tahu dan tempe pun tak berdampak signifikan. Penurunan harga pangan melalui penggunaan perangkat fiskal dan tambahan subsidi dirasakan seperti harapan muluk.
Jika kebijakan fiskal dan tambahan subsidi itu dimaksudkan untuk menolong masyarakat miskin, kondisi riil masyarakat ternyata belum cukup tertolong.
”Dengan dana terbatas, pemerintah membuat terlalu banyak program untuk mengurangi dampak kenaikan harga pangan ini. Akibatnya, malah enggak fokus,” ujar Iman.
Kompleksitas masalah yang menghadang terkait dengan tingginya inflasi sepertinya belum akan segera terurai. Pola kebijakan reaktif, kurang terfokus, dan kelemahan dalam implementasi semakin tak bisa ditoleransi. (OIN/HAR/OSA/FAJ)
1 comment:
Tulisan artikel di blog Anda bagus-bagus. Agar lebih bermanfaat lagi, Anda bisa lebih mempromosikan dan mempopulerkan artikel Anda di infoGue.com ke semua pembaca di seluruh Indonesia. Salam Blogger!
http://www.infogue.com/
http://www.infogue.com/bisnis_keuangan/pendapatan_masyarakat_semakin_tergerogoti/
Post a Comment