Her Suganda
Masalah beras muncul kembali setelah harganya di pasar dunia makin mahal. Jika memanfaatkan momentum ini dengan melakukan ekspor beras, siapakah yang diuntungkan? Petani, spekulan yang berkedok pedagang, atau siapa?
Sebagai negara yang lebih dari 90 persen penduduknya menjadikan beras sebagai bahan makanan pokok, sebaiknya kita berhati-hati menyikapi hal ini. Pengalaman selama ini menunjukkan, harga beras yang membubung tinggi bisa menjadi makanan empuk isu politik.
Namun, sayangnya, keputusan-keputusan penting yang menyangkut beras sering kali tidak memperhitungkan aspek perilaku petani. Bahkan, sebagai aktor utama penghasil beras, perilaku petani sering kali berada di luar pertimbangan para pengambil keputusan. Padahal, terjadinya surplus produksi belum tentu merupakan pencerminan cadangan beras di tangan petani sebagai penunjang utama ketahanan pangan.
Bahwa kemampuan kita dalam meningkatkan produksi padi yang terus meningkat terlihat sejak dilaksanakan Revolusi Hijau. Perkembangan produksi padi sejak 1966 yang semula hanya 14,1 juta ton, setahun kemudian meningkat menjadi 14,3 juta ton atau sekitar 10 persen dibanding 1964. Atau bandingkan tahun 1965 yang hanya meningkat 0,5 persen dibanding tahun yang sama. Bahkan, dengan bibit-bibit baru yang dijuluki ”bibit ajaib”, sejak itu produksi padi terus meningkat secara fantastis sehingga tahun 1984 kita mencapai swasembada.
Perubahan perilaku
Akan tetapi, terjadinya peningkatan produksi yang disusul dengan kebijaksanaan pemerintah menekan diberlakukannya harga dasar mendorong adanya perubahan mendasar dalam kehidupan petani di daerah pedesaan. Dari satu sisi, lewat kebijaksanaan ini harga gabah/beras berhasil dikendalikan. Jika harga gabah/beras di bawah harga dasar, Badan Urusan Logistik (Bulog) melakukan pembelian gabah petani. Sebaliknya, jika harga beras berada di atas harga tertinggi, Bulog melakukan operasi pasar.
Namun, karena laju kenaikan harga-harga di luar produksi pertanian meningkat lebih cepat, produksi melimpah tak mencerminkan keuntungan yang berarti. Dalam sistem ekonomi petani, keuntungan mereka bukan hanya didasarkan pada seberapa besar masukan (input) dibanding keluaran (output). Keuntungan petani juga diperoleh berdasarkan fluktuasi harga beras pada musim panen dan musim paceklik.
Keuntungan itu dianggap tidak lagi diperoleh petani sejak diberlakukannya harga dasar sehingga produksi yang melimpah tidak mendorong petani menyimpannya. Para petani tak membutuhkan lagi lumbung yang sebelumnya merupakan tempat penyimpanan cadangan pangan mereka dan sekaligus menjadi lambang status sosialnya karena hasil panen mereka langsung dijual, entah ke tengkulak, pengusaha penggilingan, atau ke Depot Logistik (Dolog). Fungsi lumbung sudah digantikan oleh gudang pengusaha penggilingan atau gudang-gudang Dolog setempat.
Karena itu, kasus harga gabah yang terjadi pada setiap musim panen, terutama saat musim panen raya, merupakan fenomena yang sudah lama terjadi dan akan terus terjadi. Harga gabah jatuh di bawah harga dasar karena jumlah yang ditawarkan lebih besar dari daya serap pasar. Apalagi jika faktor cuaca tidak mendukung sehingga petani mengalami kesulitan menjemur hasil panen.
Besarnya penawaran gabah produksi petani pada musim panen raya bukan hanya karena dorongan kebutuhan ekonomi, misalnya untuk memenuhi kebutuhan biaya garapan masa musim tanam berikutnya, tetapi lebih didasarkan pada pertimbangan rasional karena menyimpan gabah/beras tidak lagi menguntungkan mereka. Perilaku ini diikuti sebagian besar buruh tani dan petani penggarap dan petani berlahan kurang dari 0,5 hektar yang menempati urutan terbesar dalam struktur petani kita.
Menjadi konsumen
Sebaliknya perilaku yang berbeda akan terjadi pada saat musim paceklik. Musim ini akan berlangsung sekitar tiga bulan dalam setahun. Dalam siklus kehidupan petani, musim paceklik ditandai dengan naiknya harga beras karena bahan persediaan yang menipis dan hilangnya sumber-sumber mata pencarian sebagian besar petani.
Petani yang semula menjadi produsen, pada musim paceklik berubah menjadi konsumen. Jika pada musim panen mereka menjual gabah hasil panennya dengan harga rendah, sebaliknya pada musim paceklik harus membeli beras dengan harga tinggi. Fenomena nasi aking dan tiwul yang selalu muncul dalam pemberitaan media massa merupakan gambaran keadaan di atas.
Bahwa mereka kemudian memperoleh beras murah lewat ”beras miskin” dan operasi pasar hanyalah terapi sesaat. Pengaruhnya hanya sedikit karena hasil pengadaan Bulog yang berasal dari pembelian dalam negeri tidak lebih dari 10-15 persen dari produksi nasional. Sebagian besar produksi, selain dikonsumsi, cadangan gabah/beras justru berada di tangan pedagang/pengusaha penggilingan.
Her Suganda Wartawan; Tinggal di Bandung
No comments:
Post a Comment