Tuesday, April 15, 2008

Utang Bertambah Rp 97,7 Triliun

Tak Perlu Risaukan Neraca Keuangan yang Negatif
Selasa, 15 April 2008 | 01:27 WIB

Jakarta, Kompas - Selama tahun 2007 utang pemerintah bertambah Rp 97,74 triliun. Hal itu disebabkan oleh melemahnya nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing sehingga beban pembayaran utang luar negeri membengkak. Beban utang yang ditanggung jauh lebih besar dari aset yang diterima dari hasil utang itu.

Hal itu terungkap dalam neraca Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) 2007, yang belum diaudit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), yang diterima Kompas di Jakarta, Senin (14/4).

Dalam neraca LKPP disebutkan kewajiban pemerintah per 31 Desember 2007 mencapai Rp 1.427,8 triliun. Jumlah itu lebih besar Rp 97,7 triliun dibandingkan dengan kewajiban pemerintah per 31 Desember 2006 yang hanya Rp 1.330,1 triliun.

Pengamat utang dari Koalisi Anti Utang (KAU), Kusfiardi, menyatakan, beban utang luar negeri itu bukti bahwa beban utang yang ditanggung selama ini jauh lebih besar dari aset yang diterima, dari hasil utang tersebut. Bahkan, sebagian proyek yang didanai oleh utang tidak dapat dimanfaatkan karena terkena bencana alam.

”Beban itu tidak seharusnya ditanggung APBN. Dengan kondisi ini, pemerintah berhak minta pengurangan utang,” ujarnya.

Utang yang lebih besar daripada aset terlihat dalam neraca LKPP 2007. Nilai kewajiban pemerintah per 31 Desember 2007 mencapai Rp 1.427,8 triliun, sedangkan nilai asetnya Rp 1.366,47 triliun. Artinya, neraca pemerintah negatif Rp 61,3 triliun.

Menurut Direktur Akuntansi dan Pelaporan Keuangan Departemen Keuangan (Depkeu) Hekinus Manao, selisih negatif neraca pemerintah semakin turun. ”Tahun 2004, saat pemerintah menyusun LKPP pertama kali, selisih negatif antara aset dan kewajiban pemerintah Rp 500 triliun. Tahun 2005 menjadi Rp 200 triliun lebih, 2006 menjadi Rp 110,3 triliun, dan 2007 menjadi Rp 61,3 triliun,” ujarnya.

Menurut Hekinus, neraca keuangan yang negatif tidak perlu dikhawatirkan karena setiap pinjaman yang diambil dijamin oleh kemampuan pemerintah dalam menambah penerimaan. Ini berbeda dengan yang dilakukan perusahaan, yaitu menjaminkan asetnya untuk berutang.

”Akuntansi pemerintah dan perusahaan berbeda. Pemerintah tidak mengagunkan aset negara untuk pinjam uang,” katanya.

Hekinus menyebutkan, membengkaknya nilai utang pemerintah pada 2007 karena melemahnya nilai tukar rupiah terhadap mata uang, yang menjadi basis pinjaman, terutama dollar AS.

Perlemahan nilai tukar rupiah menyebabkan beban pembayaran surat utang negara berdenominasi mata uang asing dan pinjaman luar negeri makin tinggi.

Pengamanan aset

Pengamat ekonomi Iman Sugema mengatakan, masalah yang dihadapi pemerintah adalah kemampuan mengidentifikasi dan menilai ulang aset rendah dan lambat. Ini menyebabkan sebagian aset pemerintah di bawah nilai sewajarnya.

”Akibatnya akan selalu ada selisih negatif antara aset dan kewajiban pemerintah. Jika penilaian ulang aset bisa dilakukan, mungkin nilai aset pemerintah yang dicantumkan di neraca lebih besar dua kali lipat,” katanya.

Pemerintah juga menghadapi masalah pengamanan asetnya karena banyak yang belum bersertifikat. Oleh karena itu, Presiden sebaiknya membentuk unit khusus di lingkungan sekretariat negara yang bertugas mengamankan aset negara tersebut.

”Saat ini sudah ada Direktorat Jenderal Kekayaan Negara di Depkeu. Namun jika ingin lebih kuat kewenangannya, sebaiknya dibentuk langsung di bawah kontrol presiden,” ujar Iman. (OIN)

No comments: