Thursday, April 17, 2008

Relaksasi Aturan


Upaya BI Menyikapi Resesi Global

EPA/DAI KUROKAWA / Kompas Images
Seorang wanita di depan kantor cabang Mizuho di Tokyo, Jepang, Jumat (11/4). Mizuho Financial Group Inc berencana menghapus kredit senilai 565 miliar yen akibat krisis subprime mortgage. Aksi ini membuat lembaga keuangan tersebut kehilangan laba bersih sekitar 300 juta yen untuk tahun fiskal 2007. Bencana yang menimpa Mizuho terkait dengan krisis subprime mortgage di Amerika Serikat.
Kamis, 17 April 2008 | 01:34 WIB

M Fajar Marta

Gejolak pasar keuangan global yang terjadi akibat kenaikan harga berbagai komoditas dan krisis subprime mortgage di Amerika Serikat telah berdampak pada perekonomian domestik kendati belum signifikan. Harga Surat Utang Negara atau SUN sempat terperosok dan laju ekspor menurun.

Sampai kini, gejolak pasar keuangan global belum bisa dipastikan kapan akan berakhir. Yang terjadi justru ancaman resesi perekonomian dunia yang sudah di depan mata. Tantangan perekonomian domestik pun makin berat.

Jika harga minyak dunia terus menanjak, sulit bagi pemerintah untuk tidak menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi di dalam negeri.

Berkaca pada pengalaman tahun 2005 saat pemerintah menaikkan harga BBM, pertumbuhan ekonomi domestik langsung anjlok akibat tergerusnya daya beli masyarakat dan lesunya kegiatan sektor riil.

Pertumbuhan ekonomi tahun 2006 tercatat hanya 5,5 persen, di bawah target 6 persen. Target pertumbuhan ekonomi tahun 2008 juga direvisi dari 6,8 persen menjadi 6,4 persen. Target tersebut tentu menjadi pertaruhan di tengah kian dekatnya ancaman resesi global.

Jika situasi ekonomi dunia makin memburuk dan harga BBM domestik terpaksa dinaikkan, seperti tahun 2005, target pertumbuhan ekonomi 2008 dipastikan tidak akan tercapai.

Untuk mengantisipasi kemungkinan itulah Bank Indonesia (BI) berinisiatif mengeluarkan paket regulasi perbankan April 2008, yang sebagian besar isinya merupakan pelonggaran atau relaksasi aturan kredit.

Paket regulasi tersebut terdiri dari, pertama, ketentuan penurunan perhitungan aktiva tertimbang menurut risiko (ATMR) kredit usaha kecil yang dijamin oleh lembaga penjaminan/asuransi kredit yang memenuhi persyaratan tertentu.

Salah satu jenis kredit ini ialah kredit usaha rakyat (KUR) yang diluncurkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono November tahun lalu.

Kedua, ketentuan penurunan perhitungan ATMR untuk obligasi korporasi. Ketiga, ketentuan peningkatan batas maksimum pemberian kredit (BMPK) kepada kelompok debitor bukan pihak terkait bank.

Keempat, ketentuan mengenai pendirian bank umum dan pengaturan kelembagaan lainnya. Kelima, ketentuan pelaksanaan Implementasi Basel II dan keenam, ketentuan lembaga pemeringkat dan peringkat yang diakui BI.

Pendalaman pasar keuangan

Tujuan dari relaksasi berbagai aturan tersebut antara lain mengatasi permasalahan yang dihadapi usaha kecil untuk mendapatkan pembiayaan bank serta pendalaman pasar keuangan (financial deepening) dan mendorong perkembangan pasar modal.

Selain itu juga untuk memperbaiki dan memperkuat struktur kelembagaan bank serta meningkatkan manajemen risiko bank melalui implementasi Basel II yang didukung dengan ketersediaan industri pemeringkatan.

”Diharapkan paket regulasi perbankan itu menjadi stimulus untuk pertumbuhan perekonomian dan sekaligus dapat menjaga kestabilan sistem keuangan di tengah kondisi perekonomian dunia yang masih belum kondusif dewasa ini,” jelas Deputi Gubernur BI Muliaman D Hadad saat mengumumkan paket regulasi, Selasa (15/4) di Jakarta.

Pelonggaran aturan secara teori bisa meningkatkan kemampuan dan keleluasaan bank menyalurkan kredit. Ini diharapkan bisa mengompensasi peningkatan risiko kredit akibat gejolak perekonomian sehingga laju penyaluran kredit tidak anjlok dan target pertumbuhan ekonomi tetap bisa tercapai.

Berdasarkan perhitungan, penurunan ATMR untuk KUR dari 85 persen menjadi minimum 20 persen akan mendongkrak rasio kecukupan modal (capital adequacy ratio/CAR) perbankan.

Sekretaris Perusahaan BRI Hartono Sukiman mengatakan, berdasarkan perhitungan kasar, CAR BRI bisa naik dari 16 persen saat ini menjadi sekitar 19-20 persen sebagai dampak pelonggaran ATMR KUR.

BRI merupakan penyalur KUR paling besar, mencapai Rp 2 triliun dari total KUR yang sekitar Rp 3,5 triliun. ”Dengan CAR yang besar, bank bisa lebih agresif lagi mengalurkan KUR,” ujar Hartono.

Adapun penurunan ATMR obligasi korporasi dari 100 persen saat ini menjadi minimum 20 persen secara perhitungan akan meningkatkan minat bank membeli obligasi korporasi, sebagai wadah penyaluran dana sekaligus penyeimbangan portofolio aset.

Tingginya permintaan diharapkan bisa mendongkrak penerbitan obligasi korporasi. Korporasi diharapkan terpacu menerbitkan obligasi untuk ekspansi usahanya sehingga perekonomian makin bergairah.

Independensi BI

Presiden Direktur Pefindo Kahlil Rowter mengatakan, penerbitan obligasi akan lebih marak karena insentif yang diberikan BI tersebut. Perdagangan obligasi korporasi tidak saja marak di pasar primer, tetapi juga likuid di pasar sekunder.

Besarnya penurunan bobot risiko dalam perhitungan ATMR obligasi korporasi tergantung dari peringkat obligasi bersangkutan.

Jika peringkatnya AAA sampai AA minus, ATMR menjadi 20 persen. Jika peringkat A plus sampai A minus, ATMR diturunkan menjadi 50 persen.

Sayangnya, menurut pengamat perbankan, Iman Sugema, relaksasi berbagai aturan tersebut hanya berlaku di atas kertas. Di lapangan, semua itu tidak akan efektif sepanjang iklim investasi di Indonesia tidak dipercepat pembenahannya.

”Penyakit perekonomian Indonesia sebenarnya berada di sektor riil, yakni iklim investasi yang masih buruk. Tidak ada pengusaha yang mau ekspansi usaha. Percuma BI mengotak- atik aturan kalau permintaan kredit dari sektor riil tetap saja rendah,” kata Iman.

Iklim investasi yang buruk meliputi antara lain minimnya infrastruktur, birokratisasi yang rumit, ekonomi biaya tinggi, perpajakan, dan perburuhan.

Hartono menambahkan, penyaluran KUR sulit melaju lebih kencang jika pasar dari produk- produk yang dihasilkan pengusaha kecil tetap terbatas seperti saat ini.

”Pemerintah harus lebih serius membantu dan membina pengusaha mikro dan kecil dalam memasarkan produk mereka,” saran Hartono.

Ketua Umum Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) Sandiaga Uno mengatakan, hingga kini masih ada berbagai kendala di sektor riil.

Ia mencontohkan, untuk mendapatkan izin usaha baru rata-rata dibutuhkan waktu tiga bulan, sangat lama dibandingkan dengan negara-negara lain. Ini membuat orang tidak bergairah menjadi pengusaha.

Akibatnya, lanjut Sandiaga, jumlah pengusaha baru di sektor usaha mikro, kecil, dan menengah hampir tidak ada perkembangan. Permasalahan lain adalah pembebasan lahan untuk pembangunan infrastruktur atau perkebunan.

Waktu yang dibutuhkan amat lama mengingat selalu ada kendala. Bahkan, pembebasan lahan yang sebenarnya dimiliki negara pun masih tetap rumit akibat administrasi yang amburadul, terutama di daerah.

Anggota Komisi Keuangan dan Perbankan DPR dari Fraksi PDI Perjuangan, Maruarar Sirait, mengatakan, BI sebaiknya tetap bisa menyuarakan kritik kepada pemerintah meskipun secara psikologis cukup berat pascapenahanan Gubernur BI Burhanuddin Abdullah.

Tanda-tanda turunnya independensi BI, tutur Maruarar, mulai terlihat tatkala beberapa waktu lalu BI meminta bantuan pemerintah untuk menstabilkan kondisi moneter. Padahal, BI merupakan otoritas moneter.

BI boleh-boleh saja merelaksasi aturan, yang sebenarnya mengandung risiko bagi bank dan perekonomian nasional. Akan tetapi, BI juga harus bisa mendesak pemerintah untuk berlari sama kencang. Inilah bentuk koordinasi yang harus dilakukan BI dengan pemerintah.

No comments: