Friday, April 18, 2008

Privatisasi BUMN

Menimbang antara IPO dan Mitra Strategis

Kompas/Lucky Pransiska / Kompas Images
Aktivitas pekerja di pabrik gulungan baja lembaran panas (hot rolled coil/HRC) milik PT Krakatau Steel di Cilegon, Provinsi Banten, Selasa (4/4/2006). Kapasitas produksi gulungan baja lembaran panas mencapai 2,5 juta ton per tahun. Sebanyak 85 persen produksi baja PT Krakatau Steel dijual ke pasar domestik dan sisanya diekspor.
Jumat, 18 April 2008 | 01:16 WIB

Nur Hidayati

PT Krakatau Steel adalah satu dari sedikit industri strategis yang masih bertahan di negeri ini. Seperti badan usaha milik negara yang lain, KS tak luput dari ”dosa” inefisiensi masa lalu. Bagi manajemen KS, sekaranglah saatnya untuk membuktikan bahwa pembenahan internal telah membuatnya lebih sehat dan siap berkembang.

Keresahan di lingkungan PT Krakatau Steel (KS) yang merebak akhir-akhir ini dipicu oleh rencana penjualan sebagian saham KS kepada mitra strategis dengan kandidat Arcelor-Mittal.

Hal itu dipandang tak ubahnya seperti kawin paksa dengan peminat lama yang tidak disukai. Memang bukan pertama kali ini Lakshmi N Mittal, pendiri konglomerasi baja Arcelor-Mittal, menunjukkan minat untuk membeli KS. Berdasarkan data Kompas, tahun 1998, Pemerintah Indonesia diwakili Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara Tanri Abeng ketika itu, menandatangani nota kesepahaman (MOU) dengan Mittal untuk memulai proses penjualan saham KS pada Mittal hingga 51 persen.

Isi MOU ini sempat dirahasiakan dan baru diketahui melalui perdebatan keras di DPR, sebulan setelah penandatanganan. Pemerintah akhirnya membatalkan MOU yang dituding menyalahi prinsip transparansi dalam privatisasi itu.

Rencana privatisasi sejumlah BUMN, termasuk KS, kembali digulirkan oleh pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Pilihan yang sejak awal diketahui publik adalah privatisasi melalui penawaran perdana di pasar saham (initial public offering/IPO).

Namun, akhir-akhir ini perdebatan tentang rencana privatisasi KS memanas. Nama Mittal muncul kembali sebagai calon investor yang berminat menjadi mitra strategis KS.

”Saat ini belum ada keputusan pemerintah dan kesepakatan DPR apakah KS akan di-IPO atau dijual pada mitra strategis. Apa pun keputusannya nanti, kami akan patuhi. Namun selagi belum ada keputusan, mari kita berwacana, mana yang kira-kira lebih tepat bagi KS,” ujar Komisaris Utama PT KS Taufiequrrahman Ruki, yang mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Privatisasi BUMN baik melalui IPO maupun kemitraan strategis sama-sama bertujuan untuk memperkuat struktur permodalan dan meningkatkan kinerja.

Penjualan KS pada mitra strategis dipandang sebagai pilihan yang baik karena mitra yang tepat diyakini bakal mempercepat peningkatan kapasitas produksi baja di Indonesia.

Di sisi lain, IPO dinilai bukan pilihan bijaksana di tengah kelesuan pasar saham saat ini. Namun, kelesuan pasar juga membuat penjualan strategis tidak pasti menguntungkan karena nilai penjualan akan ditentukan berdasarkan taksiran pasar yang sedang lesu.

Kesuksesan privatisasi melalui kemitraan strategis akan ditentukan oleh proses tata laksana yang transparan dan ketepatan memilih mitra strategis. Dibandingkan dengan IPO, penjualan pada mitra strategis mempunyai lebih banyak titik rawan. Untuk itu, keterbukaan dan kesepakatan bersama menjadi kata kunci bagi pengupayaan kemitraan.

Selain mempunyai kemampuan pendanaan dan solusi teknologi, misalnya, mitra strategis juga disyaratkan memiliki kesesuaian motif, budaya, dan strategi pengembangan dengan para pemangku kepentingan.

Dalam perdebatan tentang penjualan KS pada mitra strategis, barulah nama Mittal yang ramai disebut. Mittal dikabarkan berminat membeli saham KS hingga 30 persen.

Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) M Lutfi yang memfasilitasi pertemuan Mittal dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pekan lalu mengatakan, masih terbuka beberapa opsi kemitraan KS dan Mittal.

”Mittal bisa saja membangun pabrik sendiri, tetapi itu artinya dibutuhkan 5-10 tahun sebelum bisa berproduksi. Untuk mempercepat peningkatan kapasitas produksi baja di Indonesia, pilihannya adalah membeli saham minoritas di KS lalu menggunakannya untuk membangun joint venture baru di mana ia menjadi mayoritas,” ujar Lutfi.

Membangun pabrik baja baru bukanlah praktik bisnis yang biasa dijalankan Mittal. Sampai tahun 2005, satu-satunya perusahaan baja yang dibangun Mittal adalah Ispatindo di Surabaya tahun 1976. Namun, sejak didirikan kapasitas produksi pabrik ini tak banyak berkembang.

Sejarah akuisisi

Arcelor-Mittal berkembang menjadi konglomerasi melalui sederetan akuisisi terhadap pabrik-pabrik baja di berbagai negara. Kapasitas total produksi baja dalam konglomerasi ini mencapai 116 juta ton atau sekitar 10 persen dari total produksi dunia.

Namun, Mittal bukanlah industrialis pengembang teknologi. Masing-masing perusahaan yang diakuisisinya mengembangkan teknologi sendiri.

Lutfi mengakui, membangun pabrik baja baru bukan gaya bisnis Mittal selama ini. ”Namun di Indonesia akan berbeda. Mittal merasa perlu membangun pabrik di sini karena besarnya permintaan pasar di Asia,” ujarnya.

Menakar komitmen Mittal sebagai mitra strategis tidaklah mudah. Financial Times, 4 April lalu, menyebutkan, Presiden Nigeria membatalkan penjualan pabrik baja terbesar di negeri itu pada Mittal Group karena dugaan kecurangan.

Di Perancis, pekerja Arcelor-Mittal mengamuk setelah manajemen mengumumkan rencana pemberhentian lebih dari 1.000 pekerja hingga 2009 akibat penutupan sebagian pabrik.

”Sebelum pemerintah memutuskan cara mana yang dipilih untuk privatisasi KS, dewan komisaris dan direksi sebagai pihak yang paling memahami kondisi KS tentu boleh berpendapat. Menurut kami, penjualan strategis bukan pilihan yang tepat saat ini. Lebih baik IPO,” tegas Ruki.

Kondisi sehat

Lonjakan harga baja di pasar internasional saat ini mengindikasikan kegairahan baru bisnis baja. Permintaan pasar dunia meningkat sangat pesat terutama dari dua raksasa ekonomi Asia, China dan India.

”Pada periode 1998-2004, perbankan sama sekali tidak tertarik membiayai industri baja. Sekarang, kami ditawari pinjaman dari Citibank, HSBC, BRI, dan banyak lagi lainnya,” ujar Direktur Utama PT Krakatau Steel Fazwar Bujang.

Manajemen juga meyakini, KS sedang berada dalam kondisi sangat sehat. Semester pertama tahun ini, KS memperhitungkan laba bersih mencapai Rp 600 miliar, sudah melampaui target laba bersih yang ditetapkan pemerintah untuk KS pada akhir 2008 sebesar Rp 450 miliar.

Karena rasio utang terhadap modal sendiri yang masih rendah, KS memiliki kemampuan berutang, jika diperlukan, hingga Rp 10 triliun. Untuk peningkatan kapasitas produksi hingga 5 juta ton dengan basis energi batubara pada tahun 2011 mendatang, KS membutuhkan investasi senilai 600 juta dollar AS.

Namun, modal yang ingin didapat melalui IPO hanya 200 juta dollar AS. ”Tidak perlu seluruhnya modal sendiri kan, bisa dipenuhi dari pinjaman bank. Karena kebutuhannya relatif kecil, belum perlulah mitra strategis,” ujar Ruki. Melalui IPO, manajemen KS juga diyakini akan terdorong lebih profesional.

Anggota Komisi XI DPR, Dradjad Wibowo, mengingatkan, persepsi publik yang lebih kritis memandang privatisasi industri strategis menjelang pemilu tidak dapat diabaikan. ”Jangan sampai menjadi cacat politik tambahan bagi pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla di bidang ekonomi,” ujarnya.

No comments: