Senin, 7 April 2008 | 08:49 WIB
Mirza Adityaswara
Minggu lalu, daya tahan pasar keuangan kita kembali diuji. Imbal hasil surat utang negara atau SUN memburuk dan indeks harga saham terpuruk. Tim ekonomi pemerintah menggelar pertemuan dengan kalangan media dan analis pasar keuangan untuk menjelaskan situasi ekonomi dan langkah langkah pengamanan yang disiapkan pemerintah.
Fokus kekhawatiran pelaku pasar keuangan kali ini adalah peningkatan angka inflasi bulan Maret, berlarut-larutnya pembahasan revisi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) di DPR, dan mengecilnya angka surplus neraca perdagangan.
Investor bertanya-tanya bagaimana cara pemerintah mendanai kenaikan subsidi bahan bakar minyak (BBM) apabila belum ada kesepakatan mengenai pemotongan pengeluaran departemen dan lembaga negara. Kekhawatiran terhadap kondisi makroekonomi di dalam negeri telah memperburuk sentimen investor pasar keuangan yang sedang gundah karena pelemahan pertumbuhan ekonomi dunia.
Krisis kredit kepemilikan rumah di Amerika telah membuat rugi puluhan miliar dollar bank-bank internasional, seperti Citigroup, UBS, Merril Lynch, dan Bear Stearns. Kerugian bank kelas dunia itu telah membuat terjadi pengetatan kredit di pasar keuangan internasional.
Karena kekhawatiran terhadap APBN dan naiknya inflasi, imbal hasil (yield) SUN yang berjangka waktu 10 tahun minggu lalu memburuk dari 11,8 persen ke 12,2 persen. Untungnya gejolak di pasar SUN dan pasar saham tidak berimbas ke pelemahan kurs rupiah karena Bank Indonesia menambah supply ke pasar valuta asing.
Sebaiknya BI masuk SUN
Untuk menjaga stabilitas rupiah, Bank Indonesia mempertahankan suku bunga di 8,0 persen dan Departemen Keuangan melakukan program buy back (pembelian kembali) SUN. Sebaiknya BI juga siap masuk ke pasar SUN untuk memberikan likuiditas ke pasar SUN. Kondisi pasar keuangan saat ini rentan, kita perlu membuatnya stabil.
Pemburukan imbal hasil SUN sudah terjadi sejak awal Maret. Contohnya, SUN berjangka waktu 2 tahun yield-nya naik dari 8,4 persen per Desember 2007 menjadi 10,5 persen pada Jumat lalu. Pada akhir Februari 2008, imbal hasil SUN berjangka waktu 10 tahun hanya 9,8 persen, sekarang 12,2 persen.
Artinya, beban bunga pemerintah untuk membiayai surat utang yang jatuh tempo dan mendanai defisit APBN meningkat 240 basis poin, atau 2,4 persen. Sebagai gambaran, untuk menutup defisit Rp 76 triliun, tambahan beban bunga sebesar 2,4 persen tersebut adalah setara dengan Rp 1,8 triliun per tahun. Tentunya banyak sekali sekolah yang bisa kita bangun dengan dana Rp 1,8 triliun.
Inflasi sedang menjadi momok di seluruh dunia karena kenaikan harga minyak bumi dan bahan pangan. Tren diversifikasi di dunia, dari sumber energi minyak bumi ke energi dari bahan pangan, telah menaikkan harga komoditas pangan, seperti kelapa sawit, jagung, dan gandum.
Di Indonesia, inflasi tahunan pada bulan Maret sudah naik jadi 8,2 persen, padahal pada Desember 2007 inflasi tahunan hanya 6,6 persen. Di dalam komponen indeks inflasi umum, inflasi bahan pangan malahan sudah mencapai 13,6 persen.
Di sektor keuangan, meningkatnya inflasi akan menurunkan harga SUN, memperburuk imbal hasil SUN. Di sektor riil, meningkatnya inflasi pasti akan memukul daya beli masyarakat, terutama mereka yang berpenghasilan rendah.
Kenaikan subsidi BBM akan membuat defisit APBN melonjak dari 1,7 persen produk domestik bruto (PDB) menjadi lebih dari 4 persen PDB. Subsidi BBM akan meningkat dari sekitar Rp 75 triliun menjadi sekitar Rp 200 triliun, suatu jumlah yang sangat besar. Bisa dimengerti pemerintah sangat berkeberatan memotong subsidi BBM karena akan meningkatkan inflasi dan melemahkan daya beli masyarakat, apalagi menjelang Pemilu 2009.
Namun, jika tak mau mengurangi beban subsidi BBM, harus ada pengeluaran lain yang dipotong supaya defisit APBN tak lebih dari 2,1 persen PDB.
Mengapa defisit APBN perlu dijaga tidak lebih dari 2,1 persen PDB? Hal ini supaya investor pasar keuangan dan negara donor tetap bersedia memberikan pendanaan dengan suku bunga yang relatif rendah.
Sebagai negara kecil dengan sistem devisa bebas, kita dituntut disiplin. Apabila kita tidak ingin utang pemerintah meningkat terus, maka defisit anggaran negara tiap tahun tidak boleh lebih dari 2 persen PDB, bahkan kalau bisa dalam jangka panjang APBN harus surplus.
Alangkah baiknya jika DPR dan para menteri mendukung pengetatan anggaran departemen yang diajukan pemerintah. Akan lebih baik lagi jika daerah, provinsi dan kabupaten/kota, untuk sementara bersedia menerima transfer dana lebih kecil dari pemerintah pusat.
Dalam kondisi prihatin seperti sekarang, apabila subsidi BBM ingin dipertahankan, semua pihak di pemerintah pusat maupun daerah harus berbagi beban.
Apakah Indonesia akan kembali tertimpa krisis keuangan? Seharusnya tidak karena tata kelola sektor perbankan saat ini jauh lebih sehat. Di sektor perbankan, penyalahgunaan kredit untuk grup usaha sendiri sekarang hampir tidak terdengar.
Jadi, dari tiga komponen fundamental makroekonomi (sektor perbankan, neraca pembayaran, dan anggaran pemerintah), pasar keuangan saat ini ingin melihat komitmen negara ini menjaga disiplin fiskal.
Namun, disiplin fiskal tidak cukup jika tidak dibarengi upaya terus membenahi sektor riil, efisiensi distribusi barang, membuka peluang usaha, dan meningkatkan lapangan kerja demi menjaga momentum pertumbuhan ekonomi.
Mirza Adityaswara Analis Perbankan dan Pasar Modal
Monday, April 7, 2008
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment