Tuesday, April 8, 2008

Mewaspadai Ketidakadilan Harga Beras


Selasa, 8 April 2008 | 00:51 WIB

Gatot Irianto

Predikat sebagai komoditas strategis dan politik yang disandang beras tampaknya justru menjadikan komoditas ini sarat intervensi yang lebih banyak madarot-nya dibandingkan manfaatnya. Begitu banyaknya intervensi ekonomi dan politik pemerintah melalui Departemen Perdagangan dan Bulog ditambah lagi intervensi swasta melalui tengkulak menyebabkan petani selalu mengalami ketidakadilan harga saat panen raya.

Petani yang sebagian besar miskin ”terpaksa dan dipaksa” menerima ”harga senyatanya dan bukan harga yang seharusnya” (harga pokok pembelian pemerintah/HPP). Ironisnya lagi, mengapa hanya beras saja yang diperlakukan tak adil, sementara harga kedelai dan minyak goreng lebih mudah disesuaikan?

Mengapa disparitas harga beras dalam dan luar negeri yang mencapai Rp 1.800 tidak bisa dinikmati petani? Bahkan, sebaliknya, harga gabah kering panen petani hanya dihargai Rp 1.700. Logika ekonomi dan matematika mana yang dapat menjelaskan ketidakadilan tersebut?

Ekspor gelap dan ”distrust”

Ada dua implikasi konkret yang perlu diwaspadai berkaitan dengan ketidakadilan harga beras petani: (i) terjadinya ekspor gelap dan (ii) melunturnya kepercayaan petani (distrust) terhadap program, aparat, dan citra Departemen Pertanian. Pemerintah tampaknya ”sedikit terlambat” merespons naiknya harga beras dunia dibandingkan para pedagang. Disparitas harga beras dalam dan luar negeri dimanfaatkan pedagang di daerah perbatasan untuk melakukan ”ekspor gelap” yang benefitnya tak dinikmati petani.

Fenomena ekspor gelap ini sangat berbahaya karena akan menyedot cadangan beras dan mengacaukan harga beras, bahkan stabilitas politik dalam negeri. Jika kekacauan iklim akibat perubahan iklim yang dialami produsen pangan dunia, Amerika, China, Vietnam, Eropa, dan Australia, terus berlanjut, bahkan terjadi juga di Indonesia, lonjakan harga pangan dunia sulit dielakkan. Peningkatan kewaspadaan nasional terhadap gejolak pangan harus ditumbuhkan dan dipersiapkan dari tingkat keluarga, sekarang juga.

Untuk meraih manfaat maksimal dari melonjaknya pangan dunia, pemerintah secepatnya perlu melakukan ”ekspor beras terbatas” untuk memperoleh devisa dan mengatrol harga dalam negeri. Selain mencegah terjadinya permanent distrust, juga dapat memacu pencapaian program swasembada gula 2009. Jagung, daging, dan kedelai pada 2010.

Indikasi terjadinya distrust mulai terlihat ketika petani diminta meningkatkan produksi kedelai. Pertanyaan pertama yang mengemuka adalah bagaimana jaminan harganya dan siapa yang membeli produksinya? Pertanyaan itu sampai saat ini belum bisa dijawab karena beras yang ada HPP-nya saja tidak bisa dipenuhi, apalagi kedelai yang dibebaskan.

Stimulan dan insentif

Melambungnya harga beras dalam negeri merupakan ”stimulan tidak berbiaya ekonomi” bagi pemerintah dan ”insentif tak terduga” bagi petani untuk menggenjot produksi dalam negeri dan pendapatan petani. Rencana pemerintah mengekspor beras telah mengubah secara fundamental ”citra dan posisi Indonesia” dari negara pengimpor beras terbesar menjadi negara eksportir beras. Selain membanggakan bagi bangsa Indonesia, meraih kembali swasembada beras yang sempat lepas merupakan pembuktian eksistensi predikat negara agraris.

Pesimisme berbagai kalangan akan terjadinya kelangkaan pangan dijawab dengan produksi dalam negeri yang melimpah melalui kerja sama semua pihak. Ledakan produksi lebih dahsyat semestinya terjadi jika tidak ada bencana banjir awal tahun, dan apabila itu terjadi, Indonesia menjadi eksportir beras dunia.

Momentum ini harus direbut untuk mendongkrak pendapatan sehingga petani dapat melakukan perbaikan infrastruktur irigasi yang selama ini sebagian terbengkalai akibat keterbatasan pendanaan pemerintah. Harga beras yang atraktif mendorong semua pihak mengusahakan padi sehingga dengan pasokan air yang terbatas, akan terjadi peningkatan efisiensi pemberian air irigasi secara alamiah secara signifikan. Kemungkinan pengenaan iuran pemakaian air yang selama ini tidak berjalan juga dapat diimplementasikan kembali.

Mengapa peluang yang demikian besar belum dimanfaatkan pengambil kebijakan untuk menyejahterakan petani hanya demi menekan terjadinya inflasi? Bukankah inflasi yang produktif dengan efek penguatan yang positif dan luas sampai batas tertentu sangat direkomendasikan? Keputusan pemerintah merupakan suatu pilihan, tetapi akan lebih bijak kalau kebijakan dapat dilakukan untuk mengakhiri ketidakadilan terhadap yang lemah, jumlahnya banyak dan selama ini sudah lama menderita, yaitu petani.

Gatot Irianto Pengajar Analisis Sistem Hidrologi Sekolah Pascasarjana IPB

No comments: