Cyrillus Harinowo
Beberapa hari belakangan ini perekonomian Indonesia menampakkan anomali pergerakan nilai rupiah. Ketika nilai mata uang di seluruh dunia mengalami penguatan terhadap dollar AS, nilai rupiah justru terpuruk. Apa yang salah dalam perekonomian kita?
Dewasa ini perkembangan perekonomian global diwarnai melemahnya nilai tukar mata uang dollar AS dan kenaikan harga minyak yang tampaknya tak kunjung henti. Nilai dollar AS menunjukkan keterpurukan tinggi terhadap euro, yen, poundsterling, bahkan seakan sebuah tamparan, nilai mata uang dollar Kanada sudah melampaui nilai dollar AS.
Perkembangan itu sebetulnya sudah bisa diprediksi beberapa tahun lalu. Bahkan, pada tahun 2004, saya menulis artikel di majalah Tempo berjudul "Membaca Tanda-tanda Zaman", intinya memprediksi akan melemahnya nilai tukar mata uang dollar AS terhadap euro karena kelemahan struktural perekonomian AS yang mengalami defisit ganda.
Defisit neraca pembayaran AS sebetulnya sudah berlangsung lama, tetapi defisit APBN baru berlangsung sejak zaman Presiden Bush Jr, yang pada hakikatnya merupakan pembalikan dari keadaan surplus yang dialami Presiden Clinton. Meski demikian, perekonomian AS tampaknya masih mujur beberapa waktu lalu sehingga mampu bertahan dengan nilai tukar dollar AS yang cukup kuat.
Memburuknya perekonomian AS terjadi setelah dipicu krisis perbankan yang berbentuk kegagalan utang KPR yang bermasalah (subprime mortgage). Keadaan ini menyebabkan terjadinya perubahan sentimen pelaku pasar terhadap perekonomian AS. Melemahnya dollar AS beberapa hari ini menyerupai prediksi yang saya buat tiga tahun lalu.
Dasar perekonomian Indonesia
Jika perkembangan ekonomi AS seperti itu, bagaimana dasar perekonomian Indonesia?
Dasar perekonomian Indonesia justru mendapat momentum baru dengan keluarnya angka PDB kuartal III tahun 2007. Pertumbuhan ekonomi yang semula diprediksi lebih lemah dibanding kuartal II ternyata menunjukkan kenaikan yang amat membesarkan hati, yaitu sebesar 6,5 persen. Berdasarkan harga yang berlaku, PDB tahun 2007 hingga kuartal III bahkan sudah mencapai sekitar Rp 2.901 triliun sehingga Ketua BPS optimistis PDB tahun 2007 bukan tidak mungkin akan mencapai Rp 4.000 triliun.
Pencapaian angka PDB sebesar itu jelas merupakan prestasi besar. PDB 2007 mencapai 420 miliar dollar AS hingga sekitar 440 miliar dollar AS, jauh melampaui prediksi majalah Economist akhir tahun lalu (The World in 2007) yang menempatkan Indonesia pada posisi PDB sebesar 396 miliar dollar AS dan menduduki urutan 21 dunia. Posisi ini persis di bawah Taiwan yang diperkirakan akan memperoleh PDB sekitar 396 miliar dollar AS pada tahun 2007.
Dengan pencapaian pada tiga kuartal pertama itu, bukan tidak mungkin Indonesia akan menduduki perekonomian dunia ke-20 menggantikan Taiwan pada tahun 2007. Bahkan, jika tidak ada aral melintang, perekonomian Indonesia mampu melampaui perekonomian Swiss pada tahun 2008.
Membaiknya perekonomian itu terutama didorong dua motor besar, yaitu perekonomian yang berbasis sumber daya alam (termasuk perkebunan) sebagaimana Kanada dan Australia serta perekonomian yang berbasis jumlah penduduk yang besar sebagaimana halnya China dan India. Kedua hal itu mampu memacu perkembangan ekonomi Indonesia karena membaiknya harga komoditas hampir di segala sektor dan meningkatnya daya beli 220 juta penduduk Indonesia.
Mengapa rupiah melemah
Mengapa anomali itu terjadi? Ini terjadi karena perkembangan nilai tukar rupiah ditentukan oleh permintaan dan penawaran mata uang dollar AS di pasar valuta asing Indonesia. Kenaikan harga minyak dunia menyebabkan penerimaan dollar AS oleh pemerintah dari kontraktor minyak mengalami peningkatan tajam. Kenaikan penerimaan devisa ini diterima langsung Bank Indonesia. Sementara itu, dugaan saya, Pertamina harus membeli minyak impor (yang umumnya dibeli di pasar spot) dengan membeli devisa di pasar bebas. Keadaan ini menyebabkan naiknya permintaan terhadap dollar AS, sementara kenaikan penawarannya lebih terbatas.
Jika hal ini benar, keadaan mirip situasi tahun 2005. Permintaan yang besar dari Pertamina akhirnya membuat pasar valuta asing megap-megap sehingga mendorong terjadinya pelemahan nilai rupiah. Pelemahan nilai rupiah akan menimbulkan permintaan baru dari para spekulan maupun mereka yang ketakutan akan melemahnya nilai rupiah sehingga buru-buru membelinya. Inilah yang akhirnya dapat menimbulkan panic buying.
Solusi apa yang bisa ditempuh? Bank Indonesia memiliki cadangan devisa yang besar. Bahkan neraca pembayaran secara keseluruhan pun mengalami surplus besar. Sementara itu, ekspor minyak sawit, batu bara, dan komoditas lain memberi tambahan surplus kepada neraca pembayaran Indonesia. Karena itu, Bank Indonesia tidak perlu khawatir untuk mengalihkan pembelian dollar oleh Pertamina langsung ke Bank Indonesia untuk menjaga keseimbangan pasar itu. Bahkan, jika diperlukan, minimal pada awal operasinya, Bank Indonesia dapat membalikkan situasi dengan melakukan intervensi beli dollar AS dalam jumlah kecil, tetapi dapat memberi dampak psikologis yang besar.
Jika diagnosis itu benar, langkah itu diyakini akan dapat memperkuat kembali kedudukan nilai rupiah dan akan menghapus anomali yang ada.
No comments:
Post a Comment