Jakarta, ANTARA - Pengamat perbankan dari Institute for Development Economics and Finance atau Indef, Aviliani, mengatakan, rencana Bank Indonesia untuk menyesuaikan kewajiban Giro Wajib Minimum atau GWM dengan jangka waktu simpanan untuk mengurangi risiko mismatch akan kurang efektif seandainya sektor riil tidak mampu menyerap luberan dana di perbankan.
"Harus diingat, saat ini terjadi over likuiditas pada perbankan karena terbatasnya kemampuan sektor riil menyerap dana perbankan. Insentif seperti itu malah bisa kontraproduktif bagi perbankan karena simpanan di bank akan berjangka waktu panjang, yang berarti biaya lebih besar, sementara tidak ada yang menyerap dana tersebut," kata Aviliani di Jakarta, Senin.
Dia mengingatkan, insentif positif dari BI itu sebenarnya juga akan bergantung pada nasabah untuk mengubah jangka waktu simpanannya dari 1 atau 3 bulan selama ini, menjadi 6, atau 9, atau 12, atau bahkan 24 bulan.
"Yang juga penting adalah sosialisasi dari perbankan kepada nasabah," ujarnya.
Menurut Aviliani, jika bank ingin merespons kebijakan dari BI itu, perbankan juga dapat memberi insentif kepada nasabah dengan memberikan bunga simpanan yang lebih besar untuk simpanan dalam jangka panjang daripada sebelumnya.
"Tapi ujung-ujungnya, ya, kalau tidak bisa diserap sektor riil, percuma saja dana semakin besar di perbankan. Nanti malah disimpan di Sertifikat Bank Indonesia (SBI) saja," katanya.
Sebelumnya Direktur Direktorat Riset dan Kebijakan Moneter BI Made Sukada mengatakan, pihaknya sedang menyiapkan kebijakan baru yang mengatur kewajiban GWM perbankan berdasarkan jangka waktu Dana Pihak Ketiga (DPK) yang ada di bank-bank.
Selama ini, BI menerapkan aturan GWM dasar adalah 5 persen dari DPK, yang kemudian diubah pada 2005 dengan mempertimbangkan rasio kredit terhadap simpanan (loan to deposit ratio/LDR) dengan tujuan mendorong penyaluran kredit.
Sementara itu, dalam rapat kerja dengan Komisi XI (bidang keuangan dan perbankan) DPR, Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Miranda S Goeltom mengatakan, pertumbuhan ekonomi pada tahun ini diperkirakan 6,2 persen.
"Pertumbuhan itu didorong oleh meningkatnya konsumsi serta ekspor," ujarnya. Menurut Miranda, pihaknya memperkirakan pada triwulan III pertumbuhan ekonomi 6,3 persen dan triwulan IV sebesar 6,4 persen.
Sementara itu, nilai tukar rupiah pada Oktober 2007 secara rata-rata menguat 2,2 persen dibandingkan September atau rata-rata Rp 9.101 per dollar AS.
Fundamental ekonomi
Penguatan rupiah itu, kata Miranda, karena kuatnya faktor fundamental ekonomi dan kecenderungan penguatan mata uang global terhadap dollar AS.
"Ini mendorong kenaikan indeks harga saham gabungan (IHSG) pada level tertinggi pada Oktober 2007 karena dipicu oleh arus modal masuk," katanya.
Pada Akhir Oktober 2007, cadangan devisa Indonesia tercatat 54,2 miliar dolar AS. Adapun inflasi pada Oktober sebesar 6,88 persen atau lebih rendah dibandingkan September (6,95 persen) karena menurunnya inflasi pada kelompok makanan yang bergejolak sehubungan dengan berlalunya pola musiman Idul Fitri.
"Sampai akhir tahun 2007, inflasi diperkirakan masih berada pada kisaran 6 plus minus 1 persen," kata Miranda Goeltom.
(ant/gun)
No comments:
Post a Comment