Monday, November 26, 2007

Minyak dan Kemiskinan


Suhardi Suryadi


Ketika harga minyak mencapai 100 dollar AS per barrel, negara-negara Teluk akan kerepotan membelanjakan uangnya meski sudah diinvestasikan untuk berbagai megaproyek di bidang infrastruktur dan ekonomi.

Dengan tingkat ekspor 11,890 juta barrel per hari, Arab Saudi, Kuwait, Emirat, dan Qatar akan mendulang pendapatan 1,189 miliar dollar per hari. Situasi agak paradoks dengan Indonesia.

Bagi Indonesia yang mengekspor 300.000 dan impor 250.000 barrel per hari, kenaikan harga minyak itu nyaris tak berarti apa-apa. Bahkan hal ini bisa menjadi malapetaka bagi 39 juta warga miskin karena berdampak pada kenaikan harga BBM dan kebutuhan pokok serta biaya transportasi

Sebenarnya kenaikan harga minyak dunia yang tak mengubah situasi kemiskinan bukan monopoli Indonesia. Kecuali kawasan Teluk, hampir semua negara berkembang yang tergabung dalam OPEC dihadapkan pada masalah kemiskinan serius. Laporan UNDP tentang Human Development Index (HDI) Tahun 2005 menunjukkan, posisi sebagian besar negara penghasil minyak ada pada urutan tengah dan bawah.

Nigeria, misalnya, dari minyak diperoleh 340 miliar dollar AS per tahun, tetapi HDI-nya pada posisi paling bawah. Bahkan 70 persen warganya rata-rata berpendapatan 1 dollar AS per hari, infrastruktur pendidikan dan kesehatan (terutama di desa) tidak memadai (IFAD, 2007). Juga di Angola. Meski 90 persen pendapatan negara dari minyak sebesar 15 miliar dollar AS per tahun, sekitar 2/3 penduduknya tidak memiliki akses air bersih.

Kekayaan semu

Di depan pemimpin Irak, 17 Maret 2003, Presiden George W Bush mengatakan, "Semua militer dan personel sipil Irak seharusnya berhati-hati, dalam setiap konflik, nasib rakyat amat ditentukan oleh tindakan yang diambil. Jangan menyerang sumur-sumur minyak yang menjadi sumber kekayaan rakyat Irak."

Apa yang disampaikan Presiden Bush bisa berbeda jika melihat fakta. Sebagai negara yang memiliki kekayaan minyak terbesar kedua, cadangan minyak Irak mencapai 112 miliar barrel. Menurut Christian Aid (2005), pendapatan ekspor minyak Irak 100 juta dollar AS per hari. Meski dalam situasi perang dengan Iran, posisi HDI Irak pada urutan 50.

Namun, sejak Perang Teluk dan invasi AS, posisi HDI Irak merosot ke peringkat 126. Bahkan tercatat 19 persen penduduknya tidak memperoleh air bersih dan 48 persen buta huruf. Kekayaan minyak di bumi Irak ternyata menambah keterpurukan penduduknya ke lembah kemiskinan dan perpecahan di masyarakat. Keadaan Irak justru menguatkan studi Bank Dunia dan IMF yang mengindikasikan, negara berkembang yang menggantungkan pendapatannya pada minyak dihadapkan pada masalah kemiskinan akut, korupsi luar biasa, perselisihan antarwarga sipil, dan pemerintahan yang diktator.

Pernyataan Juan P Alfonso, mantan Menteri Perminyakan Venezuela, mungkin lebih tepat.

Dalam pidatonya di OPEC tahun 1970 Alfonso mengatakan, "10 atau 20 tahun dari sekarang, kita akan melihat minyak membawa kejatuhan. Minyak seperti barang kotor atau terbuang." Sinyalemen ini yang mendasari pemerintahan Hugo Sanchez melakukan nasionalisasi kegiatan pengelolaan minyaknya agar kekayaan yang ada tidak bersifat semu, tetapi bermanfaat menyejahterakan negara dan warganya.

Sementara itu, Nigeria lebih memilih kebijakan keterbukaan dalam pengelolaan pendapatan hasil migas melalui pencatatan sistem aliran dana dari migas oleh semua lembaga pemerintah yang terkait pengolahan migas bersama komite independen, sehingga penerimaan negara yang diperoleh dari industri migas menjadi lebih besar 2,2 miliar dollar AS per tahun (EITI, 2005).

Politik migas

Kecemasan terhadap kemiskinan yang timbul dari eksploitasi sektor migas mendorong Bank Dunia me-review keberadaan industri ekstraktif. Dalam laporan review yang dipimpin Prof Emil Salim (2003) dinyatakan, Bank Dunia gagal mendorong industri ekstraktif untuk berkontribusi terhadap pengurangan kemiskinan. Untuk itu, dibutuhkan berbagai perubahan kebijakan, institusi dan kegiatan yang menciptakan operasi industri ekstraktif yang prokelompok miskin dan selaras prinsip pembangunan berkelanjutan. Salah satunya adalah perbaikan governance dalam pengelolaan industri ekstratif yang mendorong partisipasi masyarakat sipil, transparansi dalam penerimaan perusahaan (keuntungan) dan mekanisme yang menjamin persetujuan tanpa paksaan dari masyarakat adat/lokal yang terkena dampak industri ekstraktif.

Bagi Indonesia yang sudah memasuki situasi krisis energi, tidak cukup dengan perbaikan tata kelola di bidang migas. Dibutuhkan kejelasan politik energi nasional. Misalnya, mengkaji kembali kontrak-kontrak migas, peninjauan masalah cost recovery, hak bagi hasil, hingga kewajiban kontraktor menjual minyak mentah ke dalam negeri. Tanpa ini, dikhawatirkan kita akan terjerembab dalam krisis energi dan kemiskinan yang lebih parah.

Suhardi Suryadi Direktur LP3ES

No comments: