Thursday, November 29, 2007

Dampak Kurs


Pembayaran Utang Melonjak Rp 7,2 Triliun



Jakarta, Kompas - Pembayaran utang luar negeri pada tahun 2007 diperkirakan akan melonjak Rp 7,2 triliun dibandingkan dengan perkiraan awal dalam APBN Perubahan atau APBN-P 2007. Hal itu disebabkan terjadinya kenaikan asumsi nilai tukar rupiah dari prediksi awal di APBN-P 2007 sebesar Rp 9.050 per dollar AS menjadi Rp 9.125 per dollar AS.

"Penyebabnya adalah perubahan kurs," ujar Direktur Jenderal Pengelolaan Utang Departemen Keuangan Rahmat Waluyanto di Jakarta, Rabu (28/11).

Dalam APBN-P 2007 ditetapkan target pembiayaan luar negeri neto sebesar minus Rp 12,54 triliun. Artinya, pemerintah membayar utang luar negeri lebih besar dibandingkan dengan penyerapan pinjaman baru.

Pembayaran cicilan pokok utang luar negeri mencapai Rp 54,75 triliun, sedangkan pinjaman yang ditarik Rp 42,21 triliun.

Dalam paparan sembilan langkah pengamanan APBN 2008 pada 27 November 2007, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyebutkan, akan ada kenaikan pembiayaan luar negeri neto dari Rp 12,45 triliun diperkirakan menjadi Rp 19,7 triliun pada akhir tahun.

Rahmat menegaskan, Indonesia tetap berpegang pada prinsip-prinsip internasional tentang pembayaran utang. "Kami menaati konvensi internasional. Kalau meminjam 10 dollar AS, harus membayar dengan jumlah yang sama," katanya.

Kepala Ekonom BNI A Tony Prasetiantono menegaskan, pembengkakan pembayaran utang itu disebabkan Depkeu salah memprediksi nilai tukar.

Bank Indonesia (BI) tidak mampu melindungi nilai tukar, terutama saat terjadi anomali, yakni rupiah seharusnya menguat karena dollar AS melemah.

"Ke depan, Depkeu dan BI harus memperkuat koordinasi sehingga prediksi Depkeu lebih akurat dan didukung kemampuan BI untuk mengawal prediksi tersebut agar benar-benar terealisasi," saran Tony.

Koordinator Koalisi Antiutang Kusfialdi mengatakan, pembengkakan pembayaran utang yang disebabkan perubahan nilai tukar merupakan alasan klasik yang kerap diungkapkan pemerintah. Padahal, hal itu merupakan ketidakprofesionalan pemerintah dalam mengelola dan mengintegrasikan antara kebijakan fiskal dan moneter.

"Sudah saatnya Indonesia berhenti membayar utang lama yang membuat rakyat jelata semakin menderita," katanya.

Per 31 Oktober 2007, total utang pemerintah setara Rp 1.382,9 triliun di posisi nilai tukar Rp 9.315 per dollar AS. Itu terdiri atas pinjaman luar negeri 60,94 miliar dollar AS dan surat utang negara senilai 87,52 miliar dollar AS.

Departemen Keuangan memperkirakan defisit APBN-P 2007 membengkak dari Rp 58,3 triliun menjadi Rp 76,4 triliun akibat kenaikan asumsi harga minyak dari 60 dollar AS per barrel menjadi 72,59 dollar AS per barrel sepanjang tahun ini.

Namun, pemerintah menetapkan berbagai langkah pengamanan untuk mengembalikan defisit lebih rendah dari target APBN-P 2007, yakni dari 1,5 persen terhadap produk domestik bruto (PDB) menjadi 1,3 persen PDB.

Langkah-langkah itu adalah menaikkan penerimaan perpajakan sekitar Rp 6,1 triliun di atas target APBN-P 2007 sebesar Rp 492 triliun. Kemudian meningkatkan Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) Rp 24,3 triliun di atas target APBN-P 2007, senilai Rp 198,3 triliun.

Sebelumnya, pemerintah menyiapkan sembilan langkah pengamanan APBN 2008, antara lain penyiapan dana cadangan Rp 6 triliun, efisiensi belanja barang hingga mencapai Rp 11,7 triliun, pemotongan belanja kementerian lembaga Rp 10 triliun dari kegiatan yang tidak prioritas, meningkatkan penerimaan pajak Rp 14 triliun, dan membayar dana bagi hasil migas Rp 13,9 triliun dengan obligasi.

Kredibilitas rendah

Pengamat kebijakan publik Econit, Hendri Saparini, mengatakan, kesembilan langkah pemerintah itu menunjukkan kredibilitas prediksi pemerintah rendah. Itu menandakan ketidakmampuan pemerintah dalam menyelesaikan substansi permasalahan.

Dalam kebijakan bahan bakar minyak, tidak pernah ada upaya menghapus peran mencari rente yang mengakibatkan tingginya harga impor. Adapun kebijakan menaikkan penerimaan pajak merupakan kebijakan yang populis.

"Pembayaran dana bagi hasil migas dengan obligasi hanya menambah utang pemerintah. Mengapa tidak ada upaya memaksa kreditor utang luar negeri berbagai beban? Tidak ada upaya penghapusan utang dalam APBN atau sekadar memperkecil cicilan utang di APBN," demikian Hendri Saparini. (OIN)

No comments: