Monday, November 19, 2007

BI Siapkan Aturan Baru Giro Wajib Minimum


Meningkatnya Likuiditas Akan Menambah Beban BI

Jimbaran, Kompas - Bank Indonesia akan segera menerbitkan aturan baru soal tambahan giro wajib minimum atau GWM. Aturan GWM tersebut akan dikaitkan dengan masa jatuh tempo dana pihak ketiga atau DPK. Semakin besar porsi DPK yang berjangka panjang, persentase pengenaan GWM semakin kecil.

"Saat ini kami masih mempersiapkannya. Salah satunya yang sedang disiapkan adalah teknologi informasi dan desain pelaporan bank terkait maturity DPK sehingga kami bisa mengetahui secara persis porsinya," jelas Direktur Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter Bank Indonesia Made Sukada di Jimbaran, Bali, akhir pekan lalu.

Menurut Made, pihaknya belum mempunyai perhitungan final pengenaan GWM yang dikaitkan dengan maturity DPK. "Kami masih terus mengkajinya," tambah Made.

DPK yang bersifat jangka panjang adalah deposito dengan jangka waktu tiga bulan ke atas. GWM merupakan instrumen moneter BI untuk menyerap likuiditas yang berlebih di pasar dalam rangka menjaga inflasi.

Cara ini tergolong murah dibandingkan penyerapan likuiditas melalui operasi pasar terbuka dengan Sertifikat Bank Indonesia (SBI). Sifatnya juga lebih permanen.

GWM pada dasarnya merupakan beban bagi bank. Sebab, imbal hasil yang diterima bank jauh lebih kecil dibandingkan bila ditempatkan di instrumen lain, misalnya Surat Utang Negara (SUN) atau SBI. Ini membuat biaya dana menjadi relatif lebih mahal.

Peraturan GWM yang baru ini akan menjadi aturan GWM yang ketiga. Yang pertama adalah GWM dasar sebesar lima persen dari DPK. GWM ini tidak dikaitkan apa pun.

Peraturan GWM yang kedua ialah GWM bersifat insentif dan disinsentif yang dikaitkan dengan rasio kredit terhadap dana pihak ketiga (LDR).

Semakin tinggi LDR, persentase pengenaan GWM akan semakin kecil. Selain untuk menyerap likuiditas, sekaligus juga untuk mendorong bank lebih ekspansif menyalurkan kredit.

Adapun aturan GWM yang baru bertujuan mendorong bank memiliki dana jangka panjang yang lebih banyak agar risiko mismatch dengan jatuh tempo kredit bisa dikurangi.

Risiko likuiditas

Saat ini, risiko likuiditas akibat mismatch sangat besar. Sebagian besar kredit memiliki masa jatuh tempo di atas satu tahun, sementara hampir 80 persen dana yang dihimpun bank bersifat jangka pendek, yakni di tabungan, giro, dan deposito satu bulan.

Jika dana yang jangka pendek tersebut secara kebetulan ditarik bersama-sama, maka bank dipastikan tidak akan bisa mencairkan mengingat dananya masih dipakai sebagai kredit.

Secara terpisah, ekonom Bank Rakyat Indonesia (BRI) Djoko Retnadi mengatakan, risiko ekses likuiditas semakin besar seiring makin derasnya aliran dana asing yang masuk ke Indonesia.

Hal itu terjadi karena perbedaan selisih bunga antara BI Rate dan The Fed Fund Rate makin lebar, mencapai 350 basis poin. Laju peningkatan likuiditas dipastikan akan lebih cepat dari penyerapan kredit karena sektor riil belum bergerak optimal.

Kondisi ini secara tidak langsung dilatarbelakangi situasi yang makin tidak menentu akibat lonjakan harga minyak dan instabilitas pasar keuangan dunia.

Meningkatnya likuiditas di pasar jelas akan menambah beban BI. Agar inflasi tetap terjaga, BI harus menyerap likuiditas, salah satunya melalui SBI. Ini berarti SBI akan membengkak yang pada akhirnya akan menambah biaya bunga.

Tahun ini saja, BI harus membayar bunga SBI sekitar Rp 20 triliun. Made Sukada mengatakan, dalam jangka panjang, SBI akan digantikan dengan Surat Perbendaharaan Negara (SPN). (FAJ)

No comments: