Monday, November 19, 2007

Pertumbuhan Ekonomi Tidak Mencapai Target



Lapangan Kerja Semakin Sempit

Jakarta, Kompas - Pertumbuhan ekonomi diperkirakan hanya akan mencapai level 6,2 persen. Ini lebih rendah ketimbang target pemerintah dalam APBN Perubahan 2007 sebesar 6,3 persen. Akibatnya, lapangan kerja baru yang tercipta hanya menyerap 2 juta tenaga kerja. Padahal, jumlah angkatan kerja baru 2,1 juta orang.

Tidak tercapainya target pertumbuhan ekonomi 6,3 persen disebabkan perkiraan realisasi pertumbuhan investasi, sebagai salah satu pendorong pertumbuhan ekonomi, tidak dapat mencapai angka 10 persen.

"Pertumbuhan investasi di bawah harapan, yaitu 12,3 persen. Dengan target itu, pemerintah berharap dapat mencapai pertumbuhan 6,3 persen," ujar Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam rapat kerja dengan anggota Panitia Ad Hoc II dan IV Dewan Perwakilan Daerah di Jakarta, Selasa (13/11).

Menurut Sri Mulyani, untuk mencapai pertumbuhan 6,2 persen itu pun diperlukan kerja keras pada triwulan IV-2007. Pada triwulan IV perekonomian harus tumbuh 6,4-6,6 persen.

"Pendukung pertumbuhan yang menunjukkan sokongan positif antara lain ekspor yang tumbuh di atas 8 persen pada triwulan III, diperkirakan begitu juga pada triwulan IV. Konsumsi rumah tangga di atas 5 persen. Ini konsisten dengan inflasi yang terjaga pada 6,4-6,5 persen," katanya.

Menurut Kepala Ekonom BNI A Tony Prasetiantono, pertumbuhan ekonomi yang hanya mencapai level 6,2 persen akan mempersempit penciptaan lapangan kerja baru.

Ia menjelaskan, lapangan kerja baru yang tercipta hanya mampu menyerap 2 juta tenaga kerja, padahal jumlah angkatan kerja baru diperkirakan mencapai 2,1 juta orang. Berarti, ada 100.000 angkatan kerja baru yang tak tertampung. "Jumlah itu menjadi tambahan penganggur baru," katanya.

Di sisi lain, kata Tony, pertumbuhan ekonomi yang tidak berkualitas akan membuat daya serap terhadap tenaga kerja bisa lebih rendah. Alasannya, pertumbuhan itu hanya terkonsentrasi di sektor yang tidak riil, terutama sektor keuangan. Misalnya, industri perbankan kini menggunakan teknologi mutakhir, menggantikan teknologi lama.

Teknologi itu mampu menggantikan fungsi manusia, seperti layanan perbankan melalui internet, pesan singkat melalui telepon seluler, atau anjungan tunai mandiri (ATM).

"Teknologi itu lebih efisien, menggantikan fungsi kantor cabang dan karyawan. Sementara investasi di sektor lain tak kunjung datang, terutama di sektor infrastruktur," ujar Tony.

Saat ini setidaknya ada 12 proyek infrastruktur yang pelaksanaannya terhambat karena masalah pembebasan tanah. Proyek itu adalah Jalan Tol Cikampek-Palimanan, Kanci-Pejagan, Pejagan-Pemalang, PemalangBatang, Batang-Semarang, Semarang-Solo, Solo-Ngawi, NgawiKertosono, Kertosono-Mojokerto, dan Mojokerto-Surabaya. Demikian juga dengan pembangunan Waduk Jatigede, Sumedang, dan Waduk Karian, Banten (Kompas 8/11).

Sektor-sektor yang diharapkan mampu menyerap tenaga kerja dalam jumlah banyak, seperti pertanian dan manufaktur, menunjukkan gejala belum pulih dari keterpurukannya.

Data Departemen Keuangan menunjukkan, sektor pertanian diperkirakan hanya tumbuh 2-3 persen. Manufaktur tumbuh 5-7 persen pada akhir tahun 2007.

Rata-rata PHK

Data Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Depnakertrans) menyebutkan, jumlah kasus pemutusan hubungan kerja (PHK) turun dari 5.110 kasus tahun 2006 menjadi 63 kasus pada tahun 2007. Jumlah tenaga kerja yang di-PHK sebanyak 37.937 orang pada tahun 2006, dan 22.120 orang tahun 2007.

Meski dari jumlah kasus menurun, jumlah korban PHK selama 2007 per kasus meningkat. Jika tahun sebelumnya per kasus hanya menyangkut rata-rata tujuh orang, kini 351 orang per kasus.

"Jumlah kasus PHK sampai Agustus 2007 turun 98,7 persen dibandingkan 2006. Namun, ada kenaikan jumlah rata-rata korban PHK dalam setiap kasus," kata Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja Depnakertrans Myra Maria Hanartani.

Data tersebut menunjukkan, jumlah pekerja yang kehilangan pekerjaan secara bersama-sama dan dalam waktu yang sama meningkat tajam.

Menanggapi kondisi itu, Myra menyarankan agar perundingan bipartit dan negosiasi lebih diutamakan untuk mencari solusi. Mogok adalah upaya terakhir.

Ia mengatakan, banyak kasus PHK dan perselisihan industri pada perusahaan berskala nasional dan internasional dapat dihindari kalau pekerja dan pengusaha berdialog di tingkat bipartit.

"Mogok harus menjadi upaya terakhir karena bisa mengganggu kinerja perusahaan dan menurunkan produktivitas," kata Myra. (OIN/HAM)

No comments: