Monday, November 19, 2007

Investasi di Tengah Ketidakpastian


Andi Suruji

Situasi dan kondisi pasar tidak menentu. Naik turun, berfluktuasi, tidak keruan. Pemilik modal kerap kebingungan menempatkan dananya supaya memperoleh imbal hasil yang memadai. Maksud hati mendapatkan imbal hasil, bisa-bisa malah buntung jika tak cermat mengatur alokasi dana investasi.

Topik utama pembicaraan di mana-mana saat ini adalah kenaikan harga minyak dan komoditas lain, nilai tukar mata uang bergerak liar, suku bunga yang cenderung turun, tekanan inflasi yang makin berat, harga saham dan surat berharga lainnya gonjang-ganjing. Semua itu menandakan situasi dan kondisi yang tak pasti.

Bagaimana mengatur alokasi portofolio investasi di tengah ketidakpastian? Inilah pertanyaan yang banyak diajukan masyarakat pemilik dana berlebih.

Pemilik modal boleh dikata memasuki masa ketidakpastian. Betapa tidak, setiap hari kita membaca laporan harga minyak mentah yang terus-menerus melonjak meskipun sesekali turun tajam seketika. Sekilas banyak orang tidak hirau dengan berita tersebut. Padahal, langsung atau tidak, kondisi itu sangat bisa memengaruhi kehidupan kita.

Harga minyak yang tinggi akan memengaruhi kondisi perusahaan pemakai minyak, secara langsung atau tidak. Kalau mereka tertekan harga minyak, berarti ada potensi biaya operasional yang tinggi. Supaya tidak rugi, atau tetap dapat memperoleh keuntungan demi kelangsungan usaha, maka langkah pertama bagi perusahaan adalah melakukan efisiensi biaya. Jika tidak bisa lagi menekan biaya lain-lain di luar biaya konsumsi minyak, maka boleh jadi sasaran berikut adalah menaikkan harga jual produk.

Jika seluruh perusahaan di semua sektor kegiatan produksi melakukan hal semacam itu, jelaslah inflasi melonjak pula, ditandai dengan kenaikan harga-harga barang dan jasa yang dibutuhkan masyarakat. Artinya, dalam kondisi itulah masyarakat alias konsumen terkena dampak kenaikan harga minyak mentah di pasar internasional tersebut.

Kenaikan harga-harga secara umum itulah disebut inflasi. Sering kali inflasi hanya dilihat dari kenaikan harga. Padahal di sisi lain, inflasi menurunkan daya beli masyarakat, sebab untuk mendapatkan barang kebutuhan, harga yang harus dibayar mesti lebih mahal dari sebelumnya. Inflasi juga secara tidak langsung memotong nilai aset, termasuk uang yang kita miliki.

Dengan demikian, inflasi itu sebenarnya merupakan kanker dalam perekonomian. Ia menggerogoti daya tahan dan kesehatan suatu perekonomian. Perekonomian yang dimaksud di sini termasuk rumah tangga kita. Itulah mengapa bank-bank sentral sangat peduli pada inflasi.

Dalam kondisi seperti diceritakan tadi, tentu saja masyarakat pemilik dana harus berupaya agar kenaikan harga, inflasi, itu bisa ditutupi. Muncul pertanyaan, bagaimana menutupinya kalau pendapatan kita tetap saja, tidak naik-naik. Kalaupun naik, hanya sekali setahun. Syukur kalau kenaikan pendapatan kita naik melebihi tingkat inflasi.

Katakanlah kita memiliki tabungan atau dana lebih yang disimpan di bank. Coba kita hitung berapa besar bunga bank yang diperoleh dana tersebut?

Saat ini, rata-rata suku bunga yang diberikan bank untuk tabungan nasabah berkisar 2-4 persen per tahun. Deposito berjangka lebih tinggi sedikit, sekitar 6,5-7 persen per tahun.

Hasilnya (pendapatan bunga) dipotong pajak 20 persen, terus berbagai macam biaya dikenakan bank karena kita melakukan berbagai transaksi menggunakan fasilitas yang disediakan bank. Artinya, penghasilan dana tersebut semakin tipis. Lalu bandingkan dengan tingkat inflasi. Jangan sampai, tanpa disadari penabung sebenarnya sudah "bekerja" untuk bank.

Lalu mengapa masih menempatkan terus semua dana tadi di bank, tidak mencoba menempatkannya sebagian di keranjang investasi lain? Pertanyaan berikutnya, pada instrumen mana?

Dulu banyak orang yang menempatkan uangnya di keranjang investasi lain dengan membeli dollar AS. Secara sadar atau tidak, langkah itu merupakan upaya lindung nilai, mengamankan nilai aset di masa depan. Jangan sampai pada saat dibutuhkan, harga dollar AS sudah lebih semakin tinggi.

Ketika saat ini, misalnya, kurs dollar AS terhadap rupiah menguat, jelas tujuan tadi sudah tepat. Lalu apakah kalau rupiah menguat terhadap dollar AS yang bersangkutan merugi? Tidak juga. Setidaknya, kalau membutuhkan dollar AS, dia sudah tidak perlu risau karena sudah memiliki dollar AS.

Namun, jika kita melihat nilai dollar AS terhadap mata uang tunggal Eropa, euro, terus terpuruk belakangan ini dan mencetak rekor setiap saat, tentu timbul pertanyaan mengapa dulu tidak menempatkan dana itu pada euro. Dengan menempatkan pada euro, jelas keuntungan berlipat-lipat karena euro terus mencetak rekor kursnya, pekan lalu sempat mencapai 1,47 dollar AS per satu euro.

Contoh lain investasi saham. Orang yang menempatkan dananya dengan membeli saham yang tercatat di bursa efek pada awal tahun misalnya, secara umum boleh dikata sudah mengantongi potensi keuntungan yang cukup besar. Itu kalau diukur dari kenaikan indeks harga saham gabungan BEJ yang telah mencapai sekitar 43 persen sejak awal tahun.

Tentu saja tidak persis demikian. Indeks harga saham gabungan, atau dipersempit dengan indikator indeks Kompas100 yang memuat hanya 100 saham unggulan, tentu hanya gambaran secara umum. Lebih detail lagi, hasilnya bisa lain. Itu karena portofolio atau sekumpulan saham yang dimiliki seseorang investor tidak semua sama dengan komponen indeks tersebut. Oleh karenanya, kinerja portofolio investor bisa saja lebih tinggi, atau sebaliknya lebih rendah dibandingkan kinerja kedua indeks tadi.

Alternatif lain

Begitu banyak orang, pemilik dana, yang hanya menumpuk dananya di bank, dengan menikmati suku bunga rendah. Padahal, ada potensi peningkatan nilai aset yang jauh lebih tinggi, tetapi belum dimanfaatkan.

Pasar modal misalnya. Di sini masyarakat bisa berinvestasi dengan potensi imbal hasil yang tinggi. Tentu saja risikonya ada, sebab investasi, khususnya saham dan surat berharga lainnya seperti obligasi, tak luput dari macam-macam risiko. Ada risiko pasar, risiko penurunan nilai aset, dan sebagainya.

Persoalannya, banyak orang yang tidak tahu atau enggan masuk bursa untuk bermain saham atau membeli obligasi. Mereka menganggap investasi saham, obligasi, berisiko tinggi. Padahal, semua risiko bisa diminimalisasi. Caranya, beli reksa dana yang dikelola oleh manajer investasi yang memiliki personel yang telah memiliki izin dari regulator.

Reksa dana merupakan alternatif "keranjang" untuk menaruh uang di tengah situasi dan kondisi yang penuh dengan ketidakpastian pasar seperti saat ini. Terutama bagi mereka yang hanya punya sedikit informasi dan pengetahuan tentang investasi surat berharga. Apalagi kalau tidak memiliki cukup waktu untuk mencermati pergerakan saham, informasi emiten, indikator makro-ekonomi, yang berkembang setiap saat dan memengaruhi emiten yang sahamnya dipegang oleh investor.

Dengan membeli unit penyertaan reksa dana, investor bisa lebih tenang karena tidak perlu setiap saat memelototi harga-harga saham, obligasi, dan kurs mata uang. Manajer investasilah yang bekerja untuk mengatur portofolio reksa dana tersebut. Investor tinggal melihat hasil pengelolaan atau perkembangan investasinya setiap hari di surat kabar.

Ada banyak jenis reksa dana yang bisa dipilih investor. Ada reksa dana saham, reksa dana pendapatan tetap, reksa dana pasar uang, serta reksa dana campuran.

Belakangan ada pula reksa dana terproteksi. Bahkan, yang lebih canggih lagi berupa Exchange Traded Fund yang sebentar lagi meluncur ke pasar modal. Masing-masing memiliki potensi keuntungan yang jauh lebih tinggi dari sekadar menyimpan dana di bank.

Investor tinggal menyesuaikan karakteristik reksa dana tadi dengan profil riko yang bisa ditanggungnya. Pesan bagi investor, ada potensi keuntungan, pasti ada pula risiko.

No comments: