Perang Interpretasi Undang-undang
Putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha atau KPPU mengenai dugaan monopoli Temasek Holdings di PT Tekomsel dan PT Indosat ternyata masih terus memunculkan polemik sampai sekarang.
Jika diamati, polemik itu tak jauh dari interpretasi beberapa hal yang menjadi dasar keputusan KPPU untuk menyatakan Temasek dan anak- anak perusahaannya bersalah dan dikenai sanksi denda.
Interpretasi itu pula, menurut beberapa pengamat, yang kemungkinan bisa menjadi sandungan bagi KPPU jika Temasek memutuskan membawa masalah ini ke arbitrase internasional.
Pengamat pasar modal Lin Che Wei, misalnya, menyebut contoh soal perbedaan interpretasi mengenai kepemilikan saham mayoritas atau saham pengendali, kepemilikan silang, price fixing/price leadership (penetapan/pengaturan harga), dan keuntungan yang dinilai eksesif.
Undang-Undang (UU) Nomor 5 Tahun 1999, menurut dia, tidak melarang adanya kepemilikan silang. Yang dilarang adalah kepemilikan saham secara mayoritas pada beberapa perusahaan sejenis. "Kepemilikan mayoritas yang disebutkan dalam Pasal 27 UU itu juga kepemilikan ekuitas, bukan pangsa pasar, tidak seperti dimaksudkan KPPU," ujarnya.
Dalam kasus Temasek di Telkomsel dan Indosat, menurut dia, PT Indosat sebagai perusahaan terbuka (listed) harus tunduk pada aturan Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam), sementara PT Telkomsel yang bukan perusahaan listed diatur oleh UU Perseroan Terbatas.
Mengenai dugaan penetapan harga atau kepemimpinan dalam menetapkan harga, Che Wei juga mengatakan, pihak Temasek bisa berkelit, pemerintah selama ini yang menetapkan batas atas tarif dan bukan operator. Che Wei sendiri menyarankan, untuk melindungi konsumen, pemerintah menurunkan ketentuan batas maksimal tarif yang dipatok untuk tarif jasa layanan seluler selama ini.
Yurisdiksi KPPU
Temasek sendiri dalam pembelaannya menyatakan, pihaknya melalui anak perusahaannya tidak memiliki kendali terhadap Telkomsel dan Indosat, menganggap KPPU tidak memiliki yurisdiksi untuk memeriksa para terlapor. Alasannya, karena Temasek dan beberapa anak perusahaan yang menjadi terlapor didirikan berdasarkan hukum di Singapura dan berkedudukan di Singapura serta tidak melakukan kegiatan usaha di Indonesia.
Salah satu anak perusahaan, ICL, bahkan merupakan badan yang didirikan berdasarkan hukum Mauritius dan berkedudukan di Mauritius.
KPPU membantah Temasek tidak memiliki kendali terhadap Telkomsel dan Indosat melalui anak-anak perusahaannya. Faktanya, Temasek melalui SingTel Mobile memiliki 35 persen saham Telkomsel dan representasi dalam manajemen Telkomsel.
Posisi ini memungkinkan pemilik saham tersebut melaksanakan hak veto untuk beberapa keputusan pemegang saham yang strategis yang memerlukan persetujuan tiga perempat pemegang saham. Selain itu, ada keterlibatan aktif pemegang saham dalam Komite Capex Telkomsel serta kemampuan SingTel Mobile memperoleh akses informasi rahasia di Telkomsel.
Kepemilikan saham bertingkat dari Temasek terhadap anak-anak perusahaannya juga diikuti dengan kewenangan mengangkat direksi di setiap tingkatan.
"Banyak jabatan diisi oleh orang yang sama sehingga memudahkan dalam implementasi kebijakan yang telah ditetapkan oleh induk perusahaan," kata Ketua Umum KPPU Muhamad Iqbal.
Soal yurisdiksi KPPU untuk memeriksa Temasek dan anak-anak perusahaan yang tidak berkedudukan atau tidak didirikan berdasarkan hukum di Indonesia, KPPU menunjuk pengukuhan Mahkamah Agung RI pada beberapa putusan KPPU sebelumnya yang menegaskan bahwa ketentuan UU No 5/1999 juga berlaku pada pelaku usaha yang didirikan atau berdomisili di luar wilayah Indonesia, selama mereka melakukan kegiatan usaha di wilayah RI dan apa yang dilakukannya memiliki dampak di dalam wilayah hukum Indonesia.
Contohnya adalah pengukuhan MA atas keputusan KPPU yang menghukum Frontline Ltd, perusahaan yang didirikan berdasarkan hukum Bermuda, berkedudukan di Norwegia, dan berkantor pusat manajemen keuangan di New York (AS).
Penerapan yurisdiksi esktrateritorial dalam hukum persaingan, menurut Iqbal, bukan hanya dilakukan oleh Indonesia, tetapi juga berbagai negara lain yang memiliki hukum persaingan, termasuk Amerika Serikat dan Uni Eropa.
Mengenai penolakan Temasek disebut sebagai pemegang saham mayoritas, baik di Indosat maupun Telkomsel karena kepemilikan yang kurang dari 50 persen, KPPU berpendapat penafsiran saham mayoritas dalam Pasal 27 UU No 5/1999 harus diartikan sebagai kendali.
Di samping memiliki saham dalam jumlah signifikan, Temasek juga memiliki kemampuan mengendalikan Telkomsel dan Indosat berdasarkan kenyataan berikut: di Telkomsel, SingTel Mobile memiliki hak atas dua posisi direktur dan dua posisi komisaris.
Sementara di Indosat, ICL berhak atas delapan dari sembilan posisi direktur dan komisaris di PT Indosat, sedangkan Pemerintah RI sebagai pemegang saham seri A sendiri hanya memiliki hak atas satu posisi direksi dan komisaris.
Dan posisi yang dipegang orang yang dinominasikan anak perusahaan Temasek selama ini selalu posisi-posisi kunci yang sangat menentukan pengambilan keputusan di perusahaan. Di Telkomsel, posisi direktur niaga dan direktur operasi selalu dipegang oleh SingTel Mobile sejak 2002. Sementara di Indosat, posisi yang selalu dipegang orang ICL adalah wakil direktur utama dan direktur keuangan.
Strategis
Selama ini, dalam pengambilan kebijakan-kebijakan perusahaan yang bersifat strategis, harus ada persetujuan dari tiga perempat pemegang saham. Berdasarkan UU PT, pemegang saham yang menguasai lebih dari 25 persen saham bisa memveto keputusan-keputusan itu.
"Faktanya, SingTel memiliki 35 persen di Telkomsel dan ICL 40,77 persen di Indosat sehingga sangat menentukan tercapai tidaknya persetujuan tiga perempat persen pemegang saham tadi," ujar Iqbal.
Mengenai tudingan penetapan atau pengaturan harga, KPPU melihat dominasi akibat struktur terkonsentrasi dan kepemilikan silang membuat Temasek bisa menerapkan tarif ritel jasa layanan seluler yang berindikasi antipersaingan.
Ini terlihat dari pola pergerakan harga Telkomsel, Indosat, dan XL, serta pola perubahan harga antara Telkomsel dan Indosat yang paralel dan relatif minim fluktuasi, atau tak mengikuti fluktuasi komponen pembentuk biaya (biaya produksi).
Keseragaman tarif atau pola tarif yang sama memang tak selalu mengindikasikan adanya price-fixing, namun KPPU melihatnya sebagai fenomena price fixing yang merupakan salah satu indikasi tidak adanya persaingan harga yang seharusnya dilakukan pesaing.
Adanya pertumbuhan jumlah pelanggan yang sangat pesat, menurut KPPU, seharusnya meningkatkan skala ekonomi masing-masing operator dan bisa menekan biaya rata-rata dan harga jasa seluler secara signifikan. Tetapi, ternyata ini tak terjadi. Tak adanya persaingan dan adanya price leadership ditunjukkan oleh pergerakan harga Indosat dan XL mengikuti Telkomsel. Sebaliknya Telkomsel tak menunjukkan reaksi atas penurunan harga yang dilakukan oleh pesaing (Indosat dan XL).
Dominasi dan kepemilikan silang juga membuat operator ini bisa seenaknya menetapkan harga. Data Direktorat Jenderal Pos dan Telekomunikasi menunjukkan, penetapan harga oleh Telkomsel dan Indosat yang terlalu tinggi sehingga operator menikmati keuntungan eksesif dengan merugikan konsumen.
Masuknya asing, dalam hal ini Temasek, tak membuat konsumen bisa menikmati harga yang kompetitif. Tarif seluler di Indonesia jauh lebih tinggi dibandingkan beberapa negara lain. Tarif yang diterapkan itu jauh di atas biaya interkoneksinya.
Tingginya tingkat keuntungan yang dinikmati operator itu tercermin pada angka Ebitda Margin (keuntungan setelah pajak, bunga, depresiasi, dan amortisasi) yang mencapai rata-rata 72,09 persen (tertinggi di antara 52 negara di dunia, hanya kalah sedikit dari Filipina) selama kurun 2001-2006 pada Telkomsel.
Untuk Indosat 56,7 persen dan XL 59,72 persen. Berdasarkan perhitungan ini, KPPU menghitung adanya potensi untuk bisa diturunkannya tarif. (sri hartati samhadi)
1 comment:
Perusahaan Asing Berebutan Pangsa Pasar Seluler di Indonesia
Konon beredar kabar bahwa issue monopoli TEMASEK HOLDING terhadap dua perusahaan seluler raksasa Indonesia (baca: TELKOMSEL dan INDOSAT), mulai tercetus dan disebarluaskan pertama kali oleh pihak Malaysia secara diam-diam.
Dahulu Malaysia hendak mencaplok TELKOMSEL dan/atau INDOSAT, namun mereka ternyata kalah cepat dari Singapura. Akhirnya, Malaysia “hanya kebagian jatah” mencaplok EXELCOMINDO PRATAMA (XL), dan menjadikan XL sebagai salah satu anak buah perusahaan mereka; a TM company (TM = Telecom Malaysia).
Dengan semakin kuatnya issue monopoli TEMASEK ini, mereka mengharapkan agar setidak-tidaknya pihak TEMASEK harus rela melepaskan saham-sahamnya dari TELKOMSEL atau INDOSAT. Kemungkinan saham-saham yang akan dilepas tersebut kemudian dibeli, baik secara langsung maupun secara tidak langsung, oleh pihak Malaysia (selain di bawah bendera TM tentunya) adalah cukup besar.
Mengingat bahwa pemerintahan Malaysia dan kroni-kroninya, sedang gencar-gencarnya giat melakukan aksi “Malingsia” (baca: Malingin Indonesia) terhadap Indonesia semenjak beberapa tahun silam. Dari mulai Ambalat, Sipadan-Ligitan, Batik, Angklung, Tempe, Lagu Rasa Sayange, hingga Tari Reog Ponorogo yang beritanya kini sedang hangat-hangatnya.
Mereka pun berhasrat ingin mendominasi/menguasai pangsa pasar seluler kita (bukan selular = celana dalam, versi bahasa Malaysia). Kalian masih tidak percaya? Biarlah waktu yang akan membuktikannya!
Mari Kita Ganyang Malaysia!!!
MERDEKA!!!
See also:
http://www.temasekholdings.com.sg/media_centre.htm
http://www.temasekholdings.com.sg/pdf/1.%20Background%20summary.pdf
Post a Comment