Friday, November 23, 2007

Indonesia Tidak Mandiri


Ketergantungan Impor Komoditas Pertanian Semakin Kuat

Jakarta, Kompas - Indonesia tumbuh sebagai bangsa yang kurang percaya diri dan mandiri di sektor pertanian. Sebagian besar produk pangan untuk kebutuhan warganya dipenuhi dari impor. Padahal, dengan mengandalkan lahan tropis yang sangat luas, bangsa ini seharusnya mampu memenuhi kebutuhan pangan dari hasil kerja petaninya.

Demikian disampaikan mantan Ketua Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) Siswono Yudo Husodo dalam Kongres Ilmu Pengetahuan Nasional IX, yang diselenggarakan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Kamis (22/11) di Jakarta.

Menurut Siswono, tekad bangsa Indonesia menjadi bangsa yang mandiri di bidang pangan merosot. Pemerintah dan masyarakat tampil menjadi pribadi yang tidak lagi memiliki kepercayaan diri di bidang pangan.

Kesulitan memenuhi kebutuhan pangan selalu diatasi dengan kebijakan impor. Devisa terkuras untuk memenuhi kebutuhan pangan yang sebenarnya bisa dipenuhi dari produksi petani.

Kebijakan revitalisasi pertanian memang sudah digulirkan pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono. Namun, kebijakan politik itu tidak diimplementasikan dengan sungguh-sungguh. Padahal, masyarakat membutuhkan kekuatan kebijakan pemerintah.

Akibat dari tidak adanya perencanaan matang di sektor pertanian, Indonesia kini mengimpor 30 persen kebutuhan gula nasional, 25 persen kebutuhan daging sapi, dan 50 persen atau sekitar 1 juta ton garam.

Selain itu, Indonesia juga harus mengimpor 45 persen dari kebutuhan kedelai nasional, 10 persen kebutuhan jagung, 15 persen kacang tanah, dan 70 persen susu. Bawang putih pun harus diimpor. Sementara itu, impor beras mencapai 1,2 juta ton.

Kebijakan mengutamakan impor telah membuat petani semakin miskin. Sebab, insentif dari impor dinikmati oleh petani dari negara pengekspor.

Jumlah petani gurem dengan kepemilikan lahan kurang dari 0,5 hektar per keluarga bertambah, yaitu dari 10,9 juta KK (berdasar sensus pertanian 1993) menjadi 13,7 juta (2003).

Jumlah orang miskin di Indonesia periode 1998-2006 juga relatif tinggi, yaitu 34 juta-50 juta jiwa. Sebagian besar rakyat miskin itu berada di pedesaan, yang notabene mereka adalah petani dengan sumber pendapatan utama keluarga dari pertanian.

Keunggulan komparatif

Menurut Siswono, untuk membangun kembali pertanian Indonesia, optimisme masyarakat, khususnya petani, harus dibangkitkan.

Kebijakan fiskal juga harus propertanian. "Sekarang ini tidak. Dari 440 kabupaten yang saya teliti, tidak satu pun pemerintah daerah yang mengalokasikan dana APBD lebih dari 5 persen untuk membangun pertanian," ujar Siswono.

Pemerintah daerah, lanjut Siswono, lebih senang membangun jalan kota dan gedung pemerintahan. "Pemerintah pusat tidak bisa berbuat apa-apa," katanya.

Di bidang moneter, nilai tukar terus ditekan sehingga produk pertanian menjadi mahal dan berdampak pada inflasi. Sementara itu di sisi lain, dengan harga komoditas yang meningkat, petani akan diuntungkan sehingga kehidupan mereka menjadi lebih baik.

Menurut Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Pertanian Achmad Suryana, untuk membangun kembali sektor pertanian diperlukan dukungan penuh pemerintah. Infrastruktur seperti jalan desa, jalan usaha tani, listrik, dan air bersih harus dikembangkan. Selain itu, keberanian pemerintah memproteksi pertanian domestik juga diperlukan. Negara maju seperti AS dan Uni Eropa juga memproteksi petaninya. (MAS)

No comments: