Monday, December 10, 2007

ANALISIS EKONOMI



Konversi Premium Itu Muslihat Baru

FAISAL BASRI


Laju inflasi di negara-negara tetangga dekat pada umumnya di bawah 3 persen. Bahkan, di Singapura hanya di bawah 2 persen.

Thailand dan Filipina, yang tingkat perekonomiannya paling dekat dengan Indonesia, juga tak mengalami persoalan kenaikan harga-harga seheboh di Indonesia. Padahal, kedua negara ini, sebagaimana seluruh negara di dunia, tak terbebas dari pengaruh negatif dari kenaikan harga minyak dunia.

Perlu dicatat bahwa hampir semua negara tetangga bukan negara produsen dan pengekspor migas seperti Indonesia. Selain itu, negeri-negeri tetangga tak direpotkan oleh urusan tetek bengek anggaran negara, misalnya dengan kerap mengubah besaran-besaran penerimaan dan pengeluaran karena perubahan-perubahan asumsi harga minyak. Mereka tak mau "disandera" oleh perkembangan harga minyak.

Harga minyak tak melonjak naik serta-merta. Perkembangan harga minyak mentah dunia, yang sempat mendekati 100 dollar AS per barrel, berlangsung berbulan-bulan.

Ada kalanya turun seperti yang terjadi beberapa minggu terakhir. Sekarang bertengger di kisaran 88 dollar AS per barrel.

Masyarakat dunia, di negara kaya ataupun miskin, telah makin terbiasa dengan perubahan dinamika pasar. Mereka bukan cuma berpangku tangan atau pasrah menerima keadaan.

Namun, pemerintah dan rakyatnya berupaya keras memupuk kemampuan untuk menghadapi turbulensi yang berasal dari faktor-faktor eksternal, seperti kenaikan harga minyak.

Sementara itu, bagi kita, apa pun yang terjadi, serba salah. Harga minyak turun, kita repot karena menyebabkan penerimaan negara anjlok. Sebaliknya, kalau harga minyak menjulang, kita lebih repot lagi karena defisit anggaran meroket.

Inilah ironi dari negeri yang gagal mengelola dan memanfaatkan kekayaan sumber daya alamnya bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat. Kekayaan migas kita telah menjelma jadi kutukan.

Tiga faktor

Kutukan dipicu oleh tiga faktor. Pertama, kita tergolong negara paling boros dalam mengonsumsi energi. Data dari BP Statistical Review of World Energy dan IMF menunjukkan, intensitas energi (jumlah penggunaan energi untuk menghasilkan satu unit output) Indonesia paling tinggi dibandingkan dengan negara-negara tetangga, 4 kali lebih tinggi dibandingkan dengan Jepang, dan 2,5 kali lipat dari negara-negara Organisasi Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD). Publikasi terakhir Bank Dunia (November 2007) juga menunjukkan pola yang serupa.

Kedua, produksi minyak mentah mengalami akselerasi penurunan karena faktor regulasi ataupun regulator yang lemah, sementara penganekaragaman sumber energi berlangsung sangat lambat.

Ketiga, kita sudah sangat lama tidak menambah kapasitas pengilangan minyak sehingga defisit perdagangan minyak menggelembung dengan sangat cepat.

Kita sangat berharap rencana pemerintah untuk mengurangi subsidi BBM tidak semata-mata dipicu oleh masalah anggaran. Pemerintah harus memulai langkah dalam kerangka yang menyeluruh dalam upaya memperkokoh ketahanan energi nasional dan kedaulatan energi bangsa.

Program konversi (bensin) premium tampaknya bukan langkah awal yang bijak. Niscaya akan muncul banyak dampak negatif dan ketakpastian. Pelaksanaan program ini terkesan terburu-buru, akan segera diterapkan mulai 1 Januari 2008.

Pertamina menyatakan siap. Tentu saja sangat mudah untuk menyiapkan pompa-pompa bensin di Jabodetabek yang tak lagi memasok premium oktan 88 dan digantikan dengan premium oktan 90. Sangat mudah pula untuk menghasilkan premium beroktan berapa saja karena proses produksinya hanya berbeda dalam hal penambahan jenis zat campuran.

Sudahkah dibayangkan di kawasan luar Jabodetabek akan segera mengalami kelangkaan karena diserbu oleh para pengguna kendaraan bermotor dari Jabodetabek yang notabene bukan semua orang kaya. Karena, orang kaya banyak yang sudah lama mengonsumsi pertamax atau sejenisnya.

Pasar gelap

Terbayangkankah para sopir angkutan kota akan lebih sibuk mengisi penuh kendaraannya lalu menjual kembali ke "pasar gelap" ketimbang mencari penumpang?

Niscaya dengan berbisnis premium bersubsidi, penghasilan mereka akan lebih besar ketimbang mengangkut penumpang. Semakin besar perbedaan harga premium oktan 88 dengan premium oktan 90, semakin besar pula insentif untuk berbuat menyimpang.

Kalau pemerintah menerapkan pembatasan bagi angkutan umum, mekanismenya akan sangat rumit dan tetap berpotensi besar disalahgunakan.

Mencari nafkah yang kian sulit dengan penghasilan yang tak mampu berpacu dengan kenaikan harga membuat insentif untuk berbuat "curang" semakin tinggi.

Akankah kita biarkan suatu kebijakan menambah kerusakan sikap mental dan perilaku masyarakat? Janganlah pemerintah secara sadar menambah pasokan potensi korupsi.

Bagaimana dengan solar? Sampai kapan subsidi untuk solar tetap dipertahankan dan pada tingkat subsidi berapa? Kepastian arah kebijakan subsidi harus jelas agar dunia industri dan masyarakat bisa mengantisipasi dengan lebih cermat dan arif.

Katakanlah, akibat subsidi solar tetap dipertahankan, para produsen otomotif bereaksi dengan menambah porsi produksi mobil yang berbahan bakar solar. Tapi, di tengah jalan, tiba-tiba pemerintah mengubah kebijakan yang membuat harga solar dan premium oktan 90 hampir sama mengingat ongkos produksi kedua jenis BBM ini hampir tak berbeda. Akhirnya, pengusaha kecele dan masyarakat kembali, untuk kesekian kali, merasa "dibohongi".

Cara yang paling sedikit menimbulkan dampak negatif ialah dengan menggunakan mekanisme penyesuaian harga yang tidak bersifat kamuflase seperti kebijakan konversi premium.

Tentu saja penyesuaian harga tidak dilakukan dengan mendadak seperti tahun 2005, melainkan dengan cara bertahap, katakanlah dimulai dengan kenaikan 10 persen.

Jika harga minyak dunia sedang mengalami penurunan, kenaikan harga bisa dikurangi. Bahkan, jika turun tajam, harga BBM di dalam negeri bisa diturunkan.

Semua ini bergantung pada kerangka waktu yang ditetapkan oleh pemerintah. Misalnya, pemerintah menargetkan dalam dua tahun ke depan, subsidi akan diturunkan sampai jumlah tertentu (tidak dihapus sama sekali) sehingga APBN kita bertambah sehat.

Dilengkapi dengan 9 langkah pengamanan yang telah disiapkan pemerintah, setelah dimodifikasi dan dipertajam prioritasnya, kita yakin masih memiliki kekuatan untuk mengoreksi diri sehingga berada di jalur yang benar.

Kendala utama untuk mewujudkan kebijakan yang rasional sangat bersifat psikologis dan politis karena Presiden dan Wakil Presiden sudah telanjur berulang kali berjanji tak akan menaikkan harga BBM hingga 2009. Kalau Presiden bertekad sungguh-sungguh untuk cuci piring, kini saatnya untuk membuktikan dengan perbuatan nyata, tak hanya retorika.

No comments: