Monday, December 17, 2007

Pemerintah Belum Berlari dengan Kecepatan Penuh


Orin Basuki


Ibarat pasien, pemerintah belum terbebas dari terpaan penyakit kronisnya, yakni lambat menyerap anggaran yang sudah dialokasikan dalam APBN. Per 31 Oktober 2007 atau sepuluh bulan sejak Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran dibagikan kepada pengguna anggaran, realisasi belanja negara yang terserap baru Rp 506,6 triliun atau 67,3 persen dari pagu APBN Perubahan 2007.

Itu artinya, ada dana Rp 246,15 triliun yang harus dicairkan sekaligus dalam waktu dua bulan agar semua anggaran belanja termanfaatkan 100 persen. Baguskah belanja dalam jumlah besar secara sekaligus? Hal itu banyak mudaratnya dibandingkan dengan manfaatnya.

Seperti yang diingatkan anggota Komisi XI DPR Dradjad H Wibowo, pencairan anggaran dalam jumlah besar pada akhir tahun akan mendorong laju inflasi karena tingginya jumlah uang beredar. Dari sisi pelaksanaan proyek, akan terjadi degradasi kualitas.

Jadi jangan kaget jika ada pembangunan jalan yang setahun kemudian rusak atau jembatan yang tiba-tiba ambruk hanya dalam waktu kurang dari setahun. Kemudian pelaksana proyek meminta anggaran perbaikan jalan dan jembatan itu-itu lagi.

"Kondisi tersebut disebabkan pembangunan proyek yang asal-asalan karena mengejar waktu untuk menghabiskan dana sebelum tahun anggaran berakhir. Semakin mepet pencairan dananya akan semakin rendah kualitas pengerjaan proyeknya," ujar Dradjad.

Bahkan ada rumor di Departemen Keuangan bahwa setiap memasuki akhir tahun, banyak proyek yang tidak bermutu terpaksa dikerjakan untuk menghabiskan anggaran. Contohnya, pohon-pohon palem pun dicat dengan warna putih pada bagian bawah batangnya.

Dampak keterlambatan penyerapan anggaran pun terjadi di daerah. Hingga akhir November 2007, masih ada dana alokasi khusus sekitar Rp 6,99 triliun (DAK) yang belum diambil penerimanya. Padahal, pemberian DAK hanya dikhususkan bagi daerah tertentu yang lulus seleksi Departemen Keuangan. Namun, itu pun masih tak terserap.

Daerah diberi waktu hingga 14 Desember 2007 untuk mencairkannya, kalau tidak, dana itu hangus. Batas ini ditetapkan karena Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan adanya DAK tahun 2006 yang disimpan di rekening pribadi pejabat daerah.

Untuk mendorong investasi di sektor swasta, pada awal 2007 pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2007 tentang Fasilitas Pajak Penghasilan untuk Penanaman Modal di Bidang-bidang Usaha Tertentu dan/atau di Daerah-daerah Tertentu. Namun, stimulus ini pun tidak segera disambut hangat calon investor untuk serta-merta menanamkan modalnya di Indonesia.

Baru pada 27 November 2007, Direktorat Jenderal Pajak mengumumkan, ada 52 perusahaan yang tertarik menggunakan fasilitas PPh tersebut. Itu berarti dampak investasi baru akan terasa setidaknya akhir 2008.

Rendahnya realisasi anggaran belanja pemerintah menyebabkan total pembentukan modal atau investasi sebagai salah satu pendorong pertumbuhan ekonomi pada 2007 berkurang. Jika pertumbuhan ekonomi tahun ini turun hingga 0,1 persen saja, dampak langsungnya adalah pada kemampuan penyerapan tenaga kerja.

Itu berarti, sedikitnya 200.000 peluang kerja gagal tercipta. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, pada triwulan III 2007, sumbangan konsumsi pemerintah terhadap pertumbuhan ekonomi menempati urutan terendah, yakni 0,5 persen. Itu artinya, kontribusi pemerintah masih jauh lebih rendah dibandingkan dengan sumbangan sektor konsumsi masyarakat, ekspor, dan investasi swasta dalam membentuk produk domestik bruto (PDB).

Di bawah target

Departemen Keuangan mencatat pertumbuhan investasi pada 2007 berada di level 8 persen, atau di bawah target yang diinginkan, yakni 12,3 persen. Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Muhammad Lutfi menyimpulkan, rendahnya belanja pemerintah merupakan penyebab utama munculnya angka pertumbuhan investasi yang rendah itu.

Swasta tidak bisa disalahkan karena realisasi investasinya pada periode Januari-Oktober 2007 untuk penanaman modal asing (PMA) dan penanaman modal dalam negeri (PMDN) tumbuh hampir dua kali lipat dibandingkan dengan tahun 2006. "Jadi yang lambat itu dan masih ketinggalan di belakang adalah belanja pemerintah. Realisasi belanja pemerintah itu angka pertumbuhannya tidak bisa di atas 12 persen," katanya.

Pemerintah berupaya menekan kecenderungan melemahnya investasi publik ini dengan menghapus berbagai penghambat, antara lain menghapus ketakutan pengelola anggaran di kementerian dan lembaga nondepartemen dalam menjalankan programnya. Caranya adalah meminta pihak kejaksaan dan kepolisian untuk menunda pemeriksaan atas tender proyek yang mencurigakan.

Untuk pemerintah daerah, Departemen Keuangan menetapkan target penyelesaian APBD 2008 sebelum 30 November 2007 agar penggunaan anggaran lebih cepat. Daerah yang mampu menyelesaikan APBD sebelum batas waktu itu akan mendapatkan penghargaan finansial berupa penambahan dana perimbangan.

Namun, daerah yang baru menyelesaikan APBD 2008 setelah Januari 2008 akan mendapatkan sanksi berat berupa penundaan pembayaran Dana Alokasi Umum sebesar 25 persen dari jatahnya.

Pukulan dari dunia

Kemampuan pemerintah mengelola anggaran mendapat ujian berat lain pada akhir tahun. Tiba-tiba harga minyak mentah di pasar dunia melonjak mendekati 100 dollar AS per barrel akibat gejolak keamanan di perbatasan Turki-Irak dan peningkatan permintaan akibat musim dingin. Kondisi ini memang menambah penerimaan minyak, tetapi ongkos yang harus ditanggung pun membengkak, terutama akibat lonjakan subsidi bahan bakar.

Kenaikan beban subsidi itu terjadi karena harga rata-rata minyak mentah Indonesia (ICP) hingga akhir tahun diperkirakan melonjak dari 60 dollar AS per barrel menjadi 72,59 dollar AS per barrel. Selain itu, target produksi minyak yang siap jual atau lifting diperkirakan melorot dari target APBN Perubahan (APBN-P) 2007 sebesar 950.000 barrel per hari menjadi hanya 910.000 barrel per hari.

Selain itu, hampir semua parameter yang menjadi basis perhitungan subsidi BBM berubah, antara lain konsumsi BBM bersubsidi meningkat dari 36 juta kiloliter (KL) menjadi 38,2 juta KL, lalu konsumsi BBM oleh PT Perusahaan Listrik Negara melonjak dari 8,8 juta KL menjadi 9,5 juta KL.

Selain itu, jumlah konversi minyak tanah ke elpiji jauh di bawah angka yang diharapkan dari target 319.043 KL, terealisasi hanya 20.638 KL. Akibat perubahan parameter itu, secara umum, pengeluaran migas membengkak Rp 36,7 triliun.

Penerimaan migas hanya meningkat Rp 30,3 triliun. Itu artinya semua kekisruhan yang disebabkan oleh kenaikan harga minyak telah menyebabkan dampak negatif terhadap APBN 2007 sebesar Rp 6,4 triliun.

Kondisi itu memaksa pemerintah berhitung ulang atas semua asumsi perekonomian makro dalam APBN-P 2007. Kenaikan minyak diperkirakan akan mendorong laju inflasi dari asumsi awal 6 persen menjadi 6,4 persen-6,5 persen. Adapun nilai tukar akan melemah di posisi Rp 9.125 per dollar AS. Keseluruhan tekanan tersebut diperkirakan akan menurunkan pertumbuhan ekonomi dari target awal 6,3 persen ke 6,2 persen.

Kini, andalan satu-satunya untuk mempertahankan pertumbuhan ekonomi adalah ekspor. Sektor ini diharapkan menjadi andalan karena harga komoditas ekspor utama Indonesia sedang tinggi di pasar dunia, antara lain minyak kepala sawit, karet, batu bara, dan minyak mentah.

Atas dasar itu, pengamat ekonomi dari Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (LPEM FEUI) Muhammad Chatib Basri mengingatkan, kondisi yang perlu menjadi perhatian serius adalah potensi pertumbuhan dunia yang menurun pada tahun depan. Itu disebabkan pertumbuhan dunia yang melemah bisa menurunkan permintaan ekspor Indonesia.

No comments: