Monday, December 31, 2007

Infrastruktur


Enam Ruas Tol Bisa Atasi Kemacetan?

"Pembangunan enam ruas jalan tol dalam kota di Jakarta adalah upaya kontraproduktif dalam pembangunan transportasi kota. Rencana itu disodorkan sebagai cara mudah menyelesaikan persoalan kemacetan," kata Tubagus Haryo Karbyanto, anggota Dewan Transportasi Kota Jakarta.

Enam ruas tol dalam kota itu adalah Kemayoran- Kampung Melayu (9,646 kilometer), Duri Pulo-Tomang- Kampung Melayu (11,38 km), Rawa Buaya-Sunter (22,8 km), Sunter-Pulo Gebang (10,8 km), Pasar Minggu-Casablanca (9,55 km), dan Ulujami-Tanah Abang (8,26 km).

Nilai total proyek diperkirakan Rp 23 triliun, berkonstruksi layang. Tentu saja karena nilai proyek dihitung tahun 2006, maka bila dibangun tahun 2009, biaya dapat membengkak hingga 30 persen menjadi Rp 30 triliun.

Bahkan, bisa lebih mahal lagi karena harga baja, misalnya, terus merangkak naik dipicu lonjakan harga minyak mentah dunia.

Titik terang pembangunan enam ruas tol makin terlihat setelah Departemen Pekerjaan Umum menyetujui pembangunan enam ruas tol dalam kota Jakarta. Pembangunan tol dalam kota tersebut, dalam versi Departemen PU, diharapkan bisa mengurai kemacetan di Jakarta.

"Awalnya, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta meminta pelaksana proyek ditunjuk langsung, tetapi hal itu bertentangan dengan Peraturan Presiden Nomor 67 Tahun 2005 tentang Kerja Sama Pemerintah dengan Badan Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur," kata Menteri PU Djoko Kirmanto.

Djoko mengajukan tiga cara mencari kontraktor pembangun enam ruas tol itu. Pertama, penunjukan langsung. Kedua, tender dengan preferensi kepada Pemprov DKI Jakarta sebagai inisiator proyek.

Ketiga, tender biasa dengan catatan pemenang tender harus bekerja sama dengan Pemprov DKI Jakarta. "Saya telah menyarankan Menko Perekonomian Boediono selaku Ketua Komite Kebijakan Percepatan Penyediaan Infrastruktur (KKPPI) untuk memilih opsi ketiga, dengan alasan agar pembebasan lahan dapat cepat dikerjakan Pemprov DKI Jakarta," ujar Djoko.

Penghancuran tol

Menurut Tubagus Haryo Karbiyanto, yang lama berkiprah di Divisi Perkotaan dan Masyarakat Urban Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, mengurangi kemacetan perkotaan dengan membangun ruas jalan baru maupun tol merupakan paradigma usang.

"Pemerintah sama sekali tidak belajar dari kesalahan di negara lain, yang telah lebih dahulu membangun tol dalam kota. Setelah menyadari kesalahannya, mereka menghancurkan tol-tol dalam kota. Sedangkan kita malah berniat membangunnya," ujar Tubagus Haryo.

Penghancuran tol dalam kota dilakukan Wali Kota Seoul Myung Bak Lee di Korea Selatan serta dua kota di Amerika Serikat, yakni San Fransisco dan Boston.

Keberadaan jalan tol dalam kota diakhiri karena memicu peningkatan arus kendaraan pribadi sehingga penghancuran merupakan solusi terampuh untuk mengakhirinya.

Tahun 2006, Seoul pun dianugerahi Sustainable Transport Award sebab berhasil merestorasi kota dengan meruntuhkan jalan layang tol di tengah kota sepanjang 4 mil (sekitar 6,5 km).

Otoritas Kota Seoul juga menyisakan pilar-pilar tol sebagai monumen, sebagai "peringatan keras" kepada kota lain agar tidak mengekor kesalahan mereka.

Koridor memanjang yang dulunya lahan tol di tengah kota lalu dialihfungsikan sebagai areal publik. Tiap malam koridor ini dimanfaatkan sebagai arena bermain anak-anak.

Kota Seoul pun bertransformasi dari kota berwajah dingin dengan hutan-hutan betonnya menjadi kota yang lebih manusiawi.

Di Kota Seoul, penghancuran jalan tol diikuti pembangunan jalur bus. Begitu pula di kota-kota besar dunia, penghancuran tol dalam kota selalu dibarengi pembangunan jaringan transportasi massal untuk melayani mobilitas penduduk dari kawasan komuter ke tengah kota.

Yang terpenting, kota-kota besar itu mematuhi tata kota dan tata ruang serta pola transportasi makro.

Berbicara tentang pola transportasi makro, Tubagus Haryo mengingatkan, rencana enam ruas tol dalam kota Jakarta tidak tercantum dalam The Study On Integrated Transportation Master Plan (Sitramp) Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek).

Bila dipaksakan, Tubagus Haryo khawatir lambat laun lalu lintas di tengah kota Jakarta akan terkunci. Dalam studi tahun 2002-2003, pada sejumlah titik keluar jalan tol dan perempatan jalan terindikasikan kelebihan volume kendaraan pada jam-jam sibuk.

Bila idealnya menampung maksimal 90.000-100.000 kendaraan per jam, tetapi di ruas jalan itu kendaraan yang melintas dapat 150.000 unit per jam.

Pengemudi pun dapat menunggu 5-7 kali pergantian lampu pengatur arus lalu lintas berwarna merah sebelum melintas. Jadi, kira-kira 15-20 menit untuk melalui satu perempatan.

Belum lagi, bila hujan turun, lampu pengatur arus lalu lintas mati, dan peristiwa besar, seperti final kompetisi sepak bola di Gelora Bung Karno Jakarta, kemacetan makin parah.

Berdasarkan data Kaukus Lingkungan Hidup Jakarta tahun 2006, selama dekade terakhir pertambahan panjang jalan di Jakarta hanya kurang dari satu persen per tahun.

Sebaliknya, pertumbuhan rata-rata kendaraan sekitar 10 persen per tahun. Dalam sehari rata-rata diajukan sekitar 300 STNK mobil baru.

Kemauan membayar tol

Menurut Djoko Kirmanto, dimensi jalan di Jakarta hanya enam persen dari total luas Jakarta. "Di Melbourne, Australia, luas jalan mungkin di atas 20 persen sehingga kepadatan lalu lintas tidak terasa sehingga di Jakarta, panjang jalan harus ditambah minimal jadi 10 persen," ujarnya.

Pembangunan jalan memang dibutuhkan. Tahun 2008 alokasi anggaran terbesar Departemen PU bahkan untuk pembangunan jalan senilai lebih dari Rp 15 triliun.

Akan tetapi, membangun jalan tol lebih banyak di dalam kota Jakarta dan sekitarnya mungkin sia-sia sebab nantinya akan terjadi penumpukan dengan bus transjakarta, monorel ataupun subway.

Sementara itu, menurut Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan dan Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2005 tentang tol, jalan tol seharusnya menjadi bagian dari rencana umum jaringan jalan nasional sehingga tidak dapat dibangun sebagai bagian jaringan jalan provinsi.

Dari sisi investor, Direktur Utama PT Jasa Marga Tbk Frans Sunito, mewakili perusahaan tol terbesar di Indonesia, mengatakan, bilamana memberi keuntungan wajar, maka investor mana pun bersedia membangun enam ruas tol di dalam kota Jakarta.

"Karena proyek ini berkonstruksi layang, maka bernilai positif sebab tidak membebaskan lahan terlampau banyak. Tetapi, bukan berarti biayanya ringan karena konstruksi layang nilainya 2-3 kali lebih mahal daripada tol di permukaan tanah," kata Frans.

Meski demikian, Frans menegaskan, Jasa Marga belum meminati proyek itu sebab akan berkonsentrasi lebih dulu untuk membangun tol trans-Jawa dan Jalan Lingkar Luar Jakarta/Jakarta Outer Ring Road II.

Hitungan tarif dasar tol tahun 2007 ini, jelas Frans, sebesar Rp 600 per km-Rp 700 per km. Ambil contoh ruas tol Pasar Minggu-Casablanca (9,55 km), maka konsumen diharuskan membayar Rp 7.000 sekali jalan.

Bila tarif dasar dihitung sejak proyek dimulai tahun 2009, maka karena tarif diprediksi Rp 1.000 per km sehingga tarifnya menjadi Rp 10.000 sekali jalan.

Nantinya, tarif tol ini akan "bertemu" dengan komponen tarif, yakni dasar kemauan konsumen untuk membayar atau willingness to pay terhadap manfaat yang diperoleh karena menggunakan jalan tol dibandingkan dengan bila melalui jalan non-tol.

Bila tol dalam kota tetap macet karena antrean di ujung tol, seperti kemacetan tol Cawang- Pluit atau Cawang-Tanjung Priok-Jembatan Tiga, sehingga waktu tempuh tidak banyak terpangkas atau bila tarif dirasa terlalu mahal, apalagi konsumen masih harus beli bensin dan tarif parkir yang makin mahal, maka mungkin konsumen tidak berminat menggunakan tol dalam kota itu.

Jika kita membandingkan tarif kereta api rel listrik (KRL) jurusan Pasar Minggu-Tebet yang tidak jauh dengan ruas jalan Casablanca dengan tarif Rp 1.500 per penumpang, tentu saja tarif tol Pasar Minggu-Casablanca yang besarnya Rp 7.000 atau Rp 10.000 untuk sekali jalan itu terasa lebih mahal. Jadi, mengapa tak memperbanyak frekuensi KRL saja. (Haryo Damardono)

No comments: