Monday, December 17, 2007

Jangan Tunggu Keringat Pekerja Kering...


Hamzirwan dan Hermas E Prabowo


Di tengah semakin membaiknya kinerja perekonomian nasional sepanjang tahun 2007, persoalan pengangguran dan kemiskinan masih saja menghantui kita. Berbagai cara dilakukan pemerintah untuk mengatasinya, tetapi semuanya seperti membentur tembok.

Upaya mendorong investasi baru untuk menciptakan lapangan kerja baru masih terganjal masalah klasik, korupsi, buruknya infrastruktur, ketidakpastian hukum, sampai kompleksitas implementasi aturan. Kondisi ini menyebabkan meski sektor finansial terus mengalami pertumbuhan yang luar biasa, antara lain indeks harga saham gabungan telah menembus 2.000 poin, sektor riil masih saja jalan di tempat.

Saat para pemain pasar saham menikmati durian runtuh dari meroketnya harga saham, jutaan pekerja masih dihantui ancaman pemutusan hubungan kerja (PHK). Meski komitmen investor untuk menanamkan modalnya tinggi, tetap saja laju pembukaan lapangan kerja baru rendah.

Kondisi ini mengakibatkan tingkat pengangguran terbuka masih tinggi. Sedikitnya 10,55 juta orang masih belum bekerja, jumlah ini terus tumbuh karena setiap tahun ada 2,5 juta angkatan kerja baru masuk ke pasar kerja. Di tengah masih tingginya tingkat pengangguran, sistem kerja kontrak tambah meresahkan pekerja.

Pengusaha pun tampaknya lebih senang memakai sistem ini dalam proses produksi karena hitungan biaya ketenagakerjaan menjadi lebih baku. Mereka juga tidak akan direpotkan persoalan perselisihan hubungan industrial karena pengusaha pemakai jasa tidak berhubungan langsung dengan pekerja kontrak.

Bahkan, ada pengusaha yang dengan culasnya sengaja memecat pekerjanya untuk kemudian memborongkan pekerjaan kepada perusahaan lain atau mengontrak pekerja dari luar untuk mengerjakan proses produksinya (outsourcing).

Pekerja patut khawatir karena saat ini saja sudah ada 22.275 perusahaan yang menyerahkan sebagian atau hampir semua pekerjaannya kepada pihak ketiga. Padahal, semua perusahaan tersebut masih memiliki 2.114.774 tenaga kerja.

Data Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi menyebutkan, ada 1.082 perusahaan penyedia jasa pekerja yang mempekerjakan 114.566 orang. Selain itu, ada juga 1.540 perusahaan pemborongan pekerjaan yang mempekerjakan 78.918 orang.

Kelemahan aturan

Pengusaha pun berkelit bahwa langkah mereka tidak menyalahi aturan. Bab IX mengenai Hubungan Kerja Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan memang mengatur praktik pemborongan pekerjaan dan jasa penyediaan pekerja, yang menjadi dasar sistem kerja kontrak.

Akan tetapi, aturan ini menegaskan, praktik pemborongan pekerjaan pada pihak ketiga tidak boleh diterapkan untuk bisnis inti perusahaan tersebut. Namun, apa yang terjadi? Kemudahan dan murahnya mempekerjakan tenaga kontrak mendorong semakin banyak pengusaha yang memakai sistem ini untuk menekan biaya produksi.

Pungutan liar yang masih merajalela, buruknya infrastruktur, lambannya pelayanan publik, dan maraknya korupsi di tengah semakin ketatnya kompetisi mendorong pelaku usaha berpikir keras menghasilkan produk yang kompetitif.

Di sektor perbankan untuk kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi saja, perputaran gaji pekerja kontrak tahun 2005 masih Rp 3,6 miliar. Tahun 2006 nilainya telah melonjak menjadi Rp 5 miliar dan tahun ini diperkirakan sudah menembus Rp 6 miliar.

Jika para pekerja kontrak ini memang mengerjakan tugas pendukung bisnis inti, tentu tidak masalah. Memang itulah tujuan aturan ini.

Namun, bagaimana jika mereka malah disuruh mengerjakan bisnis inti pemberi kerja? Tentu hal ini sudah menyalahi aturan dan seharusnya pemerintah bersikap tegas.

Ini kemudian menjadi persoalan baru karena pemerintah pun terseok-seok mengawasi ketaatan pengusaha menjalankan asas ketenagakerjaan. Dari kebutuhan 3.600 tenaga pengawas ketenagakerjaan, pemerintah hanya memiliki 1.410 petugas yang harus mengawasi sedikitnya 178.000 perusahaan di seluruh Indonesia.

Kalau sudah begini, apa sih sebenarnya definisi pasar kerja fleksibel yang semakin kerap terdengar belakangan ini? Apakah berarti akan semakin mudah setiap orang mendapatkan pekerjaan sesuai dengan kompetensinya atau kemudahan bagi pengusaha mendapatkan pekerja sesuai dengan tuntutan bisnisnya?

Nasib korban PHK

Persoalan lain tak kalah penting adalah penyelesaian hak normatif sedikitnya 60.000 korban PHK yang masih terkatung-katung nasibnya sampai sekarang. Mereka adalah korban PHK sejak 2005 sampai sekarang dan hampir sebagian besar belum menerima haknya. Adapun nilai hak normatif yang belum diterima korban PHK ini mencapai Rp 500 miliar.

Meskipun UU No 13/2003 tentang Ketenagakerjaan memberikan hitungan hak normatif yang menguntungkan pekerja, tidak ada satu pasal pun yang mengatur sanksi pelanggarannya. Banyak kasus pengusaha mengemplang hak normatif mantan pekerjanya yang tak kunjung terselesaikan sampai sekarang.

Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Erman Suparno kemudian menggagas Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Jaminan Kompensasi PHK. Pemerintah optimistis aturan ini akan menjamin hak normatif 33 juta pekerja jika mereka terkena PHK.

Meski serikat pekerja belum mendukung sepenuhnya RPP tersebut, pemerintah tetap bersikukuh membahasnya. "Kami ingin menyelamatkan pekerja," kata Erman. Tanpa aturan ini, korban PHK akan terus merana ditelantarkan pengusaha yang telah puas mengisap keringat dan darah mereka.

RPP tersebut akan mewajibkan pengusaha mencadangkan premi sebesar 3 persen dari gaji pekerja di lembaga pengelola dana cadangan pesangon.

Lembaga ini kemudian akan mengelola dana cadangan dan membayarkan premi serta hasil pengembangannya kepada pekerja yang mengalami PHK.

Jika aturan ini berlaku, diperkirakan akan terkumpul dana cadangan sedikitnya Rp 20 triliun. Akumulasi dana ini tentu harus bisa menjamin kesejahteraan bagi pekerja. Jangan sampai malah menjadi mesin uang baru bagi sekelompok golongan.

Dana cadangan ini harus benar-benar menjadi jaring pengaman kompensasi bagi korban PHK agar mereka memiliki modal untuk melanjutkan kehidupannya setelah kehilangan pekerjaan. Saat ini RPP tersebut sudah diajukan ke Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Jika Presiden menyetujui dan menandatanganinya, aturan ini akan menambah berbagai aturan ketenagakerjaan yang sudah ada sekarang.

Dan tentu saja kita berharap agar aturan ini bisa mendorong tumbuhnya investasi riil yang mampu menciptakan lapangan kerja baru berskala besar.

No comments: