Monday, December 10, 2007

Berhenti Berwacana, Saatnya Bekerja Keras



Myrna Ratna


Tahun 2008 sudah di depan mata. Mungkin inilah tahun yang mendebarkan karena pantauan terhadap kinerja pemerintah mencapai puncaknya sebelum memasuki Pemilihan Umum 2009.

Bagi pasangan Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla, tahun 2008 merupakan pertaruhan masa depan politik mereka. Tinggi atau rendahnya apresiasi rakyat terhadap kinerja mereka di 2008 akan menentukan pantas-tidaknya kedua tokoh ini menduduki kursi kekuasaan lagi, secara bersama atau sendirian.

Berbeda dengan mekanisme berpolitik di negara maju, misalnya Amerika Serikat, yang memiliki aturan dan jadwal waktu yang jelas dalam penahapan pencalonan presiden, di Indonesia tradisi seperti itu belum ada.

Apabila di negara maju pemilu tak ubahnya proses rutin yang dampak politiknya sudah bisa diprediksi, di Indonesia pelaksanaan pemilu masih menjadi barometer pencapaian demokrasi. Jika berlangsung aman, tanpa kekerasan, apalagi jika rakyat berbondong-bondong memberikan suaranya, hal itu akan dilihat sebagai prestasi demokrasi.

Dengan kata lain, pemilu masih menjadi "tujuan" sehingga seluruh energi, perhatian, dan sumber daya dipusatkan untuk peristiwa yang satu ini. Jadi, lumrah saja jika kemudian muncul kekhawatiran bahwa hiruk-pikuk ini bisa berimbas pada kinerja pemerintah yang memang dibangun dari koalisi partai yang fondasinya tidak solid.

Meski Presiden Yudhoyono mengantongi lebih dari 60 persen suara pada Pemilu 2004, partai yang mengusungnya, Partai Demokrat, tidak menguasai kursi parlemen, sementara jabatan wakil presiden pun tidak berasal dari partai yang sama.

Langkah Yudhoyono yang mencegah niat Partai Demokrat untuk mengumumkan pencalonan dirinya kembali dalam rapat koordinasi nasional beberapa waktu lalu, secara politis, dinilai taktis. Sikap tersebut bisa diterjemahkan bahwa ia lebih mendahulukan kepentingan bangsa dari kepentingan pribadi.

Namun, itu pun tak menjamin bahwa kinerja pemerintah pada tahun mendatang akan tetap solid. Tanda-tanda itu telah terlihat ketika beberapa waktu lalu Wapres Kalla mengisyaratkan kemungkinan pencabutan dukungan Golkar terhadap Yudhoyono pada tahun 2009. Juga saat partai politik yang punya wakil menteri di kabinet sudah mengambil ancang-ancang untuk mengusung calon presiden baru.

Yang dikhawatirkan kemudian adalah terjadinya stagnasi. Pemerintah tak mampu lagi bekerja optimal akibat konsentrasinya terpecah oleh persiapan pemilu. Imbasnya, tentu pada nasib rakyat.

Setelah tiga tahun pemerintahan berlangsung, Yudhoyono tetap populer di mata rakyat. Namun, kepercayaan publik terhadap pemerintahannya terus merosot. Menurut survei Litbang Kompas, lebih dari 60 persen responden mengatakan, pemerintahan Yudhoyono belum bisa mewujudkan janji perbaikan di bidang ekonomi, politik, hukum, dan kesejahteraan sosial (Kompas, 22 Oktober 2007).

Persoalan ini menjadi makin serius jika dikaitkan dengan tantangan global yang menanti pada tahun 2008, seperti kemungkinan harga minyak dunia yang terus melesat, bahkan mungkin melewati level 100 dollar AS per barrel. Apabila harga minyak dunia rata-rata mencapai 90 dollar AS per barrel saja, subsidi BBM akan melonjak dari Rp 45,8 triliun menjadi Rp 140,8 triliun dan jika mencapai 100 dollar AS per barrel, subsidi menjadi Rp 170,7 triliun.

Meski pemerintah sudah berjanji tak akan menaikkan harga BBM, kondisi keuangan negara diyakini tak akan sanggup mendukung. Namun, jika BBM dinaikkan, dampaknya akan meluas ke semua sendi perekonomian. Akhirnya pemerintah memilih untuk mengurangi subsidi BBM bagi pengguna kendaraan pribadi, tetapi pilihan itu pun dikhawatirkan akan menimbulkan persoalan baru pada tahun 2008 nanti, yaitu kebocoran dan kelangkaan BBM.

Tantangan lain yang harus diantisipasi adalah perubahan iklim yang mengubah pola cuaca secara ekstrem. Dampak yang paling terasa adalah anjloknya produktivitas pertanian, tereduksinya lahan garapan, langkanya air bersih, dan semakin seringnya terjadi bencana alam.

Inilah tugas yang harus dituntaskan Yudhoyono dan Kalla beserta jajaran kabinetnya.

Indonesia boleh berbangga dengan julukan sebagai negara dengan populasi keempat terbesar di dunia yang demokratis. Namun, hakiki demokrasi tak sekadar apakah rakyat memberikan suaranya pada pemilu yang jurdil. Demokrasi menyangkut pembangunan institusi-institusi yang ajek, seperti peradilan yang independen, kebebasan pers, perundang-undangan yang efektif, serta penegakan hukum dan HAM, yang semuanya berorientasi bagi kepentingan rakyat.

Komitmen rakyat terhadap demokrasi hanya bisa dipelihara melalui pemerintahan yang efektif. Dan, kunci kesuksesan pemerintahan yang efektif adalah bila rakyatnya sejahtera.

Pekerjaan rumah ini bukan hanya ditujukan bagi Yudhoyono-Kalla, tetapi juga bagi para wakil rakyat, politisi, dan seluruh komponen bangsa. Rakyat sudah jenuh menonton hiruk-pikuk politik. Saatnya bekerja keras.

No comments: