Didin S Damanhuri
Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB, Pengajar STIE Tazkia
Wacana yang telah didengungkan sejak reformasi tahun 1998, adalah perlunya shifting paradigm yakni dengan melakukan reorientasi pembangunan yang lebih berbasis kepada sumber daya domestik dan SDA pertanian dalam arti luas dengan kandungan iptek yang tinggi. Hal ini untuk menciptakan proses pertumbuhan dan pembangunan yang berkelanjutan.
Dengan begitu, proses pertumbuhan dan pembangunan tak akan menciptakan kontradiksi dengan sebagian besar pelaku pembangunan yang selama ini telah berkiprah dalam mengolah SDA pertanian dalam arti luas. Juga, pembangunan akan menciptakan pertumbuhan yang tinggi dan berkelanjutan lewat penciptaan kesempatan kerja seluas-luasnya sekaligus menciptakan pemerataan. Tentu saja aset nasional berupa industri manufaktur non-agro tetap dikembangkan. Hanya, pembangunannya lebih ditekankan untuk memanfaatkan kapasitas terpasang yang kini belum pulih sepenuhnya dari kondisi krisis.
Sementara itu, sejak awal kemerdekaan hingga masa orde baru yang melaksanakan proses industrialisasi secara sistematis dan besar-besaran, peran pertanian hanya menjadi salah satu sektor pembangunan, bahkan sekadar pelengkap sektor industri non-agro semata. Padahal, kekayaan potensial terbesar dari bangsa ini adalah berasal dari SDA pertanian dalam arti luas.
Paradigma pembangunan sejak awal kemerdekaan hingga sekarang tercatat lebih memprioritaskan strategi pembangunan berbasis industri non-agro dan impor sekaligus kerap megorbankan pertanian dalam arti luas beserta para pelakunya. Yang disebut terakhir ini, misalnya terbukti dengan telah terdegradasinya secara drastis SDA bangsa ini di satu pihak, namun di lain pihak makin terpuruknya peran pertanian dalam arti luas.
Data statistik yang ada memperjelas analisis tersebut. Persentase PDB pertanian dalam arti luas terhadap PDB total tahun 2000 sekitar 15,6 persen dan pada tahun 2005 turun menjadi tinggal 13,39 persen. Kondisi lebih jelas terlihat pada perkembangan investasi di seluruh kelompok pertanian baik PMDN maupun PMA.
Misalnya untuk PMDN, seluruh kelompok pertanian tahun 2001, jumlah Izin usaha hanya 15 atau 9,3 persen dibandingkan seluruh izin usaha yang berjumlah 160 dan meningkat menjadi 20 atau 15,63 persen dari seluruh izin usaha yang berjumlah 128 pada tahun 2006. Sedangkan dilihat dari realisasi investasinya tahun 2001 hanya sekitar Rp 1.121,7 miliar atau 11,34 persen dari total investasi PMDN yang berjumlah Rp 9.890,8 miliar dan meningkat menjadi Rp 2.131,6 miliar atau 15,74 persen dari total investasi PMDN yang berjumlah Rp 13.545,9 miliar tahun 2006.
Sementara untuk PMA lebih rendah lagi, di mana kelompok pertanian tahun 2001jjumlah izin usahanya 16 atau 3,5 persen dari seluruh izin usaha PMA yang berjumlah 454 dan meningkat jumlahnya menjadi 20 tapi menurun persentasenya menjadi 2,6 persen dari total izin Usaha PMA yang berjumlah 770 tahun 2006. Sedangkan dlihat dari realisasi investasinya tahun 2001 hanya sekitar 79,4 juta dolar AS atau 2,3 persen dari total investasi PMA yang berjumlah 3.509,4 juta dolar AS dan meningkat menjadi 368,6 juta dolar AS atau 8,2 persen dari total investasi PMA yang berjumlah 4.480,7 juta dolar AS di tahun 2006. Kesimpulannya, tetap saja peran investasi di sektor pertanian masih jauh tertinggal dibandingkan dengan sektor industri non-agro, jasa, dan pertambangan.
Sementara data kemiskinan (diukur oleh garis kemiskinan BPS) sekarang sekitar 38 juta atau 17,3 persen dari total penduduk (sekitar 220 juta) yang sebagian besar berada di sektor pertanian dan pedesaan. Pertanyaan selanjutnya, bagaimanakah prospek kontribusi SDA pertanian dalam arti luas dalam konteks di mana lingkungan strategis yang memayungi perannya, dalam pembangunan nasional 2008 dan tahun-tahun selanjutnya?
Tiga variabel
Ada tiga variabel yang menarik untuk diperhatikan sebagai constraints. Pertama, globalisasi. Kalau strategi pembangunan makronya tak dilakukan reorientasi secara mendasar, kondisinya tak akan banyak berubah, yakni tingkat daya saing bangsa dalam pasar global, terutama sektor pertanian, tetap rendah.
Kedua, krisis kenaikan migas global. Kalau kalangan pejuang sektor pertanian umumnya hanya pasif dan introvert, maka kemiskinan di sektor pertanian dan pedesaan akan semakin parah. Selain itu juga akan terjadi opportunity loss yang mestinya bisa dimanfaatkan untuk investasi baru di sektor pertanian dalam arti luas karena terjadinya financial overliquidity baik secara global maupun nasional.
Ketiga, konstelasi elite politik nasional. Ini lebih memprihatinkan lagi, mengingat lobi politik kalangan pertanian maupun posisi tawarnya terhadap kalangan elite politik jauh lebih rendah dibandingkan sektor lain. Padahal regulasi maupun arah pembangunan di alam demokrasi amat sangat ditentukan oleh para elite politik yang ada di legislatif, eksekutif, judikatif, partai-partai, serta media massa yang cenderung lebih memihak kepada orientasi pembangunan berbasis non-agro dan impor. Bahkan sekarang ini semakin kepada sektor non-riil.
Oleh karena itu, solusinya setidaknya juga harus memperhitungkan tiga variabel tersebut. Pertama, harus ada perjuangan ekstra keras untuk merebut wacana resource and knowledge based industrialization dalam menghadapi globalisasi menjadi wacana nasional sehingga dapat memayungi pembangunan berbasis SDA pertanian dalam arti luas dengan kandungan iptek yang tinggi.
Kedua, menghadapi krisis migas global, kalangan pejuang pertanian harus pandai menciptakan peluang serta koalisi secara luas untuk memanfaatkan financial overliquidity global maupun nasional untuk mendorong invetasi baru besar-besaran dalam rangka industrialisasi berbasiskan SDA pertanian dalam arti luas dengan kandungan iptek yang tinggi. Ketiga, bagaimanapun kalangan pejuang pertanian harus mempunyai lobi politik dan meningkatkan posisi tawar terhadap para elite politik agar lebih peduli kepada sektor ini.
No comments:
Post a Comment