Saturday, December 22, 2007

Minyak dan Sektor Industri

M Ikhsan Modjo

Tantangan ekonomi nasional terbesar pada tahun 2008 adalah kenaikan harga minyak. Saat ini harga minyak dunia sudah melambung tinggi, menyentuh angka 99 per barrel dollar AS pada akhir November dan berpotensi menembus angka 100 dollar AS per barrel.

Kenaikan harga minyak ini akan memiliki dampak saling terkait yang berpotensi memperlambat pertumbuhan ekonomi nasional 2008. Dampak-dampak ini antara lain pada sisi fiskal, moneter, konsumsi rumah tangga, dan yang terpenting sektor industri.

Bagi sektor industri, kenaikan harga minyak akan berdampak pada harga dan output akibat adanya kenaikan biaya penggunaan bahan bakar minyak (BBM), peningkatan biaya input (raw materials), serta biaya transportasi dan distribusi. Untuk mengukur dampak langsung kenaikan harga minyak pada BBM, satu simulasi yang saya lakukan dengan menggunakan data Statistik Industri Indonesia 2000-2004 serta asumsi kenaikan harga minyak rata-rata sebesar 30 persen dalam satu tahun menunjukkan hasil seperti tertera di tabel.

>endtab

Perhitungan di atas belum termasuk dampak tidak langsung dari penurunan ekspor, kenaikan upah, harga komponen, dan biaya transportasi. Pengikutsertaan komponen-komponen ini dipastikan membawa dampak lebih besar pada harga dan output sektor industri.

Menghadapi prospek ini diperlukan satu strategi kebijakan yang tidak sekadar tambal sulam, seperti pemberian insentif fiskal temporer, yang bisa meningkatkan defisit dan efek pendesakan (crowding-out effect) suku bunga dan investasi. Langkah terpenting seharusnya adalah pemberian ruang adaptasi lebih pada struktur biaya produksi.

Pemberian ruang adaptasi lebih dapat diupayakan dengan cara memberantas penyebab kekakuan biaya dan penguatan kelembagaan pasar. Salah satu sumber kekakuan akut bagi penyesuaian ongkos produksi adalah kekakuan di bidang ketenagakerjaan. Penetapan upah minimum yang birokratis, berbelit-belit, dan bercampur aduk politik membuat tingkat upah tidak merefleksikan produktivitas dan menutup ruang adaptasi biaya terhadap kenaikan biaya input, seperti BBM.

Akibatnya, perusahaan akan menyerap kenaikan harga input seperti BBM dengan menyesuaikan jumlah ketimbang upah pekerja. Hal ini menyebabkan harga akan meningkat dan output akan menurun lebih dari yang seharusnya, yang pada gilirannya menimbulkan masalah pengangguran, mengingat tidak semua pekerja dengan upah tinggi bisa terserap.

Dari pengalaman di beberapa negara, kenaikan biaya akibat harga minyak yang disertai kekakuan upah mengakibatkan tertekannya tingkat produksi dua kali, yang pada akhirnya menyebabkan kontraksi lebih besar pendapatan nasional. Resesi ekonomi yang panjang di Eropa dan Amerika Serikat pada dekade 1970-an disebabkan oleh masalah ini.

Peningkatan harga minyak sebesar hampir empat kali lipat saat itu tidak bisa teradaptasi penuh akibat militansi serikat buruh dalam memperjuangkan peningkatan upah. Kekakuan ini menyebabkan terjadinya stagflasi di Eropa dan Amerika Serikat pada era tersebut. Inflasi melambung tinggi, sementara pada saat yang sama terjadi kontraksi output dan penambahan jumlah pengangguran.

Kondisi ini mirip dengan yang tengah terjadi di Indonesia. Kekakuan di bidang ketenagakerjaan berpotensi untuk menghambat adaptasi kenaikan harga minyak pada struktur biaya, yang akan mengakibatkan tertekannya output lebih dari semestinya, serta meningkatnya inflasi dan pengangguran.

Kekakuan lain adalah pada biaya transaksi berupa ongkos pungutan gelap dan liar pada industri. Celakanya, selain ilegal, pungli diterapkan tanpa pandang bulu, alias bersifat sebagai biaya tetap (fixed cost), sehingga menyebabkan kerugian relatif besar pada perusahaan kecil ketimbang perusahaan besar. Karena itu, tidak mengherankan krisis akibat tekanan eksternal lebih merugikan usaha kecil dan menengah ketimbang usaha besar.

Pemerintah juga bisa membantu industri menghadapi kenaikan harga minyak melalui reformasi kelembagaan pasar. Pasar pada beberapa komoditas input sektor industri kerap bersifat monopsoni atau oligopsoni, di mana hanya terdapat satu atau beberapa pemasok. Struktur pasar ini menyebabkan tingkat harga input meningkat secara tidak proporsional, akibat kenaikan harga minyak, yang akan semakin memberatkan perusahaan.

Terakhir, hal yang juga penting dalam jangka menengah dan panjang adalah mengurangi ketergantungan industri pada minyak. Dari tahun ke tahun, ketergantungan ini justru meningkat dan bukannya menurun walau ada kenaikan harga. Ke depan, sudah seyogianya ada satu rencana teknis dan target pengurangan yang lebih detail untuk melakukan pengalihan penggunaan energi pada industri, dari minyak ke energi lain yang lebih murah dan ramah lingkungan.

M Ikhsan Modjo Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef)

No comments: