DOTY DAMAYANTI
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ketika membuka Pertemuan Perkumpulan Ahli Perminyakan Se-Asia Pasifik di Jakarta, 30 Oktober 2007, menyatakan bahwa negara-negara yang bergantung pada minyak bakal mengalami situasi kritis dalam anggaran mereka yang berdampak pada kebijakan ekonomi dan sosial.
Kekhawatiran terbesar kita adalah apabila harga minyak mencapai 100 dollar AS per barrel. Apa pun yang terjadi, ekonomi dunia akan menghadapi masa-masa berat, demikian papar Yudhoyono.
Indonesia, termasuk dalam deretan negara yang bakal mengalami masa-masa berat itu. Sebagai mantan Menteri Pertambangan, Presiden Yudhoyono tentunya memahami betul dampak kenaikan harga minyak di tengah kondisi produksi minyak dan gas (migas) Indonesia dan permasalahan energi yang terkait dengannya.
Faktor geopolitik dengan memanasnya hubungan Iran-Amerika Serikat dan ketegangan di Turki diprediksi akan terus mendorong kenaikan harga minyak tahun depan. Kondisi yang sama pula yang menyebabkan harga minyak terus merambat dari 70 dollar AS ke posisi 90 dollar AS kuartal keempat tahun ini.
Dekade 1970-an tinggal menjadi sejarah manis untuk Indonesia yang bisa ikut menikmati booming minyak dunia.
"Takkan pernah lagi pergerakan harga dari satu komoditas mempengaruhi ekonomi Indonesia seperti pergerakan harga minyak. Cadangan minyak Indonesia relatif tidak besar dan suatu saat dalam abad ke-21, Indonesia kemungkinan secara neto menjadi negara pengimpor minyak." Demikian pokok-pokok pikiran mantan Menteri Keuangan Radius Prawiro dalam bukunya Pergulatan Indonesia Membangun Ekonomi (1998).
Radius menuliskan, pada tahun 1970, ketika harga minyak Indonesia 1,67 dollar AS per barrel, Indonesia menghasilkan minyak 0,89 juta barrel per hari yang merupakan 29 persen dari penghasilan pemerintah. Tahun 1981 produksi minyak Indonesia meningkat dua kali lipat menjadi 1,6 juta barrel per hari. Dengan harga minyak dunia 35 dollar AS per barrel, minyak menyumbang 70 persen dari penerimaan negara.
Apa yang terjadi dengan produksi minyak Indonesia dekade 1990-2000? Produksi minyak tahun 1997 tercatat masih 1,6 juta barrel per hari.
Sumbangan ke negara
Tahun 2007 produksi minyak Indonesia turun, tinggal 0,95 juta barrel. Kalaupun Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Purnomo Yusgiantoro masih bisa membanggakan realisasi sumbangan sektor migas ke kas negara yang mencapai Rp 182 triliun, itu hanya karena produksi yang meleset dari target 1,05 juta barrel bisa ditutup lonjakan harga minyak yang mencapai 80 dollar AS per barrel.
Apabila dihitung, sumbangan migas ke kas negara tinggal 30 persen. Tentu kondisi industri migas Indonesia dekade 1970-an dengan 2.000-an sangat berbeda. Tiga puluh tahun lalu Indonesia menguasai sepenuhnya hasil minyak yang dikelola Pertamina.
Sekarang, Pertamina hanya salah satu perusahaan migas yang berikatan kontrak dengan pemerintah. Perubahan pengelolaan migas pascakeluarnya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001, disebut-sebut sebagai salah satu penyebab menyurutnya minat investasi.
Kontraktor migas dikejutkan dengan perubahan aturan bea masuk impor untuk barang-barang keperluan pengeboran. Belum lagi masalah tumpang tindih dengan lahan kehutanan dan pungutan-pungutan pajak di daerah. Industri migas menjadi sorotan karena biaya produksi yang dibebankan ke negara (cost recovery) justru terus meningkat.
Muncul desakan untuk mengaudit perusahaan-perusahaan migas ataupun Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi. Pemerintah merespons dengan meninjau ulang cost recovery Pertamina dan menyatakan dana pengembangan masyarakat adalah tanggung jawab perusahaan.
Sekarang, bagaimana kalau minyak tembus 100 dollar AS, sementara produksi minyak tinggal 0,95 juta barrel per hari? Adapun jika dihitung total impor minyak mentah dan produk bahan bakar minyak, hal itu sudah lebih besar daripada ekspor minyak? Sementara itu, ada subsidi BBM yang harus ditanggung negara?
Subsidi BBM
Ketika harga minyak mencapai 100 dollar AS per barrel, subsidi BBM dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2008 diperkirakan bakal membengkak dari Rp 45,8 triliun menjadi Rp 170,7 triliun.
Bicara angka, memang akan terlihat fantastis. Apalagi jika melihat subsidi sebagai beban negara. Seperti yang dikatakan Yudhoyono, banyak negara menghadapi masalah yang sama. Tinggal pertanyaannya, kebijakan apa yang akan diambil dalam menghadapi dampak kenaikan harga minyak terhadap perekonomian di dalam negeri.
Pemerintah China justru memilih menaikkan subsidi untuk kelompok masyarakat yang terkena dampak paling besar dari kenaikan harga. Mereka yang mendapat subsidi antara lain adalah pada petani.
Subsidi juga diberikan kepada China Petroleum & Chemical Corp, sebagai pengolah minyak. Pemerintah memberikan kompensasi karena BBM yang dihasilkan oleh BUMN itu dijual lebih murah daripada biaya produksinya.
Sementara itu, Vietnam justru memilih mengurangi subsidi dengan melepas harga sejumlah produk BBM mengikuti mekanisme pasar. Kebijakan tersebut akan dimulai tahun depan dengan target awal menghilangkan subsidi solar.
Langkah itu juga merupakan bagian dari komitmen mereka sebagai anggota Organisasi Perdagangan Dunia. Pencabutan subsidi akan mendorong liberalisasi bisnis hilir migas di negara itu dengan membuka peluang perusahaan migas multinasional masuk meramaikan pasar.
Pemerintah Vietnam menyatakan optimis masyarakat siap dengan harga BBM yang naik-turun sesuai dengan kondisi pasar. Langkah paling ekstrem diambil Pemerintah Venezuela.
Kenaikan harga minyak dijadikan momentum untuk mengambil manfaat sebesar-sebesarnya. Presiden Hugo Chavez mengultimatum perusahaan-perusahaan migas asing bahwa negara harus memiliki porsi dominan di blok-blok minyak yang produksinya besar.
Hasilnya, dari sekian banyak perusahaan migas yang beroperasi, hanya ExxonMobil dan ConocoPhillips yang memilih hengkang. Adapun Indonesia baru berencana menaikkan porsi kepemilikan nasional menjadi 20 persen pada blok migas yang sudah produksi dalam Perubahan Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2005.
Begitu terpesonanya kita pada sihir minyak sampai-sampai potensi sumber daya alam lain terlupakan. Padahal, tahun 2007 produksi batu bara Indonesia diperkirakan bakal mencapai 198.000 juta ton atau naik 23 persen dibandingkan dengan tahun 2006.
Pemerintahan SBY telah mengambil opsi menaikkan harga BBM untuk masyarakat pada tahun 2005. Pil pahit yang sama, sepertinya tidak terhindarkan, bakal kembali ditelan. Namun, sekiranya pemerintah bisa menimbang ulang. Melesetnya hitungan penerimaan negara tahun depan sangat mungkin terjadi ketika target produksi minyak tidak tercapai karena pemerintah menetapkan target yang sangat ambisius, yaitu 1,084 juta barrel.
Target diistilahkan para pelaku industri migas sebagai jauh dari kenyataan dan sulit untuk tercapai. Upaya mendorong percepatan produksi minyak dengan menyatukan seluruh koordinasi di bawah pengawasan Wakil Presiden tidak akan berpengaruh banyak.
Sungguh tidak bijak jika masyarakat harus menanggung akibat dari kesalahan perhitungan yang ditetapkan pemerintah.
No comments:
Post a Comment