Monday, December 24, 2007

ANALISIS EKONOMI


Ketika Rekening Pemerintah Ditertibkan


Chatib Basri


Pesan terpenting dari sejarah mungkin adalah pesan tentang kesalahan. Sejarah panjang birokrasi agaknya bisa bercerita tentang bagaimana perencanaan bisa meleset, prosedur bisa macet, dan mesin birokrasi bisa mandek. Dalam kemandekan, kadang timbul improvisasi untuk mencari jalan pintas, untuk membuat mesin tetap berjalan.

Minggu lalu media masa ramai mengulas soal temuan Tim Penertiban Rekening Pemerintah tentang sejumlah rekening yang tidak dilaporkan—atau oleh media disebut sebagai "rekening liar". Sejarah rekening yang tak dilaporkan barangkali sebuah sejarah tentang improvisasi di tengah kemandekan birokrasi.

Dalam laporannya Tim Penertiban Rekening Pemerintah menyatakan: per 30 November 2007 dilakukan pembahasan mengenai penertiban rekening dengan kementerian negara/lembaga sebanyak 26.770 rekening dengan nilai Rp 36,5 triliun dan 620,1 juta dollar AS. Dari jumlah ini, Rp 20,3 triliun dan 618,5 juta dollar AS disetujui digunakan secara permanen atau sementara. Sebanyak Rp 7,3 triliun dan 1,5 juta dollar AS ditutup atau dalam proses penutupan. Sisanya, Rp 8,8 triliun, dalam pembahasan. Tim melaporkan, ada 1.737 rekening (nilainya hampir Rp 1,1 triliun dan 100.000 dollar AS) memerlukan investigasi lebih lanjut. Dari 1.737 rekening itu, ada 257 rekening ditutup, tetapi tak disetorkan ke kas negara, dan nilainya mencapai Rp 848,6 miliar. Pelajaran apa yang bisa ditarik?

Pertama, angka-angka di atas menunjukkan betapa besar dan tersebarnya rekening pemerintah—dan juga rentannya masalah akuntabilitas selama ini.

Pada masa lalu, tekanan untuk perlunya transparansi anggaran relatif lemah sehingga berbagai rekening dapat tersebar dan tak dilaporkan. Pada era ini, terutama sejak adanya UU Perbendaharaan Negara 2004, ada tekanan membuat anggaran menjadi transparan. Memang, tak sepenuhnya adil untuk menjelaskan situasi masa lalu dengan perspektif kekinian karena ia bisa membawa kita kepada risiko penjelasan post factum. Namun, lepas dari soal itu, komitmen menteri keuangan menertibkan rekening liar, dan memutus rantai kesalahan, merupakan sebuah langkah penting di dalam sejarah anggaran di negeri ini. Tentu ini tak lepas dari dukungan media, kritik dan berbagai institusi lain. Inilah pentingnya check and balance.

Kedua, apa dampaknya bagi perekonomian? Jawabannya mungkin meluasnya problem principal-agent. Problem principal-agent adalah persoalan yang timbul ketika satu pihak (principal) mencoba memotivasi pihak lain (agent) bertindak sesuai keinginannya (principal). Contohnya: pengelola anggaran menginginkan anggaran akan digunakan institusi pelaksana sesuai dengan keinginan perencanaan anggaran. Problem principal-agent di dalam konsep ekonomi biasanya dicoba diatasi dengan insentif dan disinsentif.

Dalam kasus rekening tak dilaporkan—karena rekening itu tak diketahui dan dapat diawasi —praktis tak ada mekanisme insentif dan disinsentif. Akibatnya, tak ada jaminan, agent akan menjalankan anggaran sesuai persetujuannya dengan principal. Jika ini meluas, aktivitas dan kualitas belanja akan terganggu.

Dengan rekening yang tersebar begitu banyak—dan tak sepenuhnya bisa diawasi menteri keuangan—tugas menteri keuangan sebagai chief financial officer dari republik ini menjadi relatif lebih sulit.

Kita tidak memiliki akurasi mengenai sumber daya yang kita miliki—yang tentunya akan memengaruhi kemampuan kita membuat perencanaan anggaran yang baik. Mudahnya: bisa saja satu institusi menyampaikan kebutuhan dananya dalam jumlah tertentu, padahal institusi itu sebenarnya masih memiliki dana yang dapat digunakan. Jika pengelola anggaran tak memiliki informasi akurat, dan permintaan itu dipenuhi, artinya ada alokasi dana tambahan ke institusi itu. Dalam situasi anggaran terbatas, penambahan alokasi anggaran dapat berarti relokasi dari pos lain, yang dapat mengganggu prioritas pembangunan. Dampak lain, potensi penyalahgunaan anggaran.

Ketiga, agar kesalahan tak diulangi, penting bagi kita mengerti mengapa rekening liar tumbuh dan berkembang. Selama manfaat dari tak melaporkan rekening lebih besar dibandingkan dengan biayanya (pengawasan, hukuman, penutupan), rekening-rekening akan muncul. Motivasinya tak melulu berangkat dari penyalahgunaan dana, tetapi karena inefisiensi birokrasi. Inefisiensi birokrasi memicu munculnya kebutuhan rekening-rekening ini. Sebaliknya ketika birokrasi menjadi efisien, proses otorisasi dan pencairan uang relatif cepat, "manfaat" dari rekening-rekening liar menjadi relatif kecil, kecuali jika ada maksud penyalahgunaan dana. Dalam kondisi ini tak ada alasan rasional rekening liar menjamur.

Apa yang bisa kita simpulkan dari sini? Upaya penertiban rekening pemerintah tak bisa berhenti pada tindakan menutup atau mengonsolidasikan rekening-rekening itu. Penutupan ini harus dibarengi usaha perbaikan efisiensi dari birokrasi dalam proses otorisasi dan pencairan uang dan juga cakupan anggaran. Saya melihat relevansi reformasi birokrasi yang dilakukan Depkeu. Efisiensi birokrasi akan membantu mengurangi "manfaat" dan meningkatkan "biaya" dari munculnya rekening liar.

Analisis ini membantu kita melihat penertiban rekening terobosan amat penting untuk memperbaiki kualitas anggaran, menghindari penyalahgunaan uang publik, dan perbaikan good governance. Namun, perlu diingat, penertiban rekening saja tak akan menyelesaikan persoalan jika ia tak diikuti efisiensi dalam birokrasi dan perbaikan pengawasan.

Di sini komitmen dari semua pihak menjadi amat penting. Upaya penertiban rekening harus terus dilanjutkan. Untuk mendapatkan efek kejut, Departemen Keuangan juga perlu mengumumkan kementerian negara/lembaga yang masih memiliki rekening yang tak dilaporkan ini dan juga perkembangan penertibannya. Selanjutnya investigasi perlu dilakukan untuk rekening yang diduga bermasalah.

Kita memang perlu belajar dari kesalahan yang kita buat. Sejarah memang datang dengan pesan penting tentang kesalahan. Mungkin itu sebabnya suara kuno Mark Twain jadi terasa benar: the past does not repeat itself, but it ryhmes.

No comments: