Monday, December 17, 2007

TAJUK RENCANA


Bicara Kemiskinan


Peringatan yang disampaikan Siswono Yudo Husodo berkaitan dengan kemiskinan yang kita hadapi terasa menyentakkan dan mungkin juga menyakitkan.

Menurut Ketua Dewan Pertimbangan Organisasi Himpunan Kerukunan Tani Indonesia itu, angka kemiskinan kita masih berada pada angka 37,17 juta jiwa (17,75 persen). Perhitungan itu didasarkan pada jumlah petani gurem—yang menguasai lahan di bawah 0,2 hektar—yang meningkat dari 10,9 juta kepala keluarga (KK) pada tahun 1993 menjadi 13,7 juta KK pada tahun 2007.

Kita boleh berdebat soal angka. Apalagi data dari Badan Pusat Statistik menyebutkan jumlah penduduk miskin pada tahun 2006 turun menjadi 30,30 juta jiwa. Namun persoalannya bukan di sana. Yang jauh lebih penting untuk diperhatikan adalah realitas di lapangan.

Kalau kita coba turun ke lapangan dan menangkap kehidupan riil di tengah masyarakat, kita bisa rasakan tingkat kemiskinan itu. Kemiskinan itu bukan hanya dicerminkan pada terbatasnya kemampuan mereka untuk memenuhi kebutuhan hidup pokok, tetapi juga terbatasnya akses kepada pendidikan dan kesehatan.

Data yang disampaikan Kepala Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional Sugiri Syarief menunjukkan jumlah warga bangsa yang tidak lulus sekolah dasar sekitar 35 persen. Sementara jumlah warga yang berpendidikan hanya sampai sekolah menengah pertama angkanya mencapai 84 persen.

Dengan kondisi seperti itu memang banyak tugas yang masih harus kita kerjakan. Kita membutuhkan sebuah kebijakan yang mampu memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk mendapatkan kerja yang layak agar mereka mampu mengangkat kehidupan keluarganya.

Sekarang ini kita memang sedang hidup di era teknologi informasi. Namun mustahil kita bisa tiba-tiba masuk dan mengambil manfaat dari era tersebut kalau kita tidak terlebih dahulu mempersiapkan manusia Indonesia untuk hidup di era seperti sekarang ini.

Apa boleh buat kita harus menata pembangunan bangsa melalui pertanian karena sebagian besar dari bangsa ini masih tergantung dari sana. Kita bisa melakukan lompatan dari sana karena kebetulan keadaan sangatlah menunjang. Harga-harga komoditas pertanian seperti minyak kelapa sawit (CPO), karet, kakao, dan gula sangatlah bagus. Harga CPO kini tercatat 1.000 dollar AS per ton. Harga karet 2,5 dollar AS per kg.

Sayang kita sering kali tergiur untuk cepat meloncat ke era yang lebih tinggi tanpa mau memerhatikan realitas di mana kita berada. Akibatnya, secara tidak terasa kita meninggalkan banyak saudara kita di belakang. Mereka itulah yang kemudian menjadi korban dari globalisasi dan akhirnya terperangkap dalam kemiskinan.

Perjalanan yang harus kita tempuh memang masihlah panjang. Kita tidak perlu mengeluh dengan kenyataan ini. Inilah harga yang harus kita bayar ketika kita alpa mempersiapkan manusia Indonesia untuk menghadapi era yang semakin terbuka dan tanpa batas ini.

Tanggung jawab kita bersama untuk mencari jalan keluar dari kondisi yang berat ini. Sepanjang ada kemauan, pasti ada jalan untuk mengatasi ketertinggalan.

***

No comments: