Jakarta, Kompas - Menteri Koordinator Perekonomian Boediono meminta agar proses penguatan ekonomi nasional jangan dikorbankan demi kepentingan lain, termasuk politik, karena ekonomi akan menjadi jaminan peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Ini perlu ditekankan karena stabilitas politik merupakan syarat penting terjadinya pertumbuhan ekonomi yang diharapkan. "Pada masa Demokrasi Terpimpin (sekitar akhir tahun 1950-an) seluruh pembicaraan ekonomi selalu diarahkan ke perspektif politik sehingga tidak menyelesaikan masalah. Misalkan, mencari kebijakan beras yang tepat selalu dilihat dari segi politik. Jadi, bukan mencari solusi bagaimana memberikan pupuk atau bibit, tetapi kebijakan politik sebagai panglima. Itu jangan sampai terjadi lagi," ujar Boediono dalam Diskusi Forum Wartawan Keuangan dan Moneter di Jakarta, Sabtu (8/12).
Menurut Boediono, kebijakan ekonomi di semua negara disusun dengan perspektif jangka panjang dan tidak ada tujuan pembangunan ekonomi yang bisa dibentuk dalam waktu pendek.
Namun, suasana politik yang ada saat ini sangat menuntut kebijakan-kebijakan ekonomi yang manfaatnya dirasakan dalam jangka pendek.
Itu ditandai dengan adanya empat presiden yang menjabat, delapan menteri koordinator perekonomian, dan tujuh menteri keuangan dalam sepuluh tahun terakhir ini, dengan kebijakan ekonomi masing-masing.
Kebijakan dipaksakan
Manfaat setiap kebijakan ekonomi dipaksakan harus terasa dalam jangka pendek karena ada banyak pergantian kabinet dalam waktu singkat.
Itu tidak sejalan dengan prinsip pembangunan ekonomi yang jangka panjang. Oleh karena itu, sebagai solusinya, semua elite baik di DPR, pemerintahan, lembaga yudikatif, hingga pimpinan bisnis nasional harus membuat kesepakatan tentang bentuk perekonomian Indonesia yang diinginkan dan diharapkan tercapai.
Semua pihak perlu melepaskan kepentingan golongan dan pribadi. Itu diperlukan karena Indonesia belum memiliki kesepakatan bersama dalam membangun perekonomian nasional.
"Kesepakatan bersama itu diperlukan karena selalu ada biaya yang harus dibayar untuk mencapai kondisi perekonomian yang diinginkan. Kesepakatan harus ditetapkan, terutama mengenai reformasi ekonomi yang diinginkan," ujar Boediono.
Pengalaman Indonesia di akhir tahun 1950-an menunjukkan, sistem politik yang berganti-ganti telah membuat pembangunan ekonomi terbengkalai.
Masyarakat menjadi tidak percaya pada sistem politik, bahkan tidak bersedia lagi memegang mata uang sendiri. Kondisi itu memicu hiperinflasi saat itu.
Sementara itu, Orde Baru yang menggantikan rezim Demokrasi Terpimpin memiliki kestabilan politik yang sangat kuat karena dalam 32 tahun hanya ada satu presiden.
Pengamat ekonomi Didik J Rachbini mengatakan, pemerintah masih menghadapi masalah dalam pengambilan keputusan.
"Ada konflik di pemerintah yang muncul tiga tahun lalu, namun hingga saat ini belum juga dituntaskan. Itu lebih parah karena pengambilan keputusan di DPR sendiri lebih cepat," ujar Didik. (OIN)
No comments:
Post a Comment