Dilema Harga BBM
Kita rasakan dilema yang dihadapi pemerintah berkaitan dengan rencana menaikkan harga bahan bakar minyak. Pemerintah khawatir dengan rencananya sendiri.
Di satu sisi kenaikan itu memang tidak bisa dihindarkan. Anggaran negara tidak mungkin lagi mampu menopang apabila harga minyak dunia bertengger pada harga 90 dollar AS per barrel. Selama ini patokan harga minyak yang dipakai dalam penentuan besarnya subsidi adalah 60 dollar AS per barrel.
Hanya saja, kalau harga BBM dinaikkan, dampaknya akan langsung dirasakan oleh masyarakat. Dua hal yang paling ditakuti adalah melonjaknya tingkat inflasi dan menurunnya daya beli masyarakat.
Pengalaman tahun 2005 memberi pelajaran pahit bagi kita. Gairah perbaikan ekonomi yang sedang terjadi segera sirna begitu kenaikan harga BBM ditetapkan. Hal yang lebih memukul lagi, perlambatan pertumbuhan ekonomi memperbesar jumlah masyarakat miskin.
Karena pilihannya yang dilematis itu, sejak awal kita mengingatkan pemerintah untuk saksama. Dalam hal apa? Pertama, dalam menentukan besarnya tingkat kenaikan. Jangan sampai tingkat kenaikannya overdosis sehingga akhirnya bukan menyelamatkan, tetapi justru mematikan.
Kedua, pengkajian pelaksanaan harus dipersiapkan secara matang. Identifikasi semua persoalan yang akan muncul dan tetapkan langkah terbaik yang bisa dilakukan. Jangan lemparkan konsep yang belum matang ke masyarakat karena hal itu hanya menimbulkan banyak pertanyaan dan mengundang kontroversi.
Ketiga, yang tidak kalah pentingnya, mempersiapkan cara mengomunikasikannya kepada masyarakat agar tidak menimbulkan gejolak.
Sekarang ini persoalan menjadi pelik karena pemerintah sepertinya tidak siap dengan konsep yang dipersiapkan sendiri. Tidak jelas, siapa pihak yang sebenarnya melakukan kajian terhadap rencana kenaikan harga BBM dan cara melaksanakannya di lapangan. Akibatnya, informasinya menjadi simpang siur dan yang kemudian muncul adalah resistensi.
Keadaan seperti ini jelas tidak kita inginkan karena hanya menimbulkan ketidakpastian baru. Kita tahu pemerintah tidak mungkin menanggung kenaikan harga minyak dunia yang terjadi, tetapi bagaimana kemudian cara keluar dari tekanan itu sama sekali belum jelas.
Semula ada pikiran mendorong kendaraan pribadi untuk menggunakan premium dengan oktan 90 di mana subsidi pemerintah dibatasi hanya Rp 500 per liter. Namun, tampaknya pemerintah tidak yakin bahwa kebijakan itu akan bisa efektif di lapangan.
Kita belum tahu langkah apa yang lalu akan diambil oleh pemerintah. Kita berharap agar dilakukan lagi kajian yang lebih matang dan juga masuk akal. Setelah benar-benar yakin ditemukan solusinya, baru kemudian disampaikan kepada masyarakat. Jangan seperti sekarang, yang akhirnya membuat pemerintah bingung sendiri dengan pilihan kebijakannya.
***
Perlombaan Nuklir di Asia
Dalam sebuah seminar yang diselenggarakan CSCAP terungkap bahwa dalam beberapa tahun terakhir, perkembangan nuklir di Asia meningkat pesat.
Apa yang terungkap dalam seminar Dewan Keamanan dan Kerja Sama Asia Pasifik (CSCAP) itu seperti menyadarkan kita bahwa selama ini kita tidak pernah mengerti apa yang terjadi di halaman rumah sendiri. Isu tentang nuklir—karena secara lantang diteriakkan oleh AS—selalu hanya terarah kepada Iran dan Korea Utara.
Dalam seminar itu, terungkap bahwa kendati tidak dibuat untuk senjata, perkembangan nuklir itu dinilai sebagai tantangan bagi keamanan regional. Negara-negara di Asia yang kini memiliki reaktor tenaga nuklir adalah China, India, Jepang, dan Korea Selatan.
Mengutip pendapat yang disampaikan C Raja Mohan, profesor Fakultas Studi Internasional Rajaratnam, Singapura, dalam seminar itu, Asia kini menjadi poros perimbangan nuklir dunia yang tengah bergeser. Salah satu penyebabnya adalah perubahan distribusi kekuasaan global dan regional.
Kenyataan itu tentu sangat bertentangan dengan deklarasi zona bebas nuklir oleh ASEAN. Bagaimana mempertahankan zona bebas nuklir ASEAN kalau negara-negara di sekitar ASEAN mengembangkan nuklir?
Meskipun dinyatakan bahwa tenaga nuklir tidak dibuat untuk senjata, melainkan sebagai sumber energi, namun siapa yang bisa menjamin itu?
Sebagai contoh, sekali sebuah negara di Asia memutar kunci program nuklirnya, secara regional sulit dihindarkan efek dominonya. Antara India dan China, misalnya, keduanya akan berusaha untuk selalu seimbang. Jepang demikian pula. Jika ada salah satu negara yang mengubah program nuklir mereka ke arah militer, apakah negara lain akan diam saja?
Selama ini para pendukung nuklir mengklaim teknologi nuklir merupakan satu-satunya teknologi yang mampu menyediakan tenaga listrik skala besar yang ramah lingkungan. Mereka yang menolak akan mengatakan, teknologi nuklir berbahaya karena radiasinya, sampah nuklirnya, potensi kecelakaan reaktor, dan juga ancaman keamanan. Apalagi dengan adanya pasar gelap nuklir yang kepemilikannya digunakan untuk tujuan terorisme, misalnya.
Bagaimana dengan kita, Indonesia? Teknologi nuklir adalah teknologi yang membutuhkan sumber daya manusia terlatih dan berkemampuan tinggi. Apakah kita memiliki semua itu? Rasanya kita tidak perlu larut dan terhanyut dalam pusaran perlombaan nuklir itu, apalagi masih banyak persoalan lain yang belum tertangani, termasuk masalah kesejahteraan rakyat.
No comments:
Post a Comment