CA Saptowalyono
Gambaran kinerja perekonomian Indonesia selama tahun 2007 ternyata tak sebaik tampak luarnya. Nukilan yang muncul dalam catatan akhir tahun Kamar Dagang dan Industri Indonesia ini merupakan telaahan atas pola dan arah perkembangan ekonomi, yang sinyalnya belum terhadirkan secara konsisten.
Pola pertumbuhan sektoral selama lima tahun terakhir, misalnya, masih menunjukkan kesenjangan yang cenderung lebar, yakni antara sektor tradable (seperti industri manufaktur dan pertanian) dan nontradable (seperti properti, telekomunikasi, dan jasa-jasa lainnya).
Sektor tradable tumbuh relatif lamban. Sesudah krisis tahun 1997, sektor industri manufaktur hanya meningkat dengan laju satu digit, jauh dibanding dua digit yang tercapai pada era sebelum krisis.
Sistem insentif yang salah menjadikan sektor industri manufaktur dan pertanian kurang berkembang. Kredit perbankan, misalnya, lebih mengarah ke sektor nontradable yang memberi return lebih tinggi.
Padahal, seperti dituturkan Vice President Country Economist, Anton Gunawan, sektor tradable sebenarnya harus mendapat prioritas karena peranannya yang mampu menyerap banyak tenaga kerja. Ini menjadi relevan bila menimbang angka pengangguran Indonesia yang mencapai 10,55 juta orang pada awal tahun 2007.
"Harusnya yang dilakukan sekarang adalah mengarahkan agar sistem insentif mengarah ke manufaktur dan pertanian," katanya. Beragam kombinasi dapat dilakukan, seperti insentif fiskal, aturan main yang jelas, mengurangi segala macam biaya tinggi, dan juga logistik.
Terus terang, lanjut Anton, kebijakan tentang industri, energi, dan pertanian, belum terlihat jelas. Keterkaitan satu dengan lainnya juga belum tampak, bahkan kadang terlihat bertentangan.
"Pertanian jalan dengan proteksi di bidang harga, itu saja. Padahal, ada revitalisasi pertanian yang ide-idenya sudah ada tapi belum dijalankan," katanya.
Sementara itu, ekonom Mudrajad Kuncoro, menggarisbawahi bahwa kerapuhan industri bersumber dari beberapa faktor, yakni terkonsentrasinya industri di Jawa (63 persen), dan tingginya kandungan bahan baku impor.
Sebagai gambaran, kandungan bahan baku impor untuk pakaian jadi lebih dari 51 persen, elektronik (39 persen), dan komponen (50,72 persen). "Selain itu, pemain kita juga lebih banyak di mikro," katanya.
Dari 22,7 juta perusahaan, sebanyak 83,3 persen di antaranya berada pada skala mikro. Perusahaan yang berskala kecil mencapai 15,8 persen, menengah (0,7 persen), dan besar (0,2 persen).
Menurut Sofjan Wanandi, Ketua Harian Komite Pemulihan Ekonomi Nasional Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, perusahaan besar memiliki peran untuk mendorong pertumbuhan ekonomi.
"Adapun perusahaan yang kecil-kecil lebih untuk pemerataan ekonomi," katanya. Sofjan juga mengkritik kurangnya nilai tambah industri dalam negeri karena kebanyakan produk dikirim dalam bentuk mentah.
"Kakao, kopi, karet, banyak dikirim dalam bentuk mentah. Gas alam cair (LNG) kita kirim ke Jepang, tetapi kemudian kita mengimpor elpiji," katanya.
Ketua Umum Kadin Indonesia Mohamad S Hidayat, kepada pers di Jakarta, Rabu (19/12), memaparkan, kestabilan makro-ekonomi cukup terjaga dengan kecenderungan membaik, yang antara lain tercermin dari nilai tukar rupiah yang relatif tidak bergejolak.
"Kinerja neraca pembayaran juga membaik dan bermuara pada meningkatnya secara signifikan cadangan devisa," katanya.
Sebagai gambaran, posisi cadangan devisa per 30 November 2007 tercatat 54,9 miliar dollar AS. Adapun posisi cadangan devisa pada akhir tahun 2006 sebesar 34,7 miliar dollar AS.
Akibat upaya menolong nilai tukar rupiah yang sedang tertekan, cadangan devisa memang sempat turun sebesar 1,1 miliar dollar AS pada akhir November dibanding posisi seminggu sebelumnya.
Namun, pada 7 Desember atau seminggu kemudian, cadangan devisa naik lagi menjadi 55,1 miliar dollar AS.
Kadin Indonesia juga mencermati rekor-rekor baru Indeks Harga Saham Gabungan di Bursa Efek Indonesia (IHSG BEI), Surat Utang Negara (SUN) yang terus diminati investor domestik maupun asing, serta Obligasi Negara Ritel (ORI) yang selalu terserap investor individual dengan nilai melebihi target.
Melihat komposisi SUN yang dipegang investor asing yang jatuh tempo di atas 10 tahun menduduki porsi terbesar, ini menengarai bahwa prospek ekonomi Indonesia dalam jangka panjang di mata investor institusional asing cukup menjanjikan.
Namun, di sisi lain, Kadin masih mencatat adanya semacam disconnect atau decoupling antara sektor finansial dan sektor riil, termasuk di antaranya sektor tradable.
Kadin sebenarnya sudah sejak akhir Oktober lalu menyampaikan gejala ini, yakni ketika memberikan tinjauan atas kinerja ekonomi selama tiga tahun periode pemerintahan pasangan Presiden dan Wakil Presiden Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla.
Dua kesenjangan ini, yakni antara sektor tradable versus nontradable serta sektor finansial vs sektor riil ini akan makin menyulitkan pemacuan lapangan kerja baru, mengurangi kemiskinan, dan memperbaiki ketimpangan pendapatan.
Ekonom Faisal Basri menyebutkan, kontrasnya pola pertumbuhan sektor tradable dan nontradable cenderung menekan kehidupan di Jawa, yakni untuk penduduk berpendapatan rendah. Ini karena sebagian besar industri manufaktur berlokasi di Jawa.
Tekanan ini makin diperberat dengan masih tertekannya pertumbuhan subsektor pertanian pangan. Padahal, subsektor ini merupakan penyumbang terbesar sektor pertanian di Jawa.
Sebaliknya, penduduk berpendapatan tinggi yang hidup dari jasa-jasa modern dan mayoritas berada di kota-kota besar di Pulau Jawa, menikmati pertumbuhan relatif tinggi.
Kecenderungan semacam inilah yang ditengarai menyebabkan memburuknya indeks kesenjangan atau koefiiesien Gini. Adapun pola ketimpangan Jawa dengan luar Jawa, juga terlihat dari relatif rendahnya upah riil buruh tadi di Jawa.
Berdasar data Badan Pusat Statistik (BPS), upah nominal buruh tani di Jawa sebesar Rp 13.373 per hari. Adapun upah nominal buruh tani di luar Jawa mencapai Rp 18.771 per hari.
Padahal, sebagian besar tenaga kerja sektor pertanian atau 43 persen dari total orang yang bekerja secara nasional berada di sektor pertanian di Pulau Jawa.
Dalam kaitannya dengan gambaran perekonomian Indonesia tadi, Kadin Indonesia memberikan delapan rekomendasi. Pertama, perlu mengimplementasikan program revitalisasi pertanian di pedesaan.
Kedua, mengintegrasikan kebijakan pertanian, industri, dan energi nasional guna menjamin terwujudnya ketahanan pangan dan energi.
Ketiga, mengamankan target lifting minyak mentah untuk meminimalkan tekanan defisit APBN. Ini sembari mendorong diversifikasi energi, terutama penggunaan energi terbarukan.
Keempat, menghilangkan hambatan yang membuat produksi dalam negeri tersisih di pasar domestik.
Kelima, mempercepat pembangunan infrastruktur di luar Jawa. Keenam, menetapkan regulasi ruang lingkup dan koordinasi pemerintah tentang logistik.
Ketujuh, memperdalam fixed capital formation, yakni dengan meningkatkan secara signifikan porsi investasi dalam bentuk permesinan.
Kedelapan, usaha mikro kecil menengah (UMKM) harus diposisikan sebagai pelaku ekonomi pembangunan nasional untuk menciptakan industri pendukung/penunjang pertumbuhan industri nasional. Pada waktu bersamaan, pemerintah dituntut meningkatkan akses UMKM terhadap kredit dan instrumen pembiayaan lainnya.
No comments:
Post a Comment