Monday, December 3, 2007

Stabilitas dan Gejolak Bank Sentral

Muhammad J Putra
Pemerhati Perbankan, Alumnus Magister Kebijakan Publik, University of Illinois

Seluruh headline surat kabar dalam minggu terakhir terfokus pada isu aliran dana Bank Indonesia (BI). Meski masih tahap pemeriksaan, banyak pendapat menyatakan adanya penyalahgunaan dana terkait kebijakan seputar 2003. Wajar saja. Penyalahgunaan wewenang, apalagi terindikasi korupsi, adalah musuh kita bersama.

Tapi, kisruh ini jangan dibiarkan berlarut dan menghabiskan energi. Apalagi sampai menggerogoti stabilitas ekonomi yang sudah dicapai dengan ongkos mahal. Penanganan serius atas potensi akibat meroketnya harga minyak dunia dan efek lanjutan krisis subprime mortgage di AS, justru seharusnya menjadi prioritas kita.

Sangat memprihatinkan bila isu ini menggelinding karena ada kepentingan lain atas beberapa momen penting nasional di depan. Peran strategis bank sentral dalam menjaga stabilitas ekonomi, harus disterilkan dari berbagai kepentingan politis. Diperlukan pikiran jernih untuk mencegah ekonomi kembali terpuruk. Terlepas dari tindak lanjut oleh penegak hukum, menarik bagi kita untuk membuka lagi catatan peristiwa ekonomi penting seputar 2003, sekaligus mencari tahu apa kondisi relevan saat itu yang diperkirakan menjadi dasar kebijakan BI.

Kilas balik Pusaran kencang arus global saat ini hampir tidak mungkin dihindari oleh ekonomi negara manapun. Terlebih bagi Indonesia yang hanya merupakan small open economy. Stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan adalah syarat yang tak bisa ditawar.

Alan Blinder, anggota Board of the Fed (bank sentral Amerika Serikat) akhir 1990-an, menyatakan bahwa kebijakan moneter mempengaruhi arah perkembangan pasar keuangan, sebagaimana yang terlihat pada indikator suku bunga jangka panjang, indeks pasar modal maupun nilai tukar. Sederhananya, kebijakan moneter sangat besar pengaruhnya bagi hidup masyarakat. Melihat itu, tak bisa dipungkiri pentingnya peran bank sentral sebagai benteng stabilitas dalam suatu perekonomian.

Masih hangat di ingatan, dinamika politik nasional yang kencang seputar 2003 menyita perhatian hampir semua komponen bangsa. Pergantian pimpinan nasional yang kurang mulus, terus menimbulkan polemik. Pemulihan kondisi ekonomi pascakrisis, seakan tidak terjamah dan hanya menjadi prioritas kedua. Belum lagi tragedi bom Bali 2002 yang berimbas cukup besar bagi kita saat itu.

Kondisi itu menyebabkan ekonomi nasional menghadapi pertaruhan luar biasa dan tertinggal dibanding negara lain yang juga terkena krisis. Thailand dan Filipina, tetangga yang juga terimbas krisis 1997 telah berlari. Sedangkan ekonomi kita seakan jalan di tempat. Pada 2003 Thailand berhasil mencatat pertumbuhan ekonomi hampir 7 persen, jauh di atas kita yang hanya 4,1 persen. Pada tahun 2002 kita bahkan hanya tumbuh 3,7 persen saat Thailand mencapai 5,4 persen. Sedangkan Filipina tahun 2002 dan 2003 ekonominya masing-masing tumbuh 4,35 persen dan 4,7 persen, yang artinya d iatas pertumbuhan nasional kita. Inflasi Thailand tahun 2001 dan 2002 tercatat masing-masing sebesar 1,5 persen. dan 0,6 persen. Tahun yang sama, inflasi kita tercatat pada tingkat 11,5 persen dan 11,8 persen, dan Filipina 6,1 persen serta 3,1 persen.

Melihat data fundamental ekonomi nasional tersebut, pemulihan ekonomi nasional saat itu tidak optimal. Aktivitas perekonomian belum memiliki stimulus yang cukup manakala Sertifikat Bank Indonesia (SBI) 1 bulan berada di level 12,93 persen dan suku bunga kredit rata-rata sekitar 18 persen. Pada masa itu IHSG hanya berkutat di kisaran indeks 500 dan 700. Kepercayaan internasional yang belum pulih, setidaknya tampak dari rating nasional yang kurang menguntungkan, atau hanya sedikit lebih baik dari non investment grade. Maklum, beratnya beban utang kita pun menjadi kendala.

Kondisi terakhir
Sampai akhir tahun 2007, pertumbuhan ekonomi diperkirakan bisa mencapai 6,2 persen. Meski masih terdapat ancaman kenaikan inflasi di tahun depan, inflasi tahun ini diperkirakan masih dalam kisaran target 6 persen + 1 persen. Capaian aspek-aspek makroekonomi tersebut menunjukkan bahwa kita telah mampu melewati capaian Thailand dan Filipina.

Per Oktober 2007, cadangan devisa telah mencapai 54,2 miliar dolar AS, jauh berkembang dibandingkan tahun 2002 yang hanya sekitar 32 miliar dolar AS. Jumlah ini diperkirakan masih akan meningkat seiring dengan beralihnya dana asing ke negara emerging market sejalan dengan kelesuan ekonomi AS. Tidak berlebihan jika lembaga rating internasional memberikan penilaian yang terus meningkat. Walaupun belum berupa investment grade, paling tidak pihak internasional mengakui adanya perbaikan kinerja ekonomi nasional.

Stimulus perekonomian masih memungkinkan untuk terus meningkat, sebagaimana sinyal petinggi bank sentral bahwa BI rate di level 8,25 persen masih mungkin turun. Dengan demikian tidak mustahil bila ada yang memperkirakan indeks pasar modal kita menembus 3000 pada akhir 2007. Melihat data ekonomi terakhir, peningkatan faktor fundamental ekonomi nasional terus meningkat. Stabilitas makroekonomi maupun sistem keuangan terakhir cukup teruji. Kita juga berhasil melewati krisis kenaikan harga minyak 2005. Kepercayaan asing pun telah pulih seiring membaiknya indikator neraca pembayaran kita. Lepasnya kita dari IMF, membuktikan bahwa kemandirian ekonomi kita ternyata dapat diandalkan.

Masalahnya, apakah kita akan membiarkan stabilitas yang dicapai dengan susah payah itu tergerogoti? Ada beberapa momen penting nasional yang rawan dipolitisasi sehingga berpotensi mempengaruhi stabilitas ekonomi. Sebut misalnya pemilihan Gubernur Bank Indonesia pada 2008 dan Pemilu 2009. Perlu diwaspadai bahwa ingar bingar yang terjadi saat ini, bukanlah rekayasa terkait momen penting tersebut. Saat semua orang sibuk berpolitik dan seakan tidak peduli stabilitas ekonomi, kita butuh bank sentral yang tidak berkepentingan dengan politik.

No comments: