Berharap Suku Bunga Kredit Tidak Naik
M Fajar Marta
Tahun 2008 bakal menjadi tahun yang samar-samar bagi industri perbankan nasional. Meskipun kinerja selama tahun 2007 memberikan landasan yang kokoh untuk kelanjutan pertumbuhan, kalangan bankir tak lagi seoptimistis sebelumnya dalam memandang tahun 2008.
Lonjakan harga minyak yang melambungkan tekanan inflasi, pelemahan pertumbuhan ekonomi di negara maju, dan gejolak pasar keuangan global yang belum reda sungguh telah menciptakan ketidakpastian dan meningkatkan risiko bisnis pada tahun depan.
Satu dampak yang paling dikhawatirkan kalangan perbankan adalah kemungkinan naiknya suku bunga acuan atau BI Rate tahun depan.
Kekhawatiran tersebut cukup beralasan. Dalam beberapa bulan terakhir, Pertamina telah berulang kali menaikkan harga bahan bakar minyak untuk industri.
Membengkaknya ongkos produksi tentu akan mendorong kenaikan harga barang. Tekanan inflasi semakin tinggi karena pada saat bersamaan juga terjadi imported inflation atau inflasi yang ditimbulkan dari kenaikan harga barang impor dan fluktuasi nilai tukar.
Saat ini saja, ekspektasi inflasi untuk tahun 2008 berkisar 6 persen-6,5 persen. Angka ini berada di atas target Bank Indonesia (BI), yang sebesar 5 persen plus minus satu persen.
Jika tekanan inflasi semakin dahsyat, BI tentu akan menaikkan BI Rate untuk meredamnya. Kenaikan suku bunga ujungnya akan menghambat laju perekonomian dan gairah sektor riil. Dampaknya, permintaan kredit pun menurun. Ancaman lainnya, rasio kredit bermasalah (nonperforming loan/NPL) akan meningkat.
Tantangan lain
Jika yang dikhawatirkan perbankan menjadi kenyataan, kinerja perbankan tahun 2008 bisa jauh berbeda dengan tahun 2007. Tahun 2007 merupakan salah satu tahun terbaik bagi perbankan sejak masa krisis.
Deputi Gubernur BI Muliaman Hadad menjelaskan, posisi kredit hingga akhir September 2007 mencapai Rp 956,7 triliun, tumbuh 21,5 persen dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.
Bagusnya kinerja perbankan tahun 2007 tak terlepas dari beberapa faktor, yakni tren penurunan suku bunga, sektor riil yang mulai bergairah, dan kestabilan makroekonomi, seperti inflasi dan nilai tukar.
Faktor-faktor inilah yang kemungkinan besar tak lagi bisa dinikmati tahun depan. Tekanan terhadap perbankan semakin berat karena tahun depan juga terdapat tantangan-tantangan lain yang harus diatasi.
Salah satunya adalah penerapan Basel II atau standar pengelolaan bank internasional. Salah satu hal yang mesti dipenuhi bank dalam kaitan implementasi Basel II adalah kecukupan modal.
Dalam jangka panjang, penerapan Basel II positif karena akan mendorong industri perbankan terus meningkatkan kemampuan manajemen risikonya.
Namun, dalam jangka pendek, implementasi Basel II akan memaksa bank melakukan konsolidasi internal guna menyiapkan langkah-langkah antisipasi. Situasi ini tentunya akan menurunkan keinginan bank untuk melakukan ekspansi bisnis.
Tantangan lainnya adalah konsolidasi perbankan, terkait maraknya proses akuisisi dan merger. Tahun 2008, proses konsolidasi diperkirakan akan lebih marak dibandingkan 2007.
Sejumlah bank sudah merencanakan untuk melakukan akuisisi tahun depan. Seperti halnya penerapan Basel II, konsolidasi perbankan dalam jangka pendek akan menurunkan laju ekspansi bank. Bank yang melakukan merger otomatis akan fokus membenahi kondisi internalnya terlebih dahulu.
Namun, dalam jangka menengah panjang, konsolidasi perbankan jelas bermakna positif karena akan menciptakan struktur industri perbankan yang lebih kokoh, sehat, dan efisien.
Selain itu, perbankan juga akan dihadapkan pada persaingan yang makin ketat dengan industri pasar modal dalam menyediakan dana untuk dunia usaha. Situasi ini sedikit banyak juga akan menghambat ekspansi bisnis perbankan. Saat ini minat perusahaan untuk mencari pembiayaan dengan menerbitkan obligasi atau melepas saham semakin tinggi. Salah satu kelebihan mencari dana melalui pasar modal ialah biayanya lebih murah.
Strategi
Dengan segala risiko dan tantangan yang menghadang pada tahun 2008, bank harus menyiapkan strategi terbaik agar tetap bisa melanjutkan pertumbuhan.
Salah satu kunci sukses bank ke depan ialah menjaga suku bunga kredit tetap rendah. Artinya, ketika BI Rate naik, bank harus berupaya tidak menaikkan suku bunga kredit. Akan lebih baik jika perbankan bisa terus menurunkan suku bunga kredit.
Hal ini perlu dilakukan untuk menjaga momentum tingginya minat sektor riil meminjam kredit sekaligus memenangi kompetisi dengan industri pasar modal.
Direktur Bank Mega Kostaman Thayib mengatakan, secara teori besaran suku bunga kredit terbentuk oleh besaran berbagai faktor, yakni biaya dana (cost of fund), biaya operasional, margin keuntungan, dan premi risiko.
Saat ini cost of fund, yang dihitung dari rata-rata suku bunga deposito dan tabungan sekitar 7 persen per tahun.
Sementara biaya operasional, margin keuntungan, dan premi risiko masing-masing sekitar 2 persen. Hasilnya, rata-rata suku bunga kredit yang terbentuk saat ini sekitar 13 persen.
Agar suku bunga kredit bisa makin mengecil, tentunya biaya faktor pembentuknya harus diturunkan. Menurut Kostaman, bank harus mencari cara bagaimana menjaga suku bunga tabungan atau deposito tetap rendah, tetapi masyarakat tetap tertarik menyimpan uangnya di bank.
"Kiatnya ialah dengan membuat produk campuran antara produk bank dan produk pasar modal. Jadi, imbal hasil produk bank yang rendah akan dikompensasi dengan imbal hasil yang tinggi dari produk pasar modal. Jadi, nasabah tetap bisa menikmati imbal hasil yang kompetitif," kata Kostaman.
Langkah lainnya ialah dengan memperbesar porsi dana murah, seperti tabungan dan giro. Ini akan menurunkan biaya dana secara signifikan mengingat suku bunga tabungan saat ini hanya berkisar 3 persen. Bandingkan dengan bunga deposito yang masih sebesar 6-7 persen.
Biaya operasional bank sebenarnya masih sangat berpeluang untuk diturunkan. Dibandingkan negara-negara lain, tingkat efisiensi perbankan Indonesia tergolong masih buruk. Saat ini rasio biaya operasional terhadap pendapatan operasional masih sebesar 83,59 persen.
Tingkat risiko dan margin keuntungan juga masih bisa diturunkan. Dengan tingkat manajemen risiko bank yang semakin baik dan risiko dunia usaha yang terus menurun, seharusnya bank tak lagi menetapkan premi yang terlalu mahal. Apalagi, rasio kredit bermasalah (NPL) terus menurun sehingga kewajiban bank untuk menyisihkan pencadangan berkurang.
Sektor unggulan
Bank juga dituntut untuk lebih mementingkan volume kredit ketimbang harga kredit yang mahal. Dengan margin keuntungan yang tipis tetapi penyaluran kreditnya banyak, bank toh tetap akan menikmati tingkat keuntungan yang tinggi.
Untuk meningkatkan volume penyaluran kredit, bank harus jeli melihat sektor-sektor ekonomi yang akan berkembang tahun depan. Sektor pertambangan dan energi tampaknya tetap akan menjadi primadona.
Melonjaknya harga komoditas pertambangan dan energi, seperti minyak, gas, batu bara, nikel, kelapa sawit, dan karet, di pasar internasional membuat prospek perusahaan yang bergerak di sektor-sektor itu semakin cerah.
Selama periode September 2006-September 2007, kredit yang mengalir ke sektor pertambangan tumbuh 74,2 persen dari Rp 9,95 triliun menjadi Rp 17,34 triliun.
Adapun kredit energi (listrik, gas, dan air) dalam periode yang sama tumbuh 41,69 persen, dari Rp 5,53 triliun menjadi Rp 7,83 triliun.
Bank-bank besar tampaknya akan menggenjot penyaluran kredit untuk kegiatan investasi seiring maraknya pembangunan infrastruktur di Indonesia, seperti jalan tol, telekomunikasi, dan pembangkit listrik.
Kredit konsumsi, seperti kredit kepemilikan rumah dan kartu kredit, juga akan tetap menjadi fokus perbankan. Daya beli masyarakat yang terus membaik membuat permintaan kredit jenis ini tetap tinggi.
No comments:
Post a Comment