Sunday, December 2, 2007

Nalar dan India


Christina M Udiani

Empat dasawarsa lalu, Karl R Popper dalam bukunya Open Society and Its Enemy (1962) telah mengingatkan bahaya pikiran-pikiran picik dan tertutup. Agar tumbuh sehat, masyarakat memerlukan ruang yang lapang untuk berekspresi, kesempatan untuk berbeda pendapat, dan pemerintahan yang demokratis serta menjunjung tinggi hak-hak pribadi.

Kini, peraih Nobel Ekonomi 1998, Amartya Sen, dalam Argumentative Indian menyerukan hal yang sama. Sen memperlihatkan, keberhasilan India menjadi salah satu gergasi Asia tak lepas dari tradisi panjang bangsa India mengandalkan nalar dalam menerima perbedaan dan mengolahnya menjadi keunggulan.

"Gergasi Asia"

Dibandingkan dengan negara lain di Asia, kemajuan India di bidang ekonomi cukup mengagumkan. Dua dekade yang lalu dunia mengenal India karena kemiskinannya. Kini, India terpandang karena keahliannya di bidang teknologi informasi dan kedokteran, pemenang Nobel, artis Bollywood, dan taipan baja.

Pertumbuhan ekonominya mencapai 8-9 persen per tahun, bahkan sempat 10 persen. India juga menempatkan 36 putra bangsanya dengan aset 191 miliar dollar dalam jajaran orang terkaya Forbes, mengalahkan Jepang yang hanya 24 orang dengan aset 64 miliar dollar. Bahkan tiga orang di antaranya masuk dalam jajaran 20 terkaya di dunia.

Pencapaian di atas memang tidak lantas menghapus segala persoalan yang menggunung. Sekitar 25 persen penduduk India masih hidup di bawah garis kemiskinan, 50 persen anak-anak tidak mendapat pendidikan formal, dan tiap tahun 1,2 juta anak balita meninggal akibat kekurangan gizi. Sekitar 40 persen penduduk India buta huruf dan 60 persen tidak memiliki akses terhadap sanitasi yang memadai.

Kendati sedikit lebih baik dibandingkan dengan Indonesia bila dilihat dari indeks PERC, korupsi di India masih merajalela, sebagaimana soal-soal lain seperti diskriminasi, kekerasan antaragama, tenaga kerja anak-anak, dan ketimpangan jender. Litani dosa ini masih bisa diperpanjang sehingga dengan cepat kita bisa menyimpulkan bahwa kemajuan ekonomi India sesungguhnya semu belaka, mirip Indonesia pada 1990-an, dan karena itu bukan tak mungkin krisis sosial akan segera melanda.

Namun, justru di sinilah letak "soalnya". Sudah sejak lama India diramalkan tidak akan bertahan mengingat begitu kompleks dan rumit permasalahan yang dihadapi. Patut pula dicatat, tak ada negeri atau wilayah lain kecuali Benua Afrika yang mampu melampaui keragaman India dalam hal etnisitas, agama, dan bahasa.

Menurut Biro Sensus India, negeri ini memiliki lebih dari 2.000 kelompok etnis, sekitar 850 bahasa dengan 1.600 dialek, dan hampir semua penganut agama besar dunia dapat dijumpai di anak benua ini. Tidak heran bila jauh sebelum India merdeka mulai dari Rudyard Kipling hingga Winston Churchill meramalkan bahwa India bakal hancur berantakan. Mereka tak percaya, India, negeri multi-agama, multi-bahasa, dan multi-etnik itu, dapat bertahan, entah karena tak menemukan kesamaan kultural yang kokoh mengikat bangsa ini menjadi satu kesatuan atau justru sebaliknya, berlebihan menyederhanakan India sebagai negara Hindu.

Namun, kenyataan membuktikan sebaliknya. Bukan hanya bertahan, India bahkan tumbuh berkembang menjadi salah satu negeri yang tergolong stabil dan demokratis di Asia. Negeri ini telah membuktikan bahwa demokrasi pun bisa tumbuh subur di negeri miskin dan sarat perbedaan, bertentangan dengan keyakinan ahli-ahli politik, di antaranya Samuel Huntington, bahwa demokrasi mempersyaratkan tingkat pendapatan per kapita minimal tertentu. Lalu bagaimanakah menjelaskan semua itu?

Hujah, nastika, dan sains

Berbeda dengan para penulis lain yang kerap mengaitkan keberhasilan India dengan masa keemasan bangsa ini pada masa lalu, atau dengan kearifan budaya Timur, terutama Hindu, Amartya Sen dalam The Argumentative Indian memusatkan perhatiannya pada tradisi panjang sikap skeptis dan nonkonformis India.

Buku ini merupakan kumpulan 16 esai, sebagian di antaranya ditulis dalam sepuluh tahun belakangan dan pernah dimuat berbagai media. Kendati Amartya Sen dikenal sebagai peraih Nobel Ekonomi, penjelajahan intelektual tulisan-tulisan tersebut menempatkan Sen setara dengan para ahli sejarah, politik, kemasyarakatan, dan filsuf moral.

Tulisan ditata menjadi empat bagian: hujah dan nastika, budaya dan komunikasi, politik dan protes, serta nalar dan identitas. Bagian pertama, sebagaimana judulnya, memaparkan akar-akar tradisi berhujah dan sikap skeptis India dalam literatur-literatur Sanskerta. Dengan tekun Sen menelisik bagian demi bagian antara lain Vedha, Mahabharata, Bhagawad Gita yang bukan hanya kaya dengan literatur keagamaan, tetapi juga dengan kearifan nonteis maupun nastika (heterodoxy)—bahkan untuk yang belakangan ini jumlahnya jauh melampaui yang terkandung dalam karya-karya klasik bahasa lain.

Ia memperkenalkan para nastika, mengulas Jainisme dan Buddhisme, dan kemudian masuk ke dalam filsafat Lokayata. Pemikiran ini, yang telah berkembang sejak 1000 SM, atau sedininya pada masa hidup Buddha, mengingkari adanya jiwa-jiwa dan dunia akhirat sebagaimana dia tidak mengakui kuasa dewata maupun otoritas Vedha dan Brahmana. Dalam artian itulah pendukung pemikiran ini dianggap sebagai ateis (nastika).

Berbeda dengan Tan Malaka yang menulis dalam Madilog, "Lokayata akan terus tinggal dalam kitab saja, tak bisa dilaksanakan", Sen melihat prinsip Lokayata amat dekat dengan metode yang diajukan oleh Francis Bacon dalam The Advancement of Learning pada 1605. Aliran pemikiran ini menjadi lahan yang subur bagi benih-benih skeptisisme, dan buah-buahnya dapat dijumpai dalam pencapaian India antara lain di bidang ilmu pengetahuan, terutama astronomi dan matematika, pada abad-abad awal milenium pertama.

Gandhi dan Tagore

Jauh kemudian, India juga melahirkan Rabindranath Tagore, Mohanandas K Gandhi, dan Satyajit Ray. Tokoh-tokoh ini dibahas oleh Sen dalam Bagian Dua dengan penuh empati. Sen mengoreksi pandangan negatif Barat terhadap Tagore, menempatkannya setara dengan Gandhi dalam keluasan dan kedalaman intelektualnya, dan memperlihatkan bilamana kedua tokoh besar itu bersimpang jalan.

Ada satu insiden kecil yang menarik di sini. Ketika berkunjung ke sekolah Tagore di Santiniketan, Gandhi sempat memenuhi permintaan seorang gadis muda untuk membubuhkan tanda tangan dan pesan singkat, "Jangan pernah terburu-buru berjanji. Sekali kau ucapkan, penuhi janji itu dengan seluruh hidupmu."

Membaca itu, Tagore rupanya merasa panas. Ia menulis di buku yang sama sepenggal puisi dalam bahasa Bengali, dan menutupnya dalam bahasa Inggris, mungkin supaya Gandhi juga membacanya, "Buang jauh-jauh janjimu kalau ternyata itu keliru." Tagore sangat menghargai Gandhi. Dialah yang memopulerkan gelar Mahatma—sang jiwa besar. Namun, mereka berseberangan dalam beberapa hal, termasuk peran rasionalitas dan sains, patriotisme, serta nasionalisme.

Narasi dari atas

Pencapaian di atas dalam pandangan Sen menjelaskan pencapaian India dalam berdemokrasi. Bagaimanapun, demokrasi sangat erat berkaitan dengan diskusi publik dan penalaran interaktif sebagaimana dikaji dalam "teori pilihan sosial" atau "teori pilihan publik" yang berkembang sejak sekitar setengah abad lalu, dan di India tradisi berhujah bukan hanya berpengaruh pada ekspresi nilai-nilai publik, tetapi juga pembentukan nilai-nilai yang timbal balik sifatnya. Contoh konkret, sekularisme India, yang bisa ditelusur akarnya pada pemikiran dua kaisar besar India, Ashoka dan Akbar.

Terkait dengan tokoh yang menjadi acuan, kita bisa memberi sedikit catatan bahwa Sen terlihat tidak banyak memberi tempat pada tradisi berhujah yang juga berkembang di kalangan bawah, termasuk kelompok dalit, the untouchable. Padahal, dalam sejarah pembentukan negara-bangsa India, kelompok inilah yang coba mendobrak pandangan sempit tradisi Brahmana, meredam dari dalam tirani mayoritas Hindu. Catatan lain, Sen tidak menjelaskan bagaimana benih-benih "gandum" tradisi berhujah itu beradaptasi dan berkembang di tengah "ilalang" ketidakadilan jender, kasta, dan kekerasan komunal. Mungkinkah ilalang itu hasil mutasi tradisi berhujah itu sendiri?

Empat dasawarsa lalu Karl R Popper mengingatkan bahaya pikiran-pikiran picik dan tertutup. Kini, Amartya Sen, menyerukan hal yang sama. Akankah kita mendengar? (Christina M Udiani, Alumnus SMUK St Albertus, Malang, Tinggal di Pune, India)

No comments: